Senin, 11 Mei 2009

menutup adalah mempertahankan

“Menutup adalah mempertahankan”. Itulah kalimat yang ku catat ketika membaca buku, “Hidup adalah sebuah permainan” ketika dalam perjalanan menuju Madura dengan menggunakan kereta ekonomi dari stasiun Senen menuju stasiun Pasar Turi Surabaya. Kenapa kalimat itu menjadi penting bagiku…?

Aku pernah mendengar dari seorang teman, bahwa untuk melupakan seseorang jangan pernah menjauh dan menutup diri, karena justru dengan itu, yang ada di dalam benaknya adalah rasa cinta, kekaguman dan segala kepositifannya. Misalnya saja, anda mencintai seseorang, tapi ternyata dia tak pernah ada rasa sedikit pun pada anda. Maka agar tidak patah hati secara dalam, maka mau tidak mau harus dilupakan dan dibuang jauh-jauh rasa itu. Bagaimana caranya ? ya seperti yang ku tulis diatas, tak perlu menjauh dan membatasi diri berkomunikasi dengannya. Tidak perlu membuang no hp nya di hp mu. Tak perlu menghentikan komunikasi, baik melalui sms, telpon atau bertemu langsung. Dan tak perlu melarikan diri jika bertemu dengannya secara tak sengaja.

Jika kau menutup pintu, berarti kau membiarkan ia masuk melalui jendela. Ketika kau menutup jendela, berarti kau membiarkan ia masuk melalui cerobong asap. Ketika kau menyumbat cerobong asap, maka ia akan masuk melalui pintu belakang. Begitulah seterusnya. Kembali pada persoalan mengenai motif cinta, pasti pertama yang muncul adalah rasa suka, kagum, atau damai ketika bersamanya. Jika ingin menutup perasaan yang terus tumbuh, maka sebenarnya mempertahankan rasa suka, kagum atau semua motif yang ada ketika mencintai seseorang itu. Yang ada di benaknya hanya hal yang positif tentang dia.

Ketika kita ingin membuang dan melupakan rasa yang pernah ada, maka berusahalah untuk terus berdekatan dengannya, karena kemungkinan untuk mengetahui hal-hal yang negative atau apa yang membuatmu tidak suka alias ilfil padanya akan segera terkuak. Biarkan kemungkinan itu terbuka dengan sendirinya.

Saya pernah mengalami hal itu. Mencintai seseorang yang tak pernah mempunyai rasa sedikitpun padaku kecuali hanya nafsu dan objek percobaan saja. Sebenarnya saya tidak pernah menganggap hubungan itu sesuatu yang penting. Karena bagiku, ini adalah anugerah dalam hidup untuk disyukuri, sebab saya bisa belajar dan terus belajar mencari makna hidup yang sebenarnya. Ini bukan sebuah musibah atau tragedy hingga harus memunculkan penyesalan atau menyalahkan diri sendiri. Sekali lagi aku hanya melihat kisah ini sebuah proses dalam hidup yang terus kupelajari.

Ketika melihat motifnya, kenapa saya bisa begitu mencintainya?, sejujurnya aku hanya takut kehilangan dia sebagai seseorang yang selalu membuatku damai dan tenang. Tapi pada perjalanannya, ia hanya mengaanggapku sebagai teman, dan tak lebih. Sungguh sangat menyedihkan dan menyakitkan, tapi pada akhirnya saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan bukan semata-mata karena cinta tapi hanya ingin memilikinya saja. Ya Tuhan, saya telah bersalah. Aku siap menerima hukuman apa saja.

Berapa kali otakku bekerja keras, mencari logika untuk membuatku membencinya. Ia benar-benar bukan lelaki pilihanku. Ia tidak masuk kriteria sebagai lelakiku. Kadangkala aku malu dengan sikap dan sifatnya. Tapi entah kenapa aku begitu mentolerirnya. Berapa kali aku mencari celah dan kesalahan darinya. Berapa kali aku mencari sisi negative dari sikap dan sifatnya. Berharap aku ilfil padanya. Tapi ternyata itu sia-sia. Aku masih mencintainya….

Tapi lagi-lagi, pada akhirnya aku pun tak tahu, tiba-tiba saja, rasa itu hilang. Keinginan untuk menghubunginya lenyap begitu saja. Keinginan untuk bertemu dengannya, hilang entah kemana. Keinginan untuk berbicara dengannya, terbang di bawa angin. Keinginan untuk tahu tentangnya, tenggelam ditelan ombak.kenapa bisa begitu ya ?

Ku coba bertanya pada salah satu sahabatku yang kebetulan kandidat sarjana psikolog. Setelah ku urai secara detail permaslahanku, ia hanya berkomentar, bahwa rasa cinta memiliki potensi menjadi benci, begitu juga sebaliknya. Kalau tidak di atur pergerakannya, maka tidak akan stabil dan cepat mengalami ajakulasi dini, alias sampai pada potensi itu. Benar kata pepatah, cinta yang berlebihan akan menjadi benci, dan benci yang berlebihan akan menjadi cinta.

Merujuk pada komentarnya, sedikit mendapatkan sinar terang dari perubahan rasa yang kualami. Berbagai cara saya lakukan untuk mengembalikan rasa yang seharusnya, sesuai porsi yang memang ku jatah untuknya tak pernah terealisasikan. Namun ternyata rasa itu hilang dengan sendirinya tanpa dipaksa. Sudah menjadi sebuah hukum, bahwa sesuatu yang dipaksakan akan berbuah petaka, dan menyebabkan suatu beban.

Saya masih tak bisa memastikan dan menjamin, apakah rasa ini muncul sementara dan kemudian kembali pada semula?. Saya tak ingin berkata apa-apa, khawatir perkataanku nantinya menjadi buah simalakama. Saya hanya ingin terus berpatri, biarkan kemungkinan itu terbuka dengan sendirinya. Dan yang kutahu sekarang, adalah rasa senang akan kemenangan hati. Sudah lama aku nantikan rasa kemerdekaan ini. Sudah lama pula aku menantikan akhir dari kisah ini…terima kasih Tuhan atas pembelajarannya. Sungguh ! kali ini aku tak akan tergesa-gesa dalam bersikap dan mengambil keputusan.

Selamat tinggal rasa. Sampai kapan pun aku tak akan menutup “pintu”…mampirlah ke rumah hatiku! Agar ku tahu, siapa kamu, bagaimana kamu, dan mengapa kamu. Begitu juga sebaliknya. Proses pembelajaran akan terus berlangsung tanpa henti. Jika itu berhenti maka bumi pun berhenti berputar.

Ciampea, 8 Mei 2009.

3 komentar:

  1. Salam kenal! Pintu hati jangan banyak dibuka tutup, bukan karena akan copot, tetapi yang berbahaya adalah MACET! Gak bisa dibuka-buka lagi! Teruslah pintu hatimu terbuka untuk yang baik dan berharga. Sebaliknya teruslah tutup pintu hatimu untuk yang jelek dan tidak berharga. Ok?

    BalasHapus
  2. salam kenal juga ! makasih atas komentarnya, gimana sih katanya jangan ditutup-buka pintunya... kok disuruh buka kalo..... disuruh tututp kalo.......enaknya dibuka atau ditutup ?

    BalasHapus
  3. Gk paham deeeh,pdhal itu bgt

    BalasHapus