Jumat, 01 April 2011

“Aku hanya ingin Hamil….itu saja”

Jika bukan karena ia sahabat dekatku, mungkin aku tak mungkin bernafsu untuk ke Malang. Karena hanya dia lah orang yang paling mengerti aku. Meski sudah kukatakan padanya 3 bulan yang lalu, bahwa aku ingin menyudahi semua kegilaanku. Aku sudah tak ingin merangkai cerita lagi dengan laki-laki yang hanya untuk membuat kisah dalam sejarah hidupku. Aku sudah lelah. Dan dia pun kaget ketika kukatakan bahwa aku dalam perjalanan menuju Malang. Kami pun bertemu dan melepas rindu.

“Ada apa denganmu, Nov?”, tanya Dida, sahabat yang begitu peduli padaku dan aku masih diam dan tersenyum. “Aku tahu, kau ke Malang bukan hanya ingin bertemu denganku. pasti ada sesuatu yang ingin kau katakan”. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Aku Hamil, Did!”
“Apa !!!!!!!. Hamil ? gila apa kamu ?!!! . Aku hanya mengangguk lemas. “Aku tak percaya!. Bukankah selama ini kau selalu mempertahankannya, mengapa tiba-tiba kau lengah ?”
“Aku tidak lengah, tapi aku memang menginginkannya. Aku hanya ingin hamil, Did”
“Gak mungkin ! bukannya kau selama ini punya control yang kuat untuk mempertahankan keperawananmu. Tapi mengapa sekali jebol, kau malah ingin hamil ? siapa laki-laki itu ?”
“Laki-laki yang tak pernah ku tahui namanya. Tapi aku tahu, dia laki-laki baik-baik. Dia cerdas. Dia kaya. Dan dia cakep.”
“Oooo… jadi karena kau sudah menemukan laki-laki yang pas menurut seleramu, lalu kau dengan mudah menyerah begitu saja?”
“Tidak, Did. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Tapi kami baru saja bertemu dan terjadilah !”
“Jadi kau sudah tahu sapa dia ?”
“Iya, dia adalah laki-laki cerdas dan menarik “
“Lalu ?”
“Tapi dia dari keluarga yang tidak mungkin menerimaku. Keluarganya adalah orang hebat dan aku tak mungkin bersamanya”
“Aku yakin, kau melakukan hal itu, bukan karena itu semua”
“Betul, aku melakukannya, karena ia masih perjaka”
“ Apa !!!! Gila Kau ! apa laki-laki itu tahu, bahwa kau hamil ?”
“Tidak ! ia tidak tahu, dan aku memang tidak ingin memberitahukannya?”
“Kenapa ?”
“Karena aku hanya ingin hamil dan menjadi ibu, bukan sebagai istri”
“Tapi keluargamu, Nov ?”
“Itulah yang ingin ku obrolkan denganmu”.
________________________________
3 Minggu yang lalu…..
Di rumahku

“Kamu yakin mau melakukan ini?”
“Iya.. lakukanlah !”
“Apa perlu aku ke market untuk beli kondom ?”
“Tak perlu ! sudahlah ! lakukan saja!”.

Laki-laki itu memadangku nanar. Aku menghela nafas panjang dan memejamkan mataku

“Kau tidak mencintaiku, Nov?”. ia memindahkan tubuhnya yang sudah berada di atas tubuhku ke sampingku. Kami masih telanjang di bawah selimut dengan tanpa bersentuhan. Sama-sama menerawang memandang langit-langit atap rumahku. Dan kami pun menjadi diam.
“Kenapa kau berhenti ?”
“Karna sebenarnya kau tak ingin melakukannya”
“Mengapa kau berfikir begitu?”
“Karena aku mencintaimu”

Aku menghela nafas berat dan berusaha untuk tidak memejamkan mata agar air mata yang tergenang tak jatuh hingga membuatnya ia tahu, bahwa aku sebenarnya mencintainya.

“Jika zina ini haram dan berdosa, mari kita berdosa bersama dan katakan pada Tuhan, bahwa kita saling mencintai namun tak mampu untuk bersama di dunia. Tapi jika Tuhan masih menghadiahkan kita neraka, minimal kita masih bisa bersama disana karena Tuhan telah cemburu pada kita"
“Apa yang kau katakan, Nov?”

Aku tak peduli lagi. hingga akhirnya aku menciumnya dan ia membalasnya dan kami pun bercinta.
______________________________
2 minggu kemudian
Laki-laki itu datang lagi menemuiku..

“Kenapa sms ku tak pernah kau balas dan telponku tak pernah kau jawab, Nov?”
“Apa itu penting ?”
“Pentinglah!”
“Bagimu. Bagiku tidak !”
“Ahh sudahlah ! kau sehat ?”
“He’eh “
“Tidak terjadi apa-apa kan ?”
“Tidak. Mengapa kau bertanya hal itu ?”
“Karena aku bermimpi, ada suara yang memanggilku ‘ayah’”
“Haaaa…… lalu kau anggap itu apa ?”
“Aku akan menjadi seorang ayah…..” dia menunduk malu dan aku hanya bisa tertawa ngakak.
“Haaa… ayah ? haaaaaa”
“Kenapa kau tertawa ?”
“Ya lucu aja….haaaaaaa…”

Kami ngobrol dengan canda dan tawa yang tak pernah berhenti. Ia adalah laki-laki yang sangat lucu dan kadang bodoh. Mungkin karena selama hidupnya ia hanya memikirkan hal-hal yang serius, jadinya kelihatan lucu dan kaku. Setahun yang lalu ia telah berhasil meraih gelar megisternya dan kemudian meneruskan estafeta perusahaan keluarganya.

Kami bertemu sebulan yang lalu di acara Kick Andy di Metro TV. Ia datang sebagai keluarga dari salah satu undangan yang juga diwawancarai oleh bang Andy. Kebetulan ia duduk tepat di sampingku. Dan kami pun mulai berkenalan, ngobrol dan menjadi akrab. Aku tidak menyangka, lulusan luar negeri ternyata sangat kaku dalam pergaulan. Dan aku melihatnya di dia.

Kami masih ngobrol dan bercanda hingga harus terhenti karna sopir taxi memberitahukan pada kami, bahwa kami sudah sampai di Bandara. Ia mengatakan, bahwa ke Jakarta hanya mengurusi bisnisnya dan harus segera balik ke kotanya.

“Makasih ya, Nov. Sudah mengatarku. Kalau ada apa-apa, kau harus memberitahukan ku ! ingat ! jangan lagi tak membalas smsku atau tak menjawan telponku! Okay…!”. Aku mengangguk dengan senyum.

Dan aku melambaikan tangan padanya ketika ia memasuki bandara untuk boarding pass. Aku masih diam tersenyum sambil meremas kertas hasil labotorium rumah sakit yang menyatakan bahwa aku positif hamil di dalam tasku. Ia masih melihatku dengan senyum dan aku pun juga masih tersenyum yang tertahan.

“Maafkan aku… maafkan aku…! Dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku ! hingga bayi ini sudah beranjak dewasa untuk memintamu menjadi wali nikah di pernihakannya kelak “

Gunuk, 1 April 2011. 14.00

Laki-laki Tanpa Nama

Ketika di kereta ekonomi Gaya Baru Malam Jakarta-Surabaya via Jogja

“Anda penulis ya ?” tanya seorang laki-laki yang berada tepat di sampingku
“Kok…?”, aku terganggu sekaligus penasaran
“Habis.. dari tadi aku perhatikan, sejak awal kereta berangkat, kau terus membaca buku tanpa henti hingga pertengahan perjalanan”
“Oh ya,,,? Mengapa kau menyimpulkan begitu ?” aku menutup buku sambil mengarahkan tubuhku menghadap menyamping ke arahnya.
“Seorang penulis pasti suka membaca”. Pinter juga nih laki-laki merangsangku untuk ngobrol
Akhirnya, kami pun terlibat pada sebuah obrolan yang menyenangkan. Laki-laki itu memang tidak cakep tapi juga tidak jelek. Warna kulitnya tidak putih dan juga tidak hitam. Namun struktur wajahnya sangat teratur. Semuanya porposional. Sesuai dengan porsinya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya dan semuanya sangat pas. Apalagi bentuk punggungnya. Sangat tegak dan tegas. Entah mengapa aku selalu menilai laki-laki dari bentuk punggungnya. Karena bagiku, punggung laki-laki merepresentasikan karakternya. Dan ternyata laki-laki itu sangat cerdas. Ia mampu membuatku tertawa, kritis, dan tidak mengantuk.
_____________________________
Ketika tiba di Stasiun Jogja. 01.45

“Kau pulang kemana ?” tanya laki-laki itu sebelum sampai di stasiun
“Kebetulan aku ke jogja hanya ingin menemui temanku. Tapi sepertinya aku keliling jogja dulu dah hingga pagi, karena tak ingin mengganggu tidurnya”
“Kalo begitu, biar aku temani kamu keliling Jogja”
“Boleh…. Jika kau tak keberatan dan tak merepotkanmu”
____________________________________
Di Alun-alun kota Jogja 02.15

“Mengapa kau suka Jogja ?” laki-laki itu memulai obrolan dan kami pun berjalan melewati malam
“Karena aku pernah mencintai laki-laki yang mencintai Jogja?”
“Oh ya ?”
“Hmm.. aneh ya ?”
“Tidak..hanya menarik”

Kami terus ngobrol dan berjalan mengitari alun-alun kota Jogja. Sembari mampir di market alfaMart dan duduk di depannya sambil memegang botol bir dan rokok yang terjepit diantara jari-jari tangan.

“Sama dong ! aku juga suka laut dan hujan”
“Oh ya ? bagaimana kalau kita ke pantai sekarang?”, ajakku
“Boleh….aku telpon temanku dulu ya, biar bisa minjem motor dan kita ke pantai”
Setelah temannya datang dan meminjamkan motornya, kami segera ke pantai…
______________________________
Di Pantai Parangtritis 03.25

“Kau sudah punya kekasih ?” tanya laki-laki itu sambil memainkan pasir di kakinya
“Tidak”
“Jangan-jangan kau lesbi?”
“Haaa…..”
“Kok ketawa?”
“Kau selalu membuat kesimpulan yang aneh”

Obrolan kami mulai menyinggung masalah privasi. Dia menceritakan kisah cintanya dan begitu juga aku. Kami tertawa tertahan karena tak ingin mengganggu pasangan muda-mudi yang berada di sekitar kami. lalu kami memutuskan untuk pergi ke motel di dekat pantai.
_____________________
Di Motel 04.15

“Yuk..!!”, ajak laki-laki itu sambil menghampiriku yang duduk menunggunya mengurusi prosedur menginap di motel. Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya.
“Kamar berapa kita ?” tanyaku. Dan laki-laki itu hanya menunjukkan gantungan kunci kamar yang tertulis nomer 2.23

Kami masih ngobrol di sofa kamar. Saling tertawa. Saling mengejek. Dan saling menyombongkan diri. 2 botol bir sudah kosong dan asap rokok sudah sedikit mengepul. Ia mendekatiku dan menatap wajahku begitu dekat. Aku hanya tersenyum sambil membalas tatapannya. lalu kami berciuman dan bercinta
______________________________
Di pagi hari 08.37

Dering HP ku berbunyi. Aku terbangun dan menjawab panggilan itu

“Iya cin…?”
“Dimana ? sudah sampe Jogja kah ?”
“Iya.. 2 jam lagi, kau jemput aku di Alun-alun ya !”
“okay”

Ku tutup telpon dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Lalu dengan handuk putih milik motel, aku menuju cermin dan mencoba menata dandananku sambil mengenakan baju yang tergeletak di lantai. Laki-laki itu masih tertidur di bawah selimut. Ku kenakan sepatu yang berada di bawah sofa dan seketika itu, laki-laki itu menyapa

“Kau mau kemana ?”
“Ke Alun-alun”
“Ada apa ?”
“Bertemu temanku. “
“Hmmm……”
“Oke…. Aku pergi dulu.. makasih ya”, ku ambil tasku dan segera beranjak pergi
“Hey bentar ! setidaknya kau tinggalkan kartu nama atau nomer HPmu untukku!”
“Hem.. apa itu penting ? toh aku juga tak ingin tahu namamu… sudahlah! Anggap saja apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah cerita…. Da..da.…..semoga kita bertemu lagi dengan rasa yang berbeda”. Aku pergi meninggalkannya dan segera menemui temanku dengan mengojek dari pantai parangtritis.

Setahun kemudian…

“Aku janji akan kenalkan kamu dengan penulis novel ini”
“Novel apaan tuh “
“Ceritanya bagus deh.. dan kau harus baca!”, aku mengambil novel dari tangan sahabatku dan membuka-buka nya.
“Sudahlah ! tar aja bacanya… tar lagi kita nyampe ke rumahnya”

Aku dan sahabatku turun dari mobil tepat di depan rumah yang megah berarsitektur eropa dengan taman yang indah dan luas. Aku mengikuti langkah sahabatku menuju tempat duduk yang berada di dekat kolam renang.

“Rumah orang kaya ya?”, tanyaku dengan penasaran
“Iya…pemilik salah satu orang yang berpengaruh di Jogja”
“oooo,…..”

Tiba-tiba laki-laki yang diceritakan oleh sahabatku sebagai penulis novel dan juga direktur di tempat kerjanya datang menghampiri kami.

“Hey.. maaf lama menuggu”, begitulah sapanya
“Ah ga kok mas….”, jawab sahabatku. “Kenalkan !, ini sahabatku dari Jakarta, ia juga penulis”. Aku menjabat tangan laki-laki itu dengan senyum yang tertahan….
“Novie…”, sapaku. Dan ia masih menatapku tajam seperti tak percaya.
“Aku mencarimu “, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya sedangkan tangannya masih menjabat tanganku…
“Dan kau sudah menemukannya….taraaaaaaaaa”

Sahabatku seperti orang tersesat yang kebingunan melihat kami yang masih saling menatap dan saling menjabat tangan………

“Pinter juga lo nyamar?”, sapaku padanya
“Nyamar apa ?”
“Nyamar miskin”, kami tertawa
“Kau sudah membaca novelku ?”
“Belum, baru saja ku dapatkan dari dia. Emangnya kenapa ?”, sambil melirik pada sahabatku
“Aku mencarimu dengan novel itu. sekiranya dengan menceritakan sosok dan cerita tentangmu, aku bisa menemukan dirimu. Perempuan yang pintar menyamar. Menyamar miskin”.

Kami tertawa tak tertahan, sedangkan sahabatku masih kebingungan. ia membuka kembali novelnya dan mencari-cari.

Gunuk, 1 April 2011. 00.36

Sabtu, 26 Maret 2011

“Lebih baik aku di poligami daripada dicerai…..”

Ya, itulah yang kukatakan pada semua orang tentang apa yang menjadi keyakinan dan prinsipku dalam menjalani sebuah pernikahan kelak. Sudah sejak lama saya mencari dukungan dan pembenaran dari sahabat dan keluargaku tentang hal itu. tapi bukan hanya sahabat perempuan, atau keluarga yang menolaknya, bahkan sahabat laki-laki pun juga menolaknya.

Sahabat-sahabat perempuanku serempak selayak nada koor mengatakan padaku. “Mungkin karena kau belum pernah pacaran, Nov. jadi ga pernah tau rasanya cemburu atau sakit hati gara-gara cinta yang terbagi dengan wanita lain. Sakit, Nov ! sungguh sangat sakit sekali”.

Sama halnya dengan komentar dari sahabat laki-lakiku, mereka juga mengatakan bahwa aku adalah wanita bodoh yang tak mampu mempertahankan dan memperjuangkan rumah tangga. Begitu pula dengan komentar keluarga besarku yang tidak sudi dengan poligami.

Sebenarnya sudah lama saya punya prinsip ini. Lalu salah satu sahabatku berkata, “Semuanya adalah proses, jika saat ini kau mengatakan bahwa kau setuju dengan poligami, belum tentu kau nanti kau akan setuju atau mungkin kau akan mengkhiati prinsipmu ketika kau menikah nanti”. Aku mencoba untuk belajar cemburu dan patah hati, namun ternyata tidak berhasil hingga saat ini. Saya menunggu suatu jawaban yang membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh sahabatku, bahwa semuanya akan berubah. Namun apakah aku harus menikah dulu, baru bisa menemukan jawaban, bahwa poligami itu tidak enak.

Tentu saja saya menolaknya. Karena ketika saya menikah, itu artinya saya telah memulai prinsipku untuk siap di poligami. Karena bagiku, menikahi pria yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan juga melakukan poligami, sama halnya dengan menikahi pria yang cacat fisik, yang tak punya tangan atau kaki. Lalu apakah aku harus meninggalkannya ?.

Pria yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga itu artinya ia sedang terjangkit sebuah penyakit disorder bipolar, yaitu emosi yang tak terkontrol secara rasio dan muncul dengan tiba-tiba tanpa sebab sehingga harus dilampiaskan pada benda atau seseorang yang paling dekat dengannya. Penyakit ini merupakan sebuah trauma dari masa lalunya. Meski melalui terapi yang sangat lama, namun penyakit itu bisa di sembuhkan yaitu dengan kesabaran dan cinta dari pasangannya.

Sedangkan pria yang suka menikah atau poligami adalah pria yang juga mengalami penyakit, baik dari segi psikologis maupun dari segi medis, yaitu hyper seksual. Kebutuhan seksualnya sangat tinggi sehingga, tidak cukup hanya dengan satu istri. Dan penyakit ini pula bisa di sembuhkan, yaitu lagi-lagi dengan kesabaran dan cinta dari pasangannya. Terlepas dengan alasan kelebihan materi , dan hal ini juga tidak ada kaitannya dengan tingkat pendidikan atau tingkat ilmu agama seseorang.

Saya memang tidak setuju dengan perceraian. Mungkin ini adalah alasan subjektif, dan itu artinya saya juga tidak ingin menghakimi atau menyalahkan orang lain yang memilih untuk bercerai. Bagiku perceraian itu adalah keputusan yang paling ‘mentok’. Alias jalan terakhir.

Setiap orang punya kebutuhan hidup masing-masing. Dan kebutuhannya berbeda-beda, baik dari segi tingkatannya maupun bentuknya. Suami istri bukan hanya saling memahami perbedaan tapi juga saling mengisi. Termasuk mengisi kebutuhan masing-masing. Jika ternyata saya tak mampu memenuhi kebutuhannya, maka tak salah jika saya mengizinkan suamiku kelak mendapatkan kebutuhannya dari wanita lain. Asalkan dengan cara etis, yaitu minta izin atau memberitahu.

Lalu bagaimana jika ternyata suamiku nanti yang tak mampu memenuhi kebutuhanku ?, apakah aku harus mencari laki-laki lain untuk bisa memenuhi kebutuhanku ?

Pertanyaan ini sudah ratusan kali aku dapatkan dari semua orang, lalu aku hanya bisa menjawab, bahwa kebutuhanku hanyalah satu, yaitu tidak bercerai. Itu saja !. itulah mengapa saya mengatakan pada semua orang bahwa menikah itu bukan hanya persoalan cinta atau sayang saja, tapi juga kesiapan. Termasuk kesiapan mental dalam menghadapi persoalan klasik dalam rumah tangga, yaitu salah satunya adalah poligami dan kekerasan dalam rumah tangga.

Sebuah bentuk hubungan (relationship) antar manusia tidak bisa diukur secara matematis, maka tak tepat jika dijalani dengan sikap yang kaku. Tidak ada sebuah hubungan yang sejati di dunia ini, semuanya hanya bagaimana cara mempertahankannya, baik itu sebuah keluarga, persahabatan, suami-istri, atau sepasang kekasih ….

Apakah saya salah ??? aku adalah wanita normal yang punya hati, cemburu, patah hati dan juga otak untuk berfikir......

Gunuk, 27 Maret 2011. 12.48

Anakku Hebat….!

Semalam aku mendengar ucapan mas Pepeng di acara “Ketemu Pepeng” di TVOne. Dia mengucapkan kalimat pada anaknya, “Kamu itu manusia hebat karena berada pada keluarga yang hebat”. Lalu saya berfikir tentang makna “hebat” itu hingga tak bisa tidur, dan akhirnya saya teringat pada kejadian di Pesawat dua bulan yang lalu, dimana ketika sedang menguping tanpa sengaja obrolan dua laki-laki paruh baya di samping tempat dudukku, yang kebetulan aku duduk dekat jendela, menuju Surabaya dari Jakarta.
_________________
Ke Surabaya, pulang atau hanya liburan, pak ?”, tanya laki-laki yang berada tepat di sampingku pada laki-laki di sampingnya

“Pulang, pak. Saya habis ‘ngeliat’ anak saya di Jakarta”

“Anaknya kuliah apa kerja, pak ?”

“Dia masih kuliah, pak. Kalo bapak ?”

“Saya juga pulang, pak. Kebetulan saya ke Jakarta hanya mengantarkan anak mendaftarkan diri untuk kuliah”

“S1 atau S2 ?”

“S2, pak”

“Ooo kalo begitu sama, anak saya juga S2. Tapi dia sudah semester 2”, jawab laki-laki yang ada di paling pinggir

“Anak saya itu hebat, pak!” laki-laki di sampingku mulai bercerita tentang anaknya, “Sejak kecil, ia selalu menuruti apa yang saya sarankan. Hingga ia selalu mendapatkan juara di sekolahnya sejak SD hingga kuliah. Dan sekarang, ia mendapatkan beasiswa prestasi untuk melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Dan itu juga yang saya sarankan. Itulah mengapa saya tidak pernah menolak memberikan apa yang ia inginkan, karena ia selalu membuktikan keberhasilannya yang membuat saya bangga. Ia memang anak yang penurut. Dan kebetulan, secara materi, saya tidak pernah kekurangan, jadi….ya saya selalu mendukungnya.”

“Apa yang bapak lakukan untuk anak bapak ?”

“Saya selalu memberikan petunjuk atau jalan pada keinginan anak saya, terutama ketika ia masuk kuliah. Saya arahkan ia untuk kuliah di kampus A dan jurusan B, dan terbukti akhirnya ia berhasil. Begitu juga dengan sekarang. Selain itu, saya juga silaturahim pada guru-gurunya, sekedar ‘menitipkan’ anak saya pada mereka, agar anak saya tidak terjerumus pada hal-hal yang negative dan fokus pada kuliahnya. Anak saya itu penurut, pak… makanya hebat!”

“Hmmm…..”

“Kalo anak bapak sendiri ?”

“Anak saya juga hebat, pak. Sejak ia memutuskan untuk kuliah S1 di Jakarta, saya melarangnya, karena selain perekonomian kami yang hanya pas-pasan, kami juga tidak punya saudara atau keluarga di sana. Namun anak saya nekat. Entah dengan apa ia sekolah. Ujug-ujug ia sudah memberikan kabar pada kami, bahwa ia sudah kuliah. Dan 4 tahun kemuadian ia lulus. Saya bangga, pak, sebagai orang kampung dan hanya petani, apalagi sekarang, ia sudah memiliki pekerjaan sambil melanjutkan kuliah lagi. Saya juga tidak tahu nama kampus dan juga jurusan yang ia ambil. Sama halnya ketika ia kuliah S1 dulu. Dan sekarang, ia yang membiayai perjalanan saya dari Surabaya- Jakarta-surabaya menggunakan Pesawat. Bahkan , ia sudah punya rumah di Jakarta dan juga merenovasi rumah kami yang di kampung”

“Kalo boleh tahu, berapa umur anak bapak ?”, tanya laki-laki di sampingku

“Sudah lumayan tua, pak. Umurnya sudah 26 tahun”

“Wah sama dong dengan umur anak saya”
___________
Saya hanya bisa tertawa tertahan mendengar obrolan dua laki-laki di sampingku itu. namun hingga sekarang, saya juga belum bisa menemukan makna ‘hebat’ yang dimaksudkan oleh mas Pepeng itu. Anak hebat karena terlahir dari keluarga hebat. Tapi apa tolak ukurnya dari kehebatan seseorang ?.

Apakah memang benar, orangtua yang hebat akan melahirkan anak yang hebat ?, Apakah anak hebat itu adalah anak yang penurut, yang selalu mengikuti keinginan atau saran orangtuanya ?, atau apakah anak hebat itu adalah anak yang nekat dan selalu melanggar keinginan atau saran orangtuanya ?.

Lalu, apakah anda adalah anak hebat ???

Gunuk, 27 Maret 2011. 10.22

Rabu, 23 Maret 2011

Masih….

Aku masih belum bisa mengerti apa maunya. Ia mengajakku untuk bertemu dan berbicara. Namun hingga kini, ia masih diam menatapaku lembut. Bibirnya gemetar dan matanya nanar. Kutawarkan rokok padanya. ia mengangguk dan mulai merokok hingga bibir dan tangannya tak lagi gemetar.

Masih segar di ingatanku sebulan yang lalu ketika ia bercerita tentang keputusannya, bahwa ia ingin menyudahi semua permainannya dengan dan tentang laki-laki. Ia sudah merasa jenuh dan bosan terhadap pembelajarannya tentang laki-laki, karena ia sudah mendapatkan sebuah kesimpulan tentang lelaki yang Tuhan berikan padanya.

Aku masih belum bisa mengerti mengapa kegilaan yang ia lakukan selama ini bersama belasan lelaki dianggap sebagai nikmat dari Tuhan. Katanya padaku, bahwa ia memang meminta pada Tuhan untuk bisa mendapatkan pengalaman-pengalaman gila itu dengan lelaki. Dan ia juga mengatakan padaku, bahwa ia tidak pernah mencari lelaki itu, justru laki-laki itu lah yang datang padanya, maka tak salah jika ia menganggap bahwa semua kegilaannya berasal dari Tuhan. Hingga pada akhirnya, ia sudah mendapatkan apa yang memang ia pinta pada Tuhan dan sudah saatnya ia sudahi semua itu.

Tidur dengan belasan lelaki yang tidak pernah ia cintai dan baru ia kenal adalah kegilaan yang tak pernah habis ku pikir. Berapa kali aku menghardiknya namun ia hanya tertawa dan mengataiku sebagai wanita bodoh dan wanita kampungan. Mungkin baginya aku hanyalah seorang pendengar yang baik, yang hanya mendengarkan cerita-cerita kegilaannya bersama para lelakinya.

Sebulan yang lalu ia mulai merokok dan minum bir setiap hari. Katanya lagi padaku, begitulah caranya untuk melampiaskan nafsunya. Hanya dengan rokok dan mabuk ia bisa menggantikan seks dengan para lelaki. Dan tak jarang pula ia bercerita padaku bahwa akhir-akhir ini, ketika keputusannya untuk menyudahi semua kegilaannya, tiba-tiba semua lelakinya datang ingin menemuinya dan tentu saja juga ingin tidur dengannya, namun ternyata ia bangga pada dirinya karena telah menolak hasrat para lelaki itu.

Ternyata wanita yang ada dihadapanku ini adalah wanita yang kuat namun juga lemah dan tak berdaya. Di satu sisi ia sangat bertanggung jawab dan konsisten terhadap keputusannya, namun di sisi yang lain, ia justru lemah dan tak berdaya ketika ia harus merokok dan mabuk setiap malam.

Kadang aku jijik dengan bau mulut sisa rokoknya begitu juga dengan bau nafas yang berat setelah menghabiskan satu botol bir. Ia mulai lelah dan mabuk kemudian tidur terlelap dengan mendengkur tak karuan.

Ia bilang padaku, katanya saat ini ia bahagia karena sedang belajar mencintai lelaki, meski ia hanya bisa mencintainya bukan untuk memilikinya. Rasa ketakutan dan kekerdilannya terus menghegemoni rasionya untuk menjalin sebuah hubungan yang serius dengan laki-laki yang ia cintai saat ini. Hanya dengan di beri kesempatan untuk mencintai laki-laki itu, sudah cukup baginya. Mencintai dengan kebahagian dan penderitaan namun begitu dinikmatinya. Saya sebagai pendengar yang baik untuknya, hanya bisa tersenyum dan mendukungnya.

Namun tiba-tiba ia ingin bertemu denganku, tapi hingga sekarang ia masih diam menatapku sambil menghabiskan sebatang rokok. Ku coba menawarkan sebotol bir. Namun ia menolak dengan alasan tak ingin mabuk karena besok pagi ia harus pergi menemui sahabatnya.

Sesekali ia memiringkan kepalanya dan tersenyum padaku. ia masih menatapku dan juga memainkan asap rokoknya pada wajahku. Aku mencoba mengelak karena aku tak suka dengan bau rokok. Tapi hal itu justru menjadi lelucon baginya. Namun ia masih menyiksaku dengan diamnya. Ia tetap tak berbicara atau sekedar mengeluarkan satu huruf dari mulutnya. Aku benci dengan ketersiksaan ini.

Tiba-tiba aku menjadi gemetar dan takut dengan pikiranku sendiri. Dan sepertinya ia bisa membaca isi kepalaku dengan menawarkan rokok padaku. aku pun menerimanya tanpa bersalah dan dengan terburu-buru. Ia pun tersenyum menertawai tingkahku.

Kami masih saling menatap. Saling diam. Saling merokok. Saling memainkan asap. Dan saling berbicara dalam hati kami masing-masing. Hingga tiba-tiba suara nada panggil HP ku berbunyi dan aku meminta izin padanya untuk menerima panggilan itu seraya pergi ke ruang depan meninggalkan cermin itu.

Gunuk, 18 Maret 2011. 23.56

Jika membunuh itu adalah halal

Ingin rasanya ku bunuh dokter itu
Ingin rasanya ku robek kertas ini
Ingin rasanya ku maki suster itu
Ingin rasanya ku lempar isi map ini

Aku benci !
Aku muak !
Aku marah !
Aku kesel !

Tapi apa dayaku
Aku tak punya kekuatan
Aku masih berdiri kaku
Sementara tubuhku bergetar

“Berhentilah merokok!”
“Berhentilah minum alcohol!”
“istirahatlah yang banyak!”
“Jangan banyak mikir!”

Apa ??!!!
Entahlah
Entahlah
Entahlah

Tolong berhentilah bergetar !
Aku memaki dengan diam
Pada jari-jari tanganku
Pada tubuhku.. pada bibirku
Please……saya mohon dengan sangat !
Berhentilah….!!!!!!!!!

Aku merapatkan kedua tanganku
Membungkus tubuhku dengan selimut
Menekuk tubuhku hingga mengecil
Dingin dan getar masih belum terhenti

“Kau terkena Parkinson !”
Ahhh… akan ku bunuh kau, Dokter !!!!

RS, 23 Maret 2011

Individu Mlentang-Mlentong

Ketika aku membaca status FB milik seorang wanita dewasa, yang sudah kuanggap sebagai soulmate , tertulis kalimat, “Jika aku memakai jilbab yang berbahan silky, jadinya mlentang-mlentong”. Begitulah kira-kira redaksinya yang sedikit aku edit, karena fokusku hanya pada kata ‘mlentang-mlentong’.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik di kepalaku. Ku biarkan diam dan memejamkan mata, sambil menikmati pantulan-pantulan file yang saling berloncatan di otakku. Tuing..! tuing..!tuing..!. aahhh masih saja belum ku temukan. Akhirnya ku putuskan untuk solat dhuhur, siapa tahu pikiranku jadi jernih dan sedikit terbuka.
Mlentang –mlentong ? kira-kira itu bahasa apa ? bahasa dari mana ? tapi mengapa kadang orang bisa memahaminya, hanya dengan membaca kalimat diatas, saya yakin seyakin yakinnya semua orang akan paham dan mengerti akan makna mlentang-mlentong itu. Tapi ketika aku tanya maknanya, pasti semua orang tidak bisa menjawab kecuali langsung mempraktekkannya…”Gini nih, Nov…” sambil mengacak-ngacak jilbabnya. Kira-kira begitu.
Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, sejak kapan kata ‘mlentang-mlentong’ itu muncul ? dan siapa yang mencetuskannya? Dalam konteks apa, ia muncul ? bisakah diasosiasikan pada konteks yang lain?.
Jika tak salah, makna ‘mlentang-mlentong’ itu adalah sebuah kondisi yang tak beraturan, acak-acakan, dan tak rapi. Dan jika diasosiasikan pada konteks yang lain, misalnya manusia, mungkin hampir mirip dengan kata ‘plin-plan’ atau ‘mencla-mencle’.
Individu yang mlentang-mlentong ini adalah individu yang tak punya prinsip dan pegangan yang kuat, hingga mudah berubah sesuai dengan arus. Ia selayak bunglon, yang selalu berubah di konteks yang berbeda dengan tujuan untuk mencari aman. Lalu apakah itu salah ?
Memang sedikit menyebalkan dan kadang bikin kesel, jika bertemu dengan orang yang mlentang-mlentong ini. Apalagi jika urusan dengan janji. Katanya mau datang jam 4 sore, tapi ternyata dengan alasan yang tidak logis, jadi melar ke jam 7 malam…..atau, katanya janji akan selalu setia, tapi ternyata selingkuh juga. , tapi apa itu salah ?
Lain halnya dengan orang yang di haruskan untuk mlentang-mlentong. Ia harus menjadi pribadi A di tempat A. atau ia harus menjadi pribadi B di tempat B dan seterusnya. Karena jika tidak begitu, ia akan mengalami keterasingan diri dan penolakan. Lalu Apakah kira-kira, orang yang memiliki bakat dan keahlian dalam memainkan perannya sebagai pribadi yang mlentang-mlentong itu di berbagai macam konteks, harus kita hargai dan kita apresiasikan ?.
Mungkin kita pernah mendengar sebuah nasehat klasik, bahwa orang yang banyak pengalaman akan lebih bijak. Banyak pengalaman itu tidak berarti berada pada satu konteks atau satu ruang saja, Namun banyak konteks dan banyak ruang dengan tetap bersikap terbuka, yaitu membuka hati dan pikiran untuk menerima semua hal yang dihadapi dan dialaminya. Dan pastinya, ini adalah ruang terbuka bagi individu yang mlentang-mlentong itu.
Jika hanya memiliki satu keyakinan akan sebuah kebenaran, maka yang ada hanyalah justifikasi antara salah dan benar. Yang benar adalah apa yang diyakini benar dan yang salah adalah apa yang tidak menjadi keyakinannya. Berbeda dengan individu mlentang-mlentong ini, ia menganggap bahwa semua realitas adalah kebenaran. Tidak ada yang salah. Dan jika harus memilih mana yang paling benar diantara kebenaran-kebenaran itu, tentu saja ia akan memilih apa yang ia yakini benar tanpa harus menganggap salah bagi yang tidak diyakini benar.
Banyak cerita yang ku dengar dari beberapa temanku, bahwa mereka ternyata tidak bisa menjalani apa yang sebelumnya mereka katakan. Misalnya, “nanti kalo aku menikah, pasti akan berhenti merokok”, tapi kenyataannya hanya omong kosong. Atau contoh lain, “nanti jika aku dapat gaji pertama dari kerjaanku, aku ingin beli laptop”, dan lagi-lagi ternyata tidak terealisasikan. Dan masih banyak contoh yang lain. Saya yakin anda semua juga pernah mengalaminya.
Tapi apakah itu salah ? bukankah hidup itu hanya sebuah proses yang tidak pernah final ?, mengapa harus menyalahkan orang yang tak mampu merealisasikan ucapannya ?. tapi jika kita terus berkompromi dan memaklumi individu yang mlentang-mlentong ini, lalu apa yang menjadi tolak ukur dari sebuah pribadi yang kuat dan konsisten ? . Sampai kapan dan sampai dimana kita harus mlentang-mlentong ?
Jadi, apakah anda adalah invidu yang mletang-mlentong ? atau individu yang konsisten dan kuat ?

Gunuk, 23 Maret 2011. 15.13