Sabtu, 22 Mei 2010

Lelaki Tua itu

Jakarta, 23 Mei 2010. 12.00
Menyambut pagi di Jakarta, yang tak pernah sepi dan selalu cepat. Aku harus pergi demi sebuah urusan yang begitu penting. Ku seret kakiku melangkah untuk memulai aktifitas. Di pinggir jalan, aku membeli tape I kilo dan bandrek 2 porsi. Bukan untuk di makan, bukan pula untuk di berikan pada orang, apalagi untuk di simpan, namun aku hanya ingin menyapa pagi pada penjual tape dan bandrek , yang wajah keriputnya sudah menandakan usia yang tak muda lagi…..

Di pesimpangan jalan, kulihat sosok lelaki tua dengan badan bungkuk mendorong gerobak, yang ternyata isinya adalah abu gosok. Ku kejar lelaki itu dan menyapanya sambil memberikan bandrek 2 porsi dan sebagian tape dari tanganku.

Lelaki tua itu begitu gembira dan menghentikan langkahnya untuk menikmati apa yang kuberikan padanya. Lalu dia duduk di trotoar dan aku pun mengikuti jejaknya walau hanya sekedar berbincang. Kemudian aku tahu, bahwa lelaki tua berumur 98 tahun itu bernama, pak Nurali. Dia tinggal di daerah Bintaro bersama istri keduanya yang berumur 68 tahun, yang baru 3 tahun ia nikahi. Si istri hanya sebagai guru ngaji.
Ketika kutanya, apa yang membuatnya semangat untuk bekerja, sedangkan ia sudah tua dengan jalan berbungkuk. Pak Nurali hanya menjawab, “Karena aku masih punya kewajiban, aku masih punya istri dan 7 anak”.

“ Loh, anaknya dimana aja, pak ?”, tanyaku sambil mengernyitkan dahi

“ Di kampung ada dua, di sekitar sini ada dua juga “ pak Nurali sambil menunjuk arah di belakangnya.

“ Udah pada nikah, pak “

“ Ya iyalah, neng. Bahkan sudah punya rumah sendiri”

“ lalu kenapa bapak masih saja bekerja, toh istrinya kan juga menghasilkan duit. Atau bapak kan bisa minta duit ke anak-anaknya. Badan kan sudah tua, mending kalo tetap mau kerja, ya di rumah saja, gak usah jalan ”.

Dengan santai sambil merokok, pak Nurali menjawab, “ kalo hanya di rumah, saya gak bisa menghasilkan duit banyak. Dan jika harus meminta duit sama anak, bapak malu, neng. Mereka kan juga punya keluarga, sekarang biaya sekolah saja, mahal banget. Ya minimal duit hasil kerja ya buat bapak saja, buat beli rokok dan makan. Lagipula kalau sambil jalan, bapak gak bakal ketemu si neng”.

“ halah, bapak bisa aja. Tapi bapak gak capek kan ?”

“ ya capek lah neng, tapi pekerjaan seberat apapun kalo dijalani dengan senang dan memang keinginan sendiri, bisa menjadi ringan”.

“trus, sampe kapan, bapak terus begini, gak mau istirahat toh….? 2 tahun lagi, bapak wes 100 tahun lo..”

“ yaelah sih eneng, gak ada hubungannya pekerjaan dengan umur. Semua yang menentukan hidup adalah Allah. Buktinya, bapak masih sehat padahal sudah cukup lama berjualan kayak gini. Sekarang masanya sudah beda, neng. Zaman dulu, orang-orang berumur kayak bapak, masih saja sehat. Nah sekarang, sudah umur 60 thn sudah mati…..”

“ Menurut bapak, itu semua karena apa ?”

“ karena moral dan akhlak. Maaf aja neng, dulu tuh, mau ngeliat paha aja, harus ngintip orang mandi dulu. Nah kalo sekarang, hihihi ……..paha wanita berjejer dimana-mana. Bapak malu, neng. Dulu tuh, laki-laki umur 20 tahunan belum kenal cewek, apalagi pacaran, nah sekarang..? coba neng perhatikan….! Anak SD pun sekarang bisa pacaran. Bahkan ada yang hamil duluan. Nikah saja, bapak dulu gak tau sama tuh perempuan, pokoknya di suruh nikah aja sama orangtua, yaa bapak mau aja… nah kalo sekrang, kalo gak pacaran ya gak keren…..”.

Bapak tua yang sudah tidak punya gigi itu terus saja bercerita sambil menghabiskan
rokoknya. Aku hanya tersenyum mendengar cerita dan keluh kesahnya. Hmm ,….. kira-kira apa yang bisa kita petik hikmahnya dari cerita ini…..???

Lelaki Tua itu

Jakarta, 23 Mei 2010. 12.00
Menyambut pagi di Jakarta, yang tak pernah sepi dan selalu cepat. Aku harus pergi demi sebuah urusan yang begitu penting. Ku seret kakiku melangkah untuk memulai aktifitas. Di pinggir jalan, aku membeli tape I kilo dan bandrek 2 porsi. Bukan untuk di makan, bukan pula untuk di berikan pada orang, apalagi untuk di simpan, namun aku hanya ingin menyapa pagi pada penjual tape dan bandrek , yang wajah keriputnya sudah menandakan usia yang tak muda lagi…..

Di pesimpangan jalan, kulihat sosok lelaki tua dengan badan bungkuk mendorong gerobak, yang ternyata isinya adalah abu gosok. Ku kejar lelaki itu dan menyapanya sambil memberikan bandrek 2 porsi dan sebagian tape dari tanganku.

Lelaki tua itu begitu gembira dan menghentikan langkahnya untuk menikmati apa yang kuberikan padanya. Lalu dia duduk di trotoar dan aku pun mengikuti jejaknya walau hanya sekedar berbincang. Kemudian aku tahu, bahwa lelaki tua berumur 98 tahun itu bernama, pak Nurali. Dia tinggal di daerah Bintaro bersama istri keduanya yang berumur 68 tahun, yang baru 3 tahun ia nikahi. Si istri hanya sebagai guru ngaji.
Ketika kutanya, apa yang membuatnya semangat untuk bekerja, sedangkan ia sudah tua dengan jalan berbungkuk. Pak Nurali hanya menjawab, “Karena aku masih punya kewajiban, aku masih punya istri dan 7 anak”.

“ Loh, anaknya dimana aja, pak ?”, tanyaku sambil mengernyitkan dahi

“ Di kampung ada dua, di sekitar sini ada dua juga “ pak Nurali sambil menunjuk arah di belakangnya.

“ Udah pada nikah, pak “

“ Ya iyalah, neng. Bahkan sudah punya rumah sendiri”

“ lalu kenapa bapak masih saja bekerja, toh istrinya kan juga menghasilkan duit. Atau bapak kan bisa minta duit ke anak-anaknya. Badan kan sudah tua, mending kalo tetap mau kerja, ya di rumah saja, gak usah jalan ”.

Dengan santai sambil merokok, pak Nurali menjawab, “ kalo hanya di rumah, saya gak bisa menghasilkan duit banyak. Dan jika harus meminta duit sama anak, bapak malu, neng. Mereka kan juga punya keluarga, sekarang biaya sekolah saja, mahal banget. Ya minimal duit hasil kerja ya buat bapak saja, buat beli rokok dan makan. Lagipula kalau sambil jalan, bapak gak bakal ketemu si neng”.

“ halah, bapak bisa aja. Tapi bapak gak capek kan ?”

“ ya capek lah neng, tapi pekerjaan seberat apapun kalo dijalani dengan senang dan memang keinginan sendiri, bisa menjadi ringan”.

“trus, sampe kapan, bapak terus begini, gak mau istirahat toh….? 2 tahun lagi, bapak wes 100 tahun lo..”

“ yaelah sih eneng, gak ada hubungannya pekerjaan dengan umur. Semua yang menentukan hidup adalah Allah. Buktinya, bapak masih sehat padahal sudah cukup lama berjualan kayak gini. Sekarang masanya sudah beda, neng. Zaman dulu, orang-orang berumur kayak bapak, masih saja sehat. Nah sekarang, sudah umur 60 thn sudah mati…..”

“ Menurut bapak, itu semua karena apa ?”

“ karena moral dan akhlak. Maaf aja neng, dulu tuh, mau ngeliat paha aja, harus ngintip orang mandi dulu. Nah kalo sekarang, hihihi ……..paha wanita berjejer dimana-mana. Bapak malu, neng. Dulu tuh, laki-laki umur 20 tahunan belum kenal cewek, apalagi pacaran, nah sekarang..? coba neng perhatikan….! Anak SD pun sekarang bisa pacaran. Bahkan ada yang hamil duluan. Nikah saja, bapak dulu gak tau sama tuh perempuan, pokoknya di suruh nikah aja sama orangtua, yaa bapak mau aja… nah kalo sekrang, kalo gak pacaran ya gak keren…..”.

Bapak tua yang sudah tidak punya gigi itu terus saja bercerita sambil menghabiskan
rokoknya. Aku hanya tersenyum mendengar cerita dan keluh kesahnya. Hmm ,….. kira-kira apa yang bisa kita petik hikmahnya dari cerita ini…..???

Antara aku dan Buya

Jogja, 22 Mei 2010
Kisah fiktif yang terkarang oleh seorang anak untuk ayahnya, berharap sesuai dengan isi hati ayahnya yang disayangi.

Pamekasan, 08 November 1984
Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku. Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat dan melalui proses normal. Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Novi Kamalia..yang merupakan kompilasi sumbangan nama dari kawan-kawanku. Walaupun aku tak begitu paham dengan arti yang sebenarnya, tapi aku harap kelak kau akan menjadi orang yang selalu mencari , mencari dan terus mencari akan makna namamu dan hidupmu.

1989 Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau berbeda dari kakak sulungmu. Bagaimana engkau dengan gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri saudarimu. Dengan sikap nakal dan beranimu, kadang-kadang membuatku marah dan mangkel, sehingga tak jarang, aku memukulmu hanya ingin kau tahu bahwa itu tak baik dan itu bisa mencelakaimu. Kau memang tak membalas, bahkan kau masih belum sadar, kau terus membuat kenekatan yang membuatku dan ibumu khawatir. Sebenarnya aku sangat iba melihatmu menangis ketika aku pukul, tapi aku hanya ingin kau bisa mengerti dan mengambil pelajaran dari itu semua.

1995 Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut lomba Pidato bahasa Arab di MTQ Mojokerto; itu anakku Novi ……Meski tidak juara pertama, aku tetap bangga padamu. Walaupun bakatmu ini sudah terasah sebelumnya dengan mengikuti lomba yang serupa di berbagai acara perlombaan yang diprakarsai oleh TPA mu. Selain di bidang pidato, kamu juga lihai dalam membaca syair puisi dengan air wajah yang ekspresif, sehingga kepercayaan dirimu yang tak pernah sengaja aku bangun, telah ada pada dirimu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak seperti kakakmu yang kalem dan cendrung memilik sifat-sifat perempuan, engkau justru sangat angresif, pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas.

Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman, mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku memanjat membetulkan genting yang bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti saudarimu. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering meperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengatahuan dan permainan untuk anak lelaki. Maka kadang aku tak malu, ketika kau membantu para tukang membangun masjid di samping rumah baru kita.

Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga. Engkau menolak bersekolah di Pondok Pesantren seperti saudarimu. Tapi akhirnya, kau pun mau masuk pondok Pesantren dengan segala iming-iming dariku. Tapi, setiap waktu perpulangan, aku selalu menghadap kepala sekolah lantaran harus mendengar laporan tingkah lakumu yang selalu bikin onar dan membuat semua pengurus sekolah pusing dengan kenakalanmu. Hingga membuatku malu, sebagai ayah juga sebagai publik figur.

Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau larut dalam pola pergaulan yang tak benar, anakku. Bahkan ketika kau membawa temenmu dengan pakaian yang agak ketat dan berboncengan motor bertiga, dan kamu yang menyetir, itulah puncak kemarahanku padamu. Hingga membuatku tak sadar, ingin memukulmu dan mengusirmu. Untung saja, ibumu selalu memcairkan amarahku.

Selama kita “betengkar”, aku selalu bingung dan merasa bersalah, tapi apa yang dapat aku lakukan padamu. Kenapa kau bersikap seperti itu padaku ? apa salahku ? padahal aku selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anakku, termasuk kau. Alhamdulillah, walau agak lama, akhirnya kita saling terbuka dan mengerti akan karakter dan tabiat masing-masing. Aku rasakan kau semakin sayang padaku, dengan selalu mencium pipiku yang aku anggap itu tak wajar dan membuatku malu. Tapi kau selalu berani menciumku walaupun di depan orang banyak.

2004 Tahun ini engkau menamatkan sekolahmu di pondok, walaupun aku sedikit kecewa tidak bisa hadir pada acara wisuda kelulusanmu, karena bentrok dengan pekerjaan kantorku. Engkau tumbuh menjadi gadis cantik, periang, pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota Kopassus datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil pak Haji, putri seorang kepala Depag, putri seorang yang berpendidikan tinggi... Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami. Dalam doa-doa malamku selalu kebermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku.

Pertengan tahun 2004, kau ku daftarkan kuliah di Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah dengan harapan kau bisa membuatku bangga. Bisa juara di sekolah bergengsi di Jakarta. walaupun sampai saat ini saya tetap tidak mengerti jurusan yang kau ambil;Tafsir-Hadis. Sebenarnya untuk apa kau ambil itu. Karena aku lebih tertarik jika kau ambil jurusan Psikologi atau Bahasa inggris atau mungkin juga seperti kakakmu, mengambil jurusan Syari’ah, yang sangat jelas orientasi kerjanya ke depan, sama sepertiku dulu.

Terus terang, kesibukan pekerjaanku telah menyita waktuku untuk mengamati perkembangan anak-anakku, terutama kau nun jauh di Jakarta sana. Aku tak tahu, apa saja kegiatanmu selain kuliah. Hingga kekhawatiran itu mulai timbul , ketika kau memilih untuk tak ingin merayakan Lebaran bersama keluarga di rumah. Kau malah memilih Jakarta sebagai rumah keduamu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi disana? Kenapa kau lebih mementingkan Jakarta daripada keluarga di rumah ? apa yang membuatmu begini ?.

Tahun 2006 saya mendapatkan tugas diklat kepemimpinan di Jakarta, yang ternyata dekat dengan kampusmu. Kau selalu aktif membantu keperluanku, baik pribadi maupun pekerjaan kelas. Bahkan bukan hanya aku yang kau bantu tapi juga kawan-kawan satu diklat. Pantas jika mereka, kawan-kawanku bersimpati kepadamu dan menganggapmu sebagai anaknya. Aku begitu bangga tapi juga khawatir dengan sikapmu. Entahlah, aku masih menganggapmu seperti anak kecil yang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Tapi suatu ketika, kau datang menemuiku dan mengajakku ngobrol untuk memberitahukanku bahwa saat ini kau bukan hanya kuliah di UIN Jakarta tapi juga mendapatkan beasiswa di ICAS Paramadina milik Cak Nur {Nurcholish Majid} yang aku tahu, ia lah lokomotifnya pemikiran liberal di Indonesioa. Aku hanya mengangguk dan terus mensuportmu, tapi di hati kecilku terbersit kekhawatiran yang sangat besar dengan pengaruh pemikiran yang sangat liberal. Bahkan kekhawatiran itu bertambah, ketika kau menyatakan akan meneruskan kuliah ke Negeri Paman Sam, yaitu Amerika, yang sangat Liberal.

Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan aku hanya seorang ayah yang mempunyai karakter kurang mampu berkomunikasi dengan anak. Aku hanya bisa memberikan apa saja yang kau mau. Aku tambahkan uang kirimanmu dengan harapan bisa meredam ambisimu yang sangat kuat untuk kuliah ke Amerika. Sehingga nantinya akan timbul sebuah perasaan iba dan mengerti akan keinginan dan harapanku.

Januari 2009, kau sudah lulus mendapatkan gelar sarjana. Walaupun sampai saat ini, aku tak begitu paham mengenai jurusan yang kau ambil. Memang tak salah namun, sungguh aku bingung, dengan gelar itu, kau akan menjadi apa, dan pekerjaan apa yang layak untukmu. Setiap kutanya tentang rencana masa depanmu kau selalu berapologi , “Yah, pekerjaan itu bukan tujuan atau target, tapi bonus dari perjalanan hidupku. Aku sekolah bukan untuk kerja, tapi untuk mencari ilmu dan pengalaman”. Sudahlah ! aku tak ingin memaksanya lagi, yang penting dia sudah lulus, dan segera melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu gelar megister. Betapa tenangnya hidup ini, jika mempunyai anak bergelar megister. Sungguh jika itu terjadi, dan aku belum juga mati, maka aku akan bunuh diri, karena tanggung jawab dan kewajiban ku sebagai seorang ayah sudah selesai.

Tiba-tiba kau mendekatiku dan meminta waktu untuk berbicara, bahwa kau ingin istirahat selama setahun dari hal-hal yang berhubungan dengan akademisi. Kau bermaksud untuk ke Kalimantan dan belajar Bahasa Inggris di Pare, walaupun sebenarnya aku tak setuju dengan pola pikirmu. Kau mungkin tak pernah menyadari, bahwa keinginanku untuk segera menyelesaikan kewajibanku sebagai seorang ayah yang memiliki anak lulusan megister, sehingga aku bisa focus pada adik-adikmu. Aku tak sanggup lagi untuk memahami keinginan liarmu. Apalagi jika kau tahu, bahwa masa pensiunku hanya kurang 1 tahun lagi.

Aku paham, kau mulai sadar diri. Akhir tahun 2009, kau mulai mendaftarkan diri untuk kuliah di UI Jakarta, namun ternyata, kau tidak lulus, hanya karena kenekatanmu memilih jurusan yang menyimpang dari jurusan sarjanamu, mungkin itulah sebab utama kau tak lulus. Aku memang tidak tahu bagaimana cara menenangkanmu karena kegagalanmu, namun mengapa kau menolak kuliah di UIN. Justru itu adalah solusi yang terbaik, dan aku yakin kau pasti lulus disana.

Sejak aku tak menyetujuimu untuk melanjutkan kuliah ke Luar negeri, kau semakin melonjak. Kau tak ingin melanjutkan kuliah selain di UI atau UGM. Kau semakin idealis. Kau semakin manja. Padahal sudah 2 kali kau gagal masuk di UI. Sedangkan di UGM, kau seperti tak bergairah. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, wahai putriku ? Dimana Novieku yang dulu? Tolong kembalikan !

Kini, aku semakin tak mengerti. Ketika kau kusuruh pulang ke Madura, kau selalu beralasan ada acara di Jakarta. Usut punya usut, ternyata kau terlibat dalam pementasan teater. Sungguh! Hal itu yang paling ku benci. Seni adalah musuhku. Mengapa kau terlibat dalam dunia itu ?. Apa yang kau lakukan di Jakarta ? . aku sudah tak punya keberanian dan kekuatan untuk melarangmu terjun ke dunia yang paling ku benci itu. Aku sadar, kau sudah dewasa dan bisa menentukan mana yang terbaik untuk hidupmu, namun apa salah jika aku meminta, jangan kau sentuh dunia itu !.

Bukan niat untuk memata-matai kegiatanmu di Jakarta. Namun aku sudah mendengar, kau kini semakin liar dan kehilangan arah, aku tahu kau kini berpenampilan bukan selayaknya yang ku kenal. Entah apa alasanmu namun, aku sungguh malu. Selain itu, menurut orang yang kutugaskan untuk mencari tahu tentang dirimu, kau kini jauh berbeda. Apa salah jika aku marah ? apa salah jika aku malu memiliki anak sepertimu ? . tolong kembalikan Novieku yang dulu ? anak yang paling aku banggakan .

Setiap kau pulang ke Madura, aku sadar sudah tidak ada lagi komunikasi yang harmonis antara kita. Aku lelah dan malas untuk menyapamu. Aku sudah pasrah dan tak peduli lagi dengamu. Kau mau kemana. Kau mau jadi apa. Itu sudah bukan urusanku lagi. Itulah yang menjadi kelemahanku sebagai seorang lelaki dan seorang ayah. Aku memang tak bakat berkomunikasi yang baik dengan anak. Mungkin inilah kutukan dari Tuhan, hingga mengapa aku lebih banyak memiliki anak perempuan daripada lelaki. Sedangkan yang lain tidak tahu tentang apa yang terjadi padamu di Jakarta, karena aku menugaskan orang untuk memantau kegiatanmu tanpa sepengetahuan mereka. Kau masih saja tersenyum dan berusaha bersikap manis di depanku dengan menyapaku. Aku hanya bisa diam dan terus cuek. Hingga keesokan harinya kau datang mendekatiku, “Yah, aku ingin umroh dengan Buya dan Umma. Bisa ?”.
Aku kaget, kenapa tiba-tiba kau punya keinginan itu. Tak ingatkah kau bagaimana kau sudah mengecewakanku, karena menolak nadzarku, untuk meng-haji-kan kau sebagai hadiah sarjana, sebagaimana aku lakukan juga pada mbakmu. Hingga pada akhirnya, jatah itu ku berikan pada adikmu yang baru saja lulus SMA. Namun kini, kau meminta umroh bersamaku dan ibumu….ada apa denganmu….? Aku masih bertanya-tanya. Namun itu sudah menjadi kelegaanku…..

Epilog :
“Buya, suatu saat kau akan tahu, apa yang sebenarnya terjadi padaku……izinkan saat ini aku berbohong demi sebuah kejujuran yang akan kusampaikan nanti,……. Tetaplah menjadi kekuatanku untuk tetap bertahan hidup…..”

Kamis, 06 Mei 2010

Sendiri atau Bersama …?

Entah mengapa, sehabis latihan teater di Bulungan, Blok M, yang kadang sampai jam 1 malam atau bisa jadi sampai jam 2 malam, biasanya aku mampir ke warnet temanku yang terletak di samping kampus UIN, di jalan Semanggi, bukan untuk hanya sekedar online atau cek komentar facebook-ku, tapi kadang-kadang aku hanya ingin bertemu dengan kawan-kawan, untuk sekedar ngobrol, atau hanya menjadi pendengar saja, meskipun aku tak mengenal mereka. Sampai saat ini, walaupun setiap malam saya bertemu dengan mereka, tetap saja, aku tak ingat nama mereka, satu-persatu. Kadang yang menjadi anekdot, setiap kali bertemu, aku selalu berkenalan dengan mereka, padahal kemaren, aku sudah berkenalan dan ngobrol.

Jika aku mulai bosan untuk mampir ke warnet tersebut, atau merasa sungkan, karena sering ke sana, kadang aku menumpang minum jahe susu di ankringan depan café Resto. Disana aku berbincang dengan pemilik kedai nasi kucing atau mencoba mengajak ngobrol dengan orang-orang yang berada satu bangku denganku. aku yakin orang yang suka makan nasi kucing atau sekedar minum jahe susu, pasti kurang lebih memiliki karakter yang sama denganku. dari itu akau yakin, obrolanku, pasti nyambung.

Tentu kalian akan bertanya, mengapa aku tak langsung pulang ke tempat kosanku sehabis latihan.? Padahal, kalian pasti tahu, bahwa fisikku telah lelah dan remuk. Huh ! rasanya ingin cepat berbaring dan memejamkan mata. Namun aku merasa hampa dan ada sesuatu yang kurang, jika aku tak mampir ke warnet temanku atau ke ankringan. Sepertinya aku butuh teman ngobrol, tapi aku hanya tinggal seorang diri di kos yang tak besar.

Jam setengah tiga pagi, aku pamit pulang. Kembali ke kos. Memarkir motor depan kamarku. Buka pintu. Menguncinya. Meletakkan tas di kursi biru, helm di atas rak buku, dan kunci motor di atas meja. Mematikan lampu kamar depan, karena setiap meninggalkan kos, aku pasti menyalahkan lampu kamarku.

Beranjak ke ruang tengah. Menyalahkan dispenser untuk air panas. Menghidupkan Teve. Menggantung syal dan jaket. Berganti pakaian. Membersihkan wajah sambil menonton “Rachel Ray” di Metro TV, tentang bagaimana membuat resep kudapan atau makanan ringan. Membuat susu. Masuk kamar mandi. Membersihkan badan, wajah dan sikat gigi. Berwudhu dan solat Magrib, Isya’ dan Tahajjud, maklum, latihannya mulai dari jam 5 sore, jadi sekali-kali aku menjadi syi’ah , Magrib dilakukan di waktu Isya’.

Solat dilakukan di ruang depan. Kemudian kembali ke ruang tengah. Minum susu yang sudah tak panas di atas kulkas. Mempersiapkan tempat tidur. Mematikan lampu, karena saya suka gelap. Dan membiarkan TV tetap menyala.

Mengecilkan volume TV. Berbaring dan membiarkan mata terlelap. Namun kadangkala, ketika tak bisa tidur maka ku putuskan untuk menunggu waktu Subuh, --maklum, kadangkala subuhku pindah jam tayang ke jam 8 pagi—dengan menonton TV, membaca, menulis, membuka laptop, atau hanya sekedar merapikan baju. Hufh ! tidak mungkin aku menelpon teman-teman pada jam segitu, selain akan mengganggu waktu istirahatnya, aku pun kurang suka, jika mendapatkan telepon pada jam-jam istirahat.

Kalian pasti sudah menebak, jam berapa aku bangun tidur ?!. Yup !. aku bangun tidur sekitar jam 10 atau jam 11 pagi. Kebiasaan inilah yang sudah terekam oleh teman-temanku. Makanya mereka tidak pernah datang ke rumahku atau sekedar mengirim sms “selamat pagi, cinta”, pada jam-jam sebelum jam 11.

Bangun tidur. Menyalakan TV. Mencari program gossip. Minum air satu botol kecil. Meregangkan otot dengan olahraga ringan. Melakukan olah nafas. Buka kulkas. Berfikir mau masak apa . ke dapur dan menyiapkan sarapan plus makan siang.

Makan siang. Mandi . solat. Dan menjalankan agenda. Entah itu nonton tv, atau ke Gramedia, atau silaturahim ke rumah teman, atau online, atau membaca , atau pun menyelesaikan tulisan. Jam 5 sore, aku harus ke Bulungan untuk latihan.

Hmm…. Entah apa yang ingin dikomentari. Apakah hari-hariku begitu indah ?, atau bahkan terlalu membosankan ?, atau bisa jadi begitu kaku ?. Namun aku begitu menikmati hari-hariku. Di satu sisi, aku butuh seorang teman yang bisa tinggal bersama denganku. namun disisi yang lain, aku suka dengan kesendirianku, bahkan aku takut kehilangan kesendirianku. Karena bagiku, mencari keramaian itu mudah, namun mencari kesendirian itu susah….

Jika pun aku boleh berdoa, “Tuhaaaaan…. Hentikan sejenak waktuMu! Aku ingin berpesta…”.

Ciputat, 06 Mei 2010. Jam 04.30

Senin, 03 Mei 2010

Manusia diantara Malaikat dan Setan….

Ketika aku ditanya tentang kebebasan, maka jiwaku terbang melesat pada dimensi malaikat dan setan....

Saya adalah manusia, yang berada di antara dimensi malaikat dan setan. Tentu saja semua sudah sepakat, bahwa kebaikan berada pada dimensi malaikat. Tidak boleh tidak, dan bagaimana pun malaikat pasti selalu baik, meskipun ia berbuat kesalahan atau penyimpangan –dalam konteks manusia--, pasti akan tetap baik. Dengan kata lain, malaikat memang sudah di kutuk atau ditakdirkan untuk selalu baik. Itu adalah tesis yang tak terbantahkan.

Berbeda dengan Setan, yang sejatinya ia selalu berada pada dimensi keburukan atau kejahatan. Sebesar atau sekecil kebaikan yang pernah setan lakukan, tetap saja selalu jahat atau buruk. Tidak sedikit orang yang menjadikan alasan setan, karena perbuatan jahatnya. Misalnya saja, seseorang yang membunuh keluarganya, mengatakan bahwa ia kesurupan atau ada seseuatu yang ghaib yaitu setan yang menyuruhnya untuk melakukan kejahatan itu. Lagi-lagi setan yang menjadi motifnya. Percaya atau tidak, hal ini sudah menjadi consensus, bahwa setan adalah symbol kejahatan.

Itu artinya, malaikat tidak bisa dihindarkan dari kebaikan dan begitu juga dengan setan yang mendarahdaging dengan kejahatan. Lalu bagaimana dengan manusia ? manusia yang berada diantara dimensi malaikat dan setan yaitu baik dan buruk, memiliki kebebasan dan pilihan untuk menyentuh atau melakukan perbuatan yang baik ataupun yang buruk. Artinya tidak ada justifikasi, bahwa semua manusia itu baik atau sebaliknya.

Kebebasan inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang kompleks. Ia bisa melakaukan hal kebaikan dan juga keburukan. Akan tetapi manusia yang berkualitas atau berada pada kesadaran sebagai manusia, ketika ia bisa mengontrol, yang artinya ia tahu kapan dan dimana ia harus mengatakan “tidak” atau “cukup”.

Silahkan kalian melakukan zina semaumu. Silahkan kalian tidak melakukan solat, atau main PS sampe lupa dengan kuliahnya atau pekerjaannya. Silahkan kalian facebook-an, hingga lupa waktu. Silahkan kalian ngebir, sampe mabuk. Silahkan kalian habiskan uang hanya untuk hedon. Silahkan kalian lakukan apa yang kalian mau dan ingin kalian coba, tapi kalian harus sadar bahwa kalian adalah manusia yang punya control, yaitu tahu dan sadar, kapan dan dimana harus mengatakan ‘stop’ aatau ‘cukup’. Disinilah perbedaan malaikat, setan dan manusia….

AKU BEBAS