Kamis, 28 Oktober 2010

Mengingat Mbah Maridjan

Mengingat ?. Mengingat itu adalah proses pencarian memori yang pernah terekam sebelumnya. Namun jangankan berbicara, bertemu langsung atau bertatap muka saja dengan mbah Maridjan tidak pernah terjadi. Hanya saja aku bisa melihat wajah dan mengenal sosoknya melalui kotak ajaib berbentuk persegi empat sama sisi yang terpampang di pojok ruang tamu rumahku, dengan perantara mulut para selebritis, tokoh politik, dan para pembawa berita.

Channel 1, tentang mbah Maridjan. Begitu juga dengan channel yang lain. Setiap ku pencet remote TV untuk mencari acara, selalu muncul wajah mbah Maridjan. Apalagi setelah kematiannya yang begitu heroic karena awan panas atau yang disebut dengan wedus gembel dari gunung merapi. Tak tanggung-tanggung, acara infotaiment pun alias acara gossip, juga ikut meramaikan membincangkan sosok mbah Maridjan. Karena selain sebagai guru kunci gunung Merapi yang di pilih oleh Sultan Hamengkubono IX, ia juga dikenal sebagai bintang iklan minuman berenergi yang memiliki jargon yang khas, yaitu “ROSO”, hem…

Hingga tanpa sadar, sosok mbah Maridjan masuk kedalam alam bawah sadarku dan berkumpul dengan memori-memori yang lain. Ia berdesakkan dengan memori-memoriku yang tak terbuang. Sehingga yang bisa kuingat hanya mbah Maridjan dalam versi televisi.
Setelah kulihat jam dinding berwarna favoritku ,yaitu hitam putih, yang terletak di dinding pembatas antara kamar tamu dengan kamar tidurku, mengabarkanku bahwa hari ini sudah memasuki pagi. Pagi yang gelap. Yang ditunjukkan oleh jarum jam yang asyik nongkrong di angka 2. Aku mulai mematikan TV dan mulai bermanja dengan selimut. Namun tiba-tiba aku merasa pengen buang air kecil, maka kupakasakan tubuhku dengan membunuh rasa kantukku untuk segera ke kamar mandi.

Dengan tergesa aku kembali ke tempat peraduanku, meski kasurku hanya sebuah selimut empuk yang jika tak dipakai untuk tidur, maka ku lipat dan kuletakkan di tumpukkan kain yang lain tapi bagiku itu sudah membuatku nyaman. Namun tiba-tiba jantungku berdetak cepat karena dikagetkan oleh sesosok yang duduk di atas selimutku. Maka kunyalakan lampu yang awalnya kubiarkan menggelap. Sinar lampu memberikan aku penjelasan tentang sosok laki-laki tua berbaju batik berwarna cokelat marum, dengan sarung kotak-katak besar berwarna merah bata dan sebuah peci yang nongkrong di kepalanya.

Aku mendekat dan berjalan ke arah samping hingga berada didepan sosok itu. sambil menunduk dan berjinjit aku menyapa dengan suara “ehem”. Tiba-tiba sosok itu mengangkat wajahnya dan mulai tersenyum. Kaca mata berukuran besar yang setia melindungi matanya memberikan isyarat kearifan akan sosok ini. Kerutan-kerutan tegas di wajahnya menggambarkan sosok ini sebagai lelaki tua yang punya prinsip dan semangat yang kuat. Senyumannya yang disertai dengan barisan gigi putih yang besar namun merata, membuat sosok ini tak asing bagiku. Aku langsung menunduk di hadapannya dan menyalami tangannya yang tua. Dengan pelan-pelan aku pun menyapanya

“ Apa kabar, mbah ? “ lelaki tua itu masih saja tersenyum padaku. ia tak mengeluarkan sepatah dua patah kata pun padaku. maka dengan rasa penasaran, aku pun mulai bertanya.

“ kalo boleh tau, ada keperluan apa mbah kesini ?” , dengan sedikit hati-hati aku berbicara selayak putri solo, khawatir menyakiti perasaannya, dan aku pun mulai memperbaiki dudukku dengan bersila. Aku menunggu jawaban mbah yang begitu lama, yang sebenarnya aku tak terbiasa menjalani ketersiksaan ini. Namun karena dihadapanku adalah mbah Maridjan, yang begitu arif dan sederhana, maka ku bunuh semua egoism dan emosi yang ada didalam diriku. Sambil menunduk aku masih menunggu. Tiba-tiba mbah mulai berbicara, dan aku langsung mengangkat wajahku, menghadap wajahnya.

“ Nduk…. Aku kesini karena kamu yang memanggilku dengan hatimu. Aku sudah tahu, cerita setelah kematianku. Bagaimana semua orang berbicara tentangku. Meski aku kurang suka, tapi ya… itu sudah resiko yang harus aku terima. Itu sudah haknya mereka. Jadi buat apa aku melarang “.

“ Lalu mengapa mbah mau datang karena kupanggil ?”.

“Karena mbah, pengen kamu tahu, bahwa keinginan yang hanya terdetik saja, bisa terbaca di alam yang lain. Maka mbah hanya bisa berpesan, hati-hatilah terhadap keinginanmu. Jangan mudah membuat keinginan apalagi muncul karena emosi dan tanpa pertimbangan yang benar.”

“ enjih mbah….tapi boleh saya nanya yang lain, mbah ?”

“ opo ?”.

“ Apa mbah gak merasa menyesal, karena meninggal dengan cepat ?”. tiba-tiba mbah tersenyum dan tertawa kecil, lalu ia menjetok kepalaku

“ yaelah nduk,.,,, nduk…pertanyaanmu itu kayak orang bodoh saja. Apa perlu mbah jelaskan ? mbah merasa bangga dan bahagia saat ini, bukan karena mbah meninggal oleh wedus gembel gunung merapi, Tapi karena mbah bisa mempertahankan komitmen dan tanggung jawab yang mbah pikul. Kau tahu nduk ? membuat orang percaya pada kita itu susah, apalagi mempertahankannya. Jadi, mbah hanya bisa berpesan sama kamu, jangan pernah takut jika itu untuk kepentingan orang lain dan untuk mempertahankan komitmenmu “

“ enjih mbah…”

“ Yo wes, mbah pulang dulu ! sampaikan salamku untuk masyarakat Indonesia, bahwa aku bahagia disini. Gak usah terlalu memikirkan aku. Gak enak sama korban Tsunami Mentawai lainnya, mereka pada complain dan mengadu padaku. yo wes yo…… mbah pulang dulu. ! gak mau nitip salam tah ?”

“ hemm…. Salam ambe sopo, mbah ? sing penting mbah bahagia. Nanti juga aku bakal kesana kok.. hee “ aku menundukkan kepala dan menyalami tangannya dengan khidmat. Kemudian ketika ku tengadahkan kepalaku, sosok mbah Maridjan sudah menghilang……

“ hati-hati, mbah “ itu lah kalimat yang keluar dari mulutku….mengantar kepergian mbah Maridjan…

Gunuk, 29 Oktober 2010. 13.04

Aku Rindu dengan sangat

Entah tiba-tiba aku kangen buya dan umma. Ingin rasanya kurebahkan kepalaku di pangkuan umma. Dan memanja pada buya untuk memijatkan kakiku. Hem… aku jadi teringat pada masa lalu. Dimana aku merasa terasing di antara kuluargaku.
Sejak kecil, sebelum aku masuk TK, aku sudah merasakan keterasingan. Kuakui aku memang nakal dan tak mau mendengarkan apa kata buya dan umma. Disuruh tidur, malah main. Disuruh beli-beli ke warung, malah duitnya buat jajan. Tak jarang, aku mendapatkan pukulan dari buya atau dari umma. Bukan karena aku nakal, tapi kadang hanya sebagai pelampiasan saja. Ketika buya sedang kesal atau umma sedang tertekan, pasti akan memukulku. aku yang ketika itu masih kecil, tidak tau apa-apa, hanya bisa mengaduh dan menangis. Dan yang masih ku ingat hingga sekarang, aku pernah mengatakan pada diriku sendiri dibawah payung sebagai komponen dari rumah-rumahan yang kubangun di atas atap rumah, bahwa aku berjanji tidak akan menangis lagi. Janji…!
Hari demi hari, perlakuan buya dan umma padaku tak berubah. Bahkan aku pernah dianggap bukan sebagai anaknya yang ketika itu buya memperkenalkan aku sebagai ponakannya pada teman lamanya. Aku tak marah bahkan tak sedih. Malah aku jadikan ini sebagai lelucon. Tiba-tiba dengan angkuhnya ku panggil buya dan umma dengan panggilan om dan bibi. Mereka menolak dan menyuruhku kembali memanggilnya buya dan umma. Dan aku hanya bisa tersenyum mengejek.
Meski aku sudah beranjak remaja,dengan prestasi yang gemilang sebagai bintang kelas dan dengan selalu menjurai perlombaan , aku masih saja diperlakukan kasar oleh buya dan terutama umma, karena buya sibuk bekerja dan aku selalu bersama umma. Kadang ketika aku sedang asyik menonton TV dengan tawa yang lepas, tiba-tiba umma melempar alat masak padaku dari belakang. Aku begitu kaget dan mencoba bertanya, tapi umma semakin marah dengan alasan, bahwa tawaku begitu keras hingga membuatnya malu pada tetangga. Aku hanya diam tak bisa melawan, meski tak ada tetangga yang datang ke rumah untuk complain.
Saking seringnya aku mendapatkan perlakukan seperti itu, akhirnya aku menjadi terbiasa. Setiap umma dan buya marah, aku hanya tersenyum dan mengembalikan barang yang dilempar padaku pada tempatnya atau memberikannya kembali pada buya atau umma. Begitu juga dengan airmataku, sepertinya sudah kering, bahkan enggan untuk keluar.
Hingga aku beranjak dewasa, yaitu ketika aku sudah menjadi mahasiswi, umma dan buya belum berubah. Itulah mengapa aku jarang dan malas untuk pulang kampung. Meski mereka menyuruhku pulang di saat lebaran dengan berbagai alasan, aku hanya bisa mengatakan bahwa aku tak dapat tiket dan merasa disini lebih nyaman. Hingga peristiwa yang terjadi setahun yang lalu membuatku tau apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika itu saat buka puasa bersama. Tanpa angin dan hujan, tiba-tiba umma menyiram wajahku dengan segelas air aqua. Aku benar-benar kaget. Begitu juga buya dan semua keluargaku. Semua menjadi diam. Ingin rasanya marah dan menangis, tapi aku tahu ini akan memperburuk keadaan, maka aku memilih untuk tertawa…. “ haaaa… ternyata umma masih kurang duit THRnya, buya. Tambahin lah yah….!” Semua tertawa dan mulai sibuk kembali menikmati ta’jil .
Ingin rasanya aku lari dan keluar dari rumah itu untuk menangis sekencang-kencangnya. Mengapa masih terjadi ? aku yang selama ini banyak mengalah mengapa belum ada hasilnya. Apa salahku ? ada apa dengan aku ? tolong katakan salahku ? aku hanya ingin tahu ? mengapa kakak dan adik-adikku tidak diperlakukan seperti itu juga ? kenapa ?. aku hanya bisa menangis di kamar mandi. Dengan alasan sakit perut dan mencret, agar bisa lebih lama di kamar mandi. Aku tak mungkin lari. Aku sudah sarjana. Aku sudah punya ilmu. Jika aku lari atau marah, aku merasa malu sama ilmuku. Akhirnya aku bersikap biasa seperti tak ada masalah apa-apa.
Aku tahu, setiap umma dan buya marah atau memukulku, mereka merasa menyesal dan ingin meminta maaf padaku, dengan salah tingkah yang kadang membuatku ingin tertawa. Karena tingkahnya seperti anak kecil yang sedang merayu orangtuanya untuk membelikan ice cream. Dan aku pun hanya bisa tersenyum dan mendekati mereka dengan manja.
Aku kembali ke Jakarta. Memulai rencana hidup yang baru. Bersosialisasi dengan orang-orang baru. Hal itu membuatku senang dan selalu ingin bersyukur. Aku mencoba pengalaman baru. Bekerja. Main teater. Menari. Dan berorganisasi. Hingga akhirnya aku sadar seakan kepalaku kejetok. Seandainya umma dan buya tidak memperlakukan aku dengan keras, mungkin aku tak akan mampu melewati semua ini. Aku bisa tegar. Aku bisa mandiri. Aku bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku bisa belajar menghargai. Aku bisa tertawa setiap saat. Aku bisa berani memilih dan bertanggung jawab atas pilihanku. Itu semua karena buya dan umma.Kadang aku berfikir, mungkin benar apa yang dikatakan oleh Lao Tse, bahwa kesedihan yang diterima sejak dulu, adalah harga yang harus di bayar demi kebahagian yang akan didapatkan kelak.
Oh Tuhan….! Aku benar-benar bahagia. Hingga lebaran kemaren, aku berniat untuk pulang kampung karena aku sudah merindukan keluarga besarku. Selama perjalanan, aku jadi berfikir sambil menghibur diri, bahwa wajar aku selalu menjadi tempat pelampiasan amarah buya dan umma. Karena jika itu terjadi pada kakak atau adik-adikku, maka ceritanya akan menjadi lain, karena mereka bertiga suka ngambek, sensitive, dan mudah menangis. Haaa…. Aku jadi ingin cepat-cepat tiba di rumah.
Di rumah aku bertemu dengan semua keluargaku. Umma mulai sibuk memasak makanan kesukaanku setiap hari. Buya tak henti-hentinya mengajakku untuk ikut mendampinginya dalam berbagai acara formal dan dengan bangga memperkenalkan aku sebagai anaknya pada semua orang.
Tapi aku jadi merasa aneh. Sepertinya aku merasa asing. Hingga suatu ketika, aku, umma dan buya berada di satu mobil menuju kota Pamekasan dari kota Sumenep. Buya duduk di sampingku di bagian depan. Aku yang menyetir mobilnya, sedangkan umma di bagian tengah. Kami diam. Lalu aku berkata :
“ Mah..!, aku jadi kangen sama pukulan umma, deh. Kangen juga dilemparin ulekan. Dan kangen dimarahi, haaaa……..”. Sambil tersenyum aku hanya bisa memandang ke arah depan agar konsentrasi menyetir. Tanpa kusadar, saat ku lihat buya yang ada disampingku, sedang mengusap airmatanya, Lalu kudengar suara sesegukan dari belakang. Kulihat dari kaca tengah yang ada diatas, umma menutup wajahnya. Dan tanpa kusadari juga, aku pun ikut menagis. Kami pun sibuk dengan tangisan masing-masing tanpa kata sedikitpun. Lalu buya memecahkan kebisuan diantara kami dengan berkata :
“ Maafkan buya dan umma ya… ! sudah kasar dan keras padamu. Bahkan pernah tidak peduli padamu dengan menganggapmu bukan sebagai anak buyaa dan umma. Kau ingin tahu kenapa kami berbuat seperti itu ?”
“ Iya yah…, ini yang aku tunggu sejak lama. Kenapa yah ?”. buya melanjutkan pembicaraannya.
“ Dulu, ketika ummamu sedang mengandungmu. Kami belum siap punya anak lagi setelah baru 6 bulan melahirkan kakakmu. Kondisi perekonomian keluarga saat itu masih semrawut. Apalagi emosi buya dan umma belum stabil. Buya yang saat itu hanya memikirkan pekerjaan tanpa memperdulikan keluarga, membuat ummamu merasa tertekan. Sempat ada keinginan untuk menggugurkanmu, karena saat itu kau masih belum genap 3 minggu di kandungan ummamu. Namun kami mengurungkan niat, karena bagi kami anak adalah anugerah. Tapi ketidaksiapan mental kami untuk punya anak lagi belum hilang. Hingga akhirnya kau lahir. Entah kenapa setiap melihatmu, buya dan umma merasa benci dan ingin memukulmu. Kami sadar, kami salah. Itulah mengapa kami selalu merasa menyesal ketika habis memarahimu atau memukulmu. Apalagi kau tau sendiri, kau adalah anak yang lebih tegar dibandingkan saudaramu yang lain. Mereka lebih sensitive dan mudah ngambek. Tapi kamu…..?, kamu malah tertawa dan tetap tenang. Maafkan buya dan umma ya ….!!”. aku masih saja menangis. Dan masih ku dengar suara sesegukan umma di belakang. Aku mulai tak sabar, maka kuhentikan mobil dan memarkirkanya di sebelah kiri. Aku langsung memeluk buya dan mengatakan kata maaf dan kata terima kasih secara bergantian dan berulang-ulang. Umma membelai kepalaku dari belakang sambil mengusap airmatanya.
“ Makasih yah.. makasih mah…. Karena buya dan umma, aku bisa kayak gini sekarang.. “kucium tangan umma dengan khidmat dan lama. Umma masih saja membelai kepalaku dan berkata
“ Justru, kami berubah karena kamu. Sikapmu yang selalu mengalah. Sikapmu yang selalu tertawa. Sikapmu yang selalu tenang yang membuat kami malu pada diri kami sendiri. Selama ini kami sudah tidak adil terhadapmu. Kamu selalu membuat kami bangga dan bahagia. Itulah yang membuat kami sadar akan kesalahan kami selama ini. Maafkan umma ya….!” Kami bertiga terus menangis dan tertawa. Dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kami.
Hingga saat ini, rasanya aku selalu ingin pulang ke rumah. Ingin bertemu dengan buya dan umma. Ingin tidur di pangkuan umma dan di pangkuan buya…. meski rasa khawatir menghegemoni rasio umma dan rasa panik yang luar biasa menggrogoti rasio buya, aku tetap sayang mereka…
Tuhan….! Jagalah mereka sebagaimana kau menjaga Muhammad…..! saya mohon dengan sangat. Karena ini adalah doaku……

Gunuk, 29 Oktober 2010. Jam 02.19

Cinta : Egois

Ya, cinta itu egois. Ketika seseorang mencintai dan berusaha memiliki cintanya, ia lupa bahwa ada orang yang menderita karenanya, yaitu orang lain yang mencintainya.
Ini adalah kisahku. Bukan hanya terjadi sekali, dua kali bahkan tiga kali, namun lebih dari itu. sejak 10 tahun yang lalu, aku selalu berbicara pada Tuhan dan memintanya untuk mengenalkanku pada cinta. Mengajariku tentang cinta, hingga akhirnya Tuhan yang selama ini selalu mengabulkan permintaanku, memenuhi apa yang aku minta. Ia datangkan padaku seorang lelaki yang begitu tulus mencintaiku.
Lelaki itu begitu sempurna dimataku. Ia membuat jantungku berdetak cepat jika berada disisinya dan ketika aku merindukannya, apalagi ketika kami bertemu tanpa sengaja. Darinya, aku banyak mengerti akan makna senyum dan airmata. Makna tawa dan marah. Juga makna hidup dan mati. Dia juga yang mengingatkanku bahwa aku tak perlu bertengkar dan melawan orangtuaku lagi. Meski kadang sikapnya dingin dan kaku, aku tahu, ia hanya ingin mengajariku, bagaimana menjadi wanita yang berharga dan punya pesona. Kebiasaannya membaca buku, memasak, nonton film di rumah dan berkumpul dengan teman-temannya kadang membuatku kesal, namun tanpa sadar semua itu berpengaruh padaku. aku jadi suka baca, mengoleksi DVD, mencoba resep baru , dan berdiskusi dengan teman-teman.
Namun sayang, ketika aku mulai asyik dengan pelajaran cinta. Tiba-tiba seorang wanita datang padaku. memelukku erat hingga kurasakan getaran hangat dari tubuhnya. Ia menangis sesegukan dengan mata yang memerah. Aku masih diam tanpa kata. Tanpa gerak. Tanpa daya. Hingga yang terucap dari mulutnya dengan suara yang bergetar, ”Aku begitu mencintainya, Nov. aku tahu, dia tidak pernah menyukaiku, apalagi sampai mencintaiku. Baginya aku hanyalah seorang sahabat. Tapi…. Aku tak bisa hidup tanpanya. Aku benar-benar mencintainya,Nov”. tiba-tiba wanita yang kukenal juga sebagai sahabatku, jatuh kebawah sambil memegang kakiku dan menengadah ke atas menatap wajahku, “ Aku mohon padamu, tinggalkan dia untukku. Aku mohon”. Wanita itu menundukkan kepalanya dan aku mulai menghela nafas. Kuangkat lengan tangannya hingga ia berdiri. Aku mencoba untuk tersenyum sambil menyeka airmatanya. Lalu kuusap-usap lengannya, dan berkata, “ Pulanglah ! dan istirahat! Aku mengerti masalahmu. Aku janji, aku tak akan membiarkan airmatamu jatuh lagi”. Dan akhirnya wanita itu pulang.
Lama aku berfikir dan merenung hingga akhirnya aku tahu apa kelemahan laki-laki. Ya..!, cara berfikir laki-laki itu sangat sederhana. Ketika ia mencintai wanita, ia hanya ingin bisa diterima apa adanya oleh si wanita itu. alasan itulah yang kugunakan untuk menyakiti lelakiku dan memutuskan hubungan dengannya. Ku ajak ia untuk berlibur dengan jalan-jalan berdua, hingga pada akhirnya aku harus mengatakan padanya, “ Maafkan aku, sepertinya kau tak selevel denganku. kau tahu kan, aku anak orang kaya yang tinggal di kota. Sedangkan kau, kau hanya orang kampung yang miskin. Apalagi tingkat pendidikan kita tak seimbang, aku lebih unggul dari kau. Jadi…. Karena kau tak bisa aku harapkan lagi, …..semoga kita bisa bertemu di lain waktu . dan satu lagi ! jangan cari aku atau menghubungiku lagi ! karena.. aku tak ingin terganggu. Makasih”. Aku pergi meninggalkannya yang masih mematung. Aku hanya tidak ingin ia melihatku menangis. Segera aku meluncur ke rumahku untuk bisa menangis sepuas-puasnya hingga dada ini tidak sesak lagi…..
Hufh..! mari kita tinggalkan kisah roman itu. meski akhirnya aku bisa menerima kenyataan ini, namun Tuhan tak henti-hentinya mengajariku tentang cinta. Aku sangat bersyukur. Tapi lagi-lagi selalu berkisah seperti biasa. Aku harus membunuh cinta yang mulai tumbuh karena seorang wanita yang begitu sangat mencintainya melebihi aku (mungkin) yang datang tiba-tiba memohon untuk meninggalkan lelaki itu. aku yang tak punya daya melihat airmata yang mengalir, lebih memilih untuk mundur. Asalkan dia bahagia, aku juga ikut bahagia.
Ada yang datang langsung menemuiku. Ada yang melalui HP. Bahkan ada yang melalui surat. Wanita-wanita itu patut aku acungi jempol. Mereka begitu gigih memperjuangkan apa yang mereka inginkan, tak seperti aku yang selalu memilih untuk mundur dan membiarkan kemungkinan-kemungkinan terbuka dengan sendirinya. itulah awal dimana aku sudah tidak percaya lagi terhadap cinta. Bukan karena cinta itu tak indah. tapi karena aku tak ingin melihat airmata lagi. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi. Tapi akan tetap mencintai.
Tak dapat kupungkiri, aku termasuk type wanita yang mudah jatuh cinta. Hingga sahabatku, Dida, Zizah, Susan, kak Rintis, Yayuk, bahkan Amar sebagai sahabat lelaki ku yang paling deket, pernah mengeluh dan merasa kesal, karena harus mengulang kata-katanya setiap kali aku bercerita tentang laki-laki yang baru aku kenal dan aku jatuh cinta padanya, “ Sudah dong Nov ! lu udah berapa kali ngomong kayak gini ma guwe. Setiap lo jatuh cinta ma cowok, lo bilang mau serius lah. Mau beneran lah. Mau gak main-main lah. Dan udah berapa kali juga, lo bilang nih cowok, adalah jodoh lo. Soulmate lo yang diturunkan Tuhan khusus buat lo. Tapi mana buktinya ? lo hangat di awal aja. Gak usah nunggu sampe seminggu deh, apalagi sebulan, besok aja udah lo lupa. Udah lo gak hubungi lagi. Udah gak mau ketemuan lagi. Maumu apa sebenarnya ?”. hufh..! itulah kata-kata mereka untukku. Meski redaksinya gak sama antar sahabat, tapi maknanya sama.
Kadang aku memilih memutuskan hubungan dengan lelaki demi wanita yang lebih mencintainya, dengan cara seperti diatas, mengatakan bahwa kami tak selevel dan tak sebanding. Kadang juga ,dengan menampakkan diri sebagai wanita murahan yang berani memberikan tubuhnya, mengkhianati prinsipnya, dan bahkan mengarang cerita yang lebay, bahwa aku adalah wanita dengan banyak lelaki. Dan yang paling menggelikan, aku juga menggunakan cara dengan mengajaknya berpacaran atau menikah untuk pria tertentu, yang tidak suka dengan komitmen. Hem.. rasanya ingin tertawa jika mengingatnya. Seandainya mereka menjawab iya, aku juga bingung.
Pada akhirnya, aku hanya ingin meminta maaf pada para lelaki yang pernah aku sakiti. Yang pada awalnya, dengan jujur dan bahkan menggebu-gebu aku katakan bahwa aku sangat sangat sangat mencintainya. namun kemudian aku menghilang dan tak ingin bertemu lagi . semoga kalian bisa mengerti. Jadi untuk menebus kesalahanku, maka izinkan aku merangkai kata untuk kalian.
______________________
Wahai lelakiku....
I love you……
Sungguh ketika awal bertemu, aku begitu menyukaimu.
Sungguh ketika kurasakan kenyamanan saat kita berteman, aku begitu menyukaimu
Sungguh ketika asyik ngobrol denganmu, aku begitu menyukaimu.
Maka jangan pernah ragu padaku, karena aku jujur dan tulus…
Namun lelakiku…..
Maafkan aku yang telah menghilang
Maafkan aku yang telah berbohong
Maafkan aku yang tidak pernah membalas sms mu
Maafkan aku yang tak pernah menjawab telpon darimu.
Tapi dari hatiku yang paling dalam
Izinkan aku berkata…..
Semoga kau bahagia, wahai lelakiku…..

Gunuk, 27 Oktober 2010 sambil menikmati berita kematian mbah Maridjan

Menikah ? apa tidak ada alternatif lain……?

Tiba-tiba saya mendapatkan sms dari salah satu sahabat wanitaku yang tinggal di Jogja, dia berkeluh kesah tentang perasaannya ketika harus menghadiri banyak undangan pernikahan teman-temannya. Tersirat ia mengungkapkan bahwa ia ingin sekali menikah namun hingga saat ini, pacarnya belum berani melamarnya. Sempat terdengar nada pesimisnya, bahwa ia ingin meminta orangtuanya untuk dijodohkan saja. Aku hanya bisa tersenyum dan menghela nafas panjang, karena tak bisa memberi solusi atau minimal hanya sebatas komentar padanya, karena paradigmanya dengan paradigmaku tentang sebuah pernikahan jelas bertentangan. Aku memang tidak suka dengan pernikahan,karena bagiku pernikahan itu bikin ribet apalagi kalau punya anak.. huhf….
Sebagian temanku berpendapat dan sebagian lain aku dapatkan dari beberapa artikel, tentang alasan-alasan mengapa orang tidak ingin menikah atau juga tidak ingin punya anak. Yaitu,
1. Ia takut kehilangan kesendiriannya.
Banyak orang yang lebih menyukai hidup dengan kesendiriannya dan merasa bahagia, sehingga ia tak perlu untuk hidup dengan orang lain selain dengan keluarga dan teman-temannya. Lagipula ia menganggap pernikahan bisa mengekang kebebasannya sebagai manusia. Ia tak bisa lagi memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan merencakan masa depannya.
2. Ia sudah terbiasa untuk hidup mandiri.
Masalah hidup yang datang menghampirinya, dapat ia selesaikan tanpa harus mengikutsertakan orang lain. Itulah mengapa ia tak butuh orang lain untuk membantunya. Hal ini seringkali terjadi pada orang yang memiliki sifat, tidak ingin merepotkan orang lain, justru ia ingin direpotkan oleh orang lain dengan tulus. Dan baginya pernikahan tidak menjamin akan menyelesaikan masalah yang datang.
3. Ia tidak ingin ribet.
Sebagian orang tidak ingin menjalani hidup itu begitu sulit dan ribet. Jika bisa diselesaikan dengan mudah mengapa harus dipersulit, itulah kalimat yang menjadi handalnya untuk tidak menikah, sebab menikah itu bikin ribet, bikin tengkar, bikin masalah, apalagi punya anak.
4. Adanya pengaruh dari luar.
Orang yang memutuskan untuk tidak menikah dan tidak ingin punya anak, bukan hanya satu atau dua orang saja, justru di beberapa Negara, hal ini menjadi trend. Sehingga alasan pribadi dikuatkan dengan alasan sosiologis. Atau dengan kata lain, ada dukungan atas pilihan tersebut.
5. Pengaruh dari pengalaman pribadi dan orang lain.
Ada sebagian orang ketika ditanya alasannya, mengapa ia memilih untuk tidak menikah adalah ia tidak ingin menjalani sebuah pernikahan yang nantinya akan berakibat buruk sebagaimana ia lihat di dalam keluarganya atau di balik hancurnya pernikahan kerabat dekatnya. Mungkin ini adalah sikap pemisimistik yang cenderung menghindari pernikahan daripada mencobanya terlebih dahulu dan belajar dari kesalahan sebuah hancurnya pernikahan sehingga tidak terulang pada pernikahannya.
6. Tidak adanya Cinta dan kesiapan.
Pernikahana itu bukan hanya berlandaskan cinta dan sayang, tapi juga kesiapan. Seberapa besar atau kuatnya cinta, namun jika belum siap, baik dari segi mental dan segi ekonomi, maka banyak orang yang memilih untuk tidak menikah. Begitu juga sebaliknya, meski sudah merasa siap dengan segala hal, namun belum menemukan cinta sejatinya, maka pernikahan juga bukan pilihannya.
Mungkin keenam alasan itulah yang menjadikan aku memilih untuk tidak menikah dan tidak ingin punya anak. Bagiku menikah hanya bikin masalah saja, dan jika kita hanya bisa berlomba-lomba untuk punya anak yang buanyak, ohh betapa sesaknya dunia ini. Mengapa tak terpikirkan untuk mengadopsi anak saja dan kita bikin mereka pintar.
okey, aku tak ingin menghakimi siapapun, karena semua orang pasti punya alasan. Yang ingin menikah, ya silahkan menikah dan jangan memandang sebelah mata bagi orang yang memilih untuk tidak menikah, apalagi memaksanya untuk menikah. Begitu juga dengan memiliki anak. Keputusanku pun bisa berubah, jika itu terbentur dengan alasan sosiologis dan yang lainnya..

Terima kasih….
Gunuk, 3 Oktober 2010

Manusia Baik-Baik … ( 3 )

Bunda yang satu ini, sedang menyelesaikan program doktoralnya di jurusan Sosiologi UI. Bak Cucu, begitulah kupanggil, selain sebagai dosen di UIN Jakarta, juga sebagai ibu dari 2 anak yang masih kecil. Ia adalah salah satu orang yang menjadi acuanku untuk tidak mengeluh terhadap tugas kuliah yang datang bertubi-tubi. Hanya satu hal yang ia keluhkan, adalah macetnya Jakarta yang membuatnya harus berangkat pagi meninggalkan anaknya yang masih tidur untuk menuju Depok. Wanita yang memiliki jiwa social tinggi ini menjawab, “ Manusia yang baik adalah manusia yang sadar, tahu dan melakukan hak serta kewajibannya”.
Lelaki yang kupanggil sebagai lelaki bermata kelinci ini, memiliki ciri khas yang unik, dengan kepala gundulnya. Pertemuanku pertama kali dengannya ketika mendaki gunung Merbabu di Jogja. Lelaki kelahiran Palembang yang saat ini bekerja sebagai salah satu pegawai di sebuah pabrik di Cikarang ini, belum memutuskan untuk menikah, padahal umurnya sudah diatas kepala 3. Baginya, menikah itu hanya sekali dalam hidup, jadi ia akan menikah dengan wanita yang sesuai dengan kriterianya dan mencintai apa adanya. Pemilik nama lengkap Chairil Iskandar ini menjawab, “ Orang yang beragama belum tentu baik. Seperti istilah islam KTP. Dan orang yang tidak beragama pun ada yang baik. Tapi kalo orang yang beragama dan benar-benar beriman pada Allah swt, pasti baik. Contoh yang paling tepat adalah nabi Muhammad. “
Jawaban yang paling singkat dan menarik, didapatkan dari artis cantik dan energik, Olivia Zalianty. Selain masih sibuk dengan jadwal syuting FTV di berbagai daerah, dan juga sebagai duta sepeda, ia juga aktif bergerak di dunia politik. Penggagas KTN (Karya Tunas Nasional ) ini bersama kakaknya Marcella Zalianty, mempunyai misi yang positif terhadap para remaja dan kaum muda untuk selalu berprestasi dan berkarya. Maka ia menjawab “ Manusia baik itu adalah manusia yang tidak takut akan kematian” .
Tak kalah menariknya, jawaban cak Sofyan Badri mencerminkan bahwa ia adalah orang yang sangat menghormati dan menghargai sebuah perbedaan. Saat ini ia ikut berpartisipasi sebagai wartawan khusus kepresidenan, untuk sekedar bisa menyumbangkan idenya yang sangat modernis. Begitulah harapannya. Lelaki yang sekarang begitu tampak semakin mesra dengan istrinya, menjawab “ Agama jadi salah satu indicator manusia baik. Sebab semua agama mengajarkan kebaikan. Contoh manusia baik ya kayak kamu. Karena kamu beragama. Tapi tidak berarti manusia yang tidak beragama tidak baik. Maslahanya maukah kamu tidak beragama ?”.
Satu lagi sahabatku yang masih turunan kyai besar di Bangkalan Madura ini, meski saat ini sedang menyelesaikan kuliah pascasarjananya di IAIN Surabaya, juga sedang merintis bisnis dengan membuka warnet pun turut memberi jawaban atas kegelisahanku mengenai manusia baik-baik, ia menjawab “ manusia yang baik adalah manusia yang kenal agamanya dengan benar dan memahaminya secara kaffah”.
Hafizen, lelaki bermata sipit yang hingga saat ini saya cintai. Saat ini tercatat Sebagai mahasiswa pascasarjana UGM jurusan komunikasi dan menjalani cinta jarak jauh dengan gadis yang bekerja di DEPAG Pusat Jakarta. Harapan untuk bisa menikah lebih cepat ternyata menemukan kendala di financial . namun lelaki yang memiliki jiwa social tinggi ini begitu menghormati sebuah komitmen yang ia yakini. Ia pun berani menjadi lilin demi kebahagian teman- atau keluarganya. Dan kekasih dari bak Aida ini berpendapat, “ memang betul, manusia yang baik itu adalah manusia yang beragama “.
Lelaki berkaca mata dengan gagang warna hitam ini adalah sahabat kelasku yang asyik untuk diajak berdiskusi. Latarbelakangnya di bidang filsafat dan beragama Hindu, memberikan penjelasan yang sangat detail mengenai konsep reinkarnasi yang dikomparasikan dengan konsep ‘ajsad’ para sufi yang memiliki sedikit kesamaan. I Gede Arya, lahir di bali dan sempat tinggal beberapa tahun di Sitobondo namun kemudian menetap di Jakarta bagian selatan. Ia menjawab “ Manusia yang baik adalah kesatuan pikiran kata dan perbuatan “ , jawaban yang sangat filosofis.
Bunda yang satu ini sangat modis dan cantik. Ia juga menjadi terapis bagiku untuk berani menikah dan mempunyai anak. Pengalaman pribadinya, yang menikah diatas umur 30 tahun keatas mewanti-wanti aku untuk tidak mengikuti apa yang dulu pernah ia lakukan. Bak Santi, yang memilih jurusan Kriminologi UI sebagai masternya, kini sedang menyelesaikan gelar doktornya di jurusan sosiologi. Ibu satu anak ini menjawab,” manusia yang baik adalah manusia yang menjalankan agamanya dengan benar. Kalo Cuma punya agama aja, dan gak ngejalanin ( bukan hanya ritual saja) ya percuma dong…”.
Veronika, adalah sahabat baruku yang baru saja mendapatkan musibah dan nikmat sekaligus. Ia mengikuti acara di Malaysia dan bertemu dengan orang-orang di berbagai Negara, namun ia harus merelakan dompet, HP dan laptopnya menjadi milik orang lain. Gadis Palembang ini yang berlatar agama Kristen Katolik , tak pernah berhenti tersenyum. Nangisnya pun seperti tersenyum. Ia menjawab “ Semua agama pasti mengajarkan kebaikan tapi orang baik belum tentu beragama “.
Adik kelasku yang begitu tergila-gila dengan filsafat ini memiliki nama yang sangat islamis dan romantic, yaitu mahbub. saat ini ia sedang berproses mendapatkan gelar sarjana di UIN Jakarta jurusan filsafat > Lelaki yang sangat menghargai wanita ini mengatakan “manusia yg baik tidak harus yg beragama, tapi kadang harus terpojok pada agamanya, yg memungkinkan untuknya, karena aturan mengenai baik telah ditetapkan disana "agama" “.
terakhir dari seorang Romo yang begitu bersahaja dan sangat kharismatik, selain sebagai pendeta di Kristen Katolik, ia juga salah satu teman kelasku di sosiologi. cara bergaulnya membuat aku dan teman2 merasa kehilangan jika beliau tak masuk kelas. menurut lelaki yang bernama Simon Margo ini bahwa, " tidak semua orang beragama menjadi orang baik. bisa saja orang beragama hanya dari sisi ritualnya saja, yaitu hanya menjalankan kemwajiban-kewajiban ritual saja, tetapi perilakunya tidak membawa kebaikan bagi orang lain. agama harusnya menuntun perilaku menjadi lebih baik , yaitu menjadi berkah bagi orang lain, lingkungan dan semesta "

To be continued…..
( Menunggu balasan sms selanjutnya)

Manusia Baik-Baik …. ( 2 )

Calon psikolog dari pascasarjana UGM Yogya ini sudah menjadi sahabat kentalku sejak bangku SMP. Meski kami saling berdebat dan beradu argument, namun kami selalu saling merindu untuk berbagi. Aku tak memiliki kepiawaian berbohong di hadapannya. Maka jika ada lelaki yang ingin tahu tentang aku, kusarankan untuk meminta info padanya. dialah Dida. Sahabat yang begitu bangga dengan melangkolis dan rapuhnya itu. dengan begitu detail ia menjawab, “ Dunia itu penuh kacamata, jadi semua tergantung paradigmanya. Manusia yang baik menurut orang Timur yakni orang yang sosialis. Sedangkan manusia yang baik di Barat mungkin orang yang individualis dan bebas. Manusia baik menurit budaya, mungkin yang menghormati budaya itu sendiri.” Kemudian ia menambahkan secara detail “Dan masih banyak frame dan kaca mata lainnya tentang manusia baik. Namun manusia sebagai makhluk bertuhan memandang bahwa agamalah yang paling benar dalam memandang segala sesuatu.”
hampir sama dengan jawaban Cik Lani. Begitulah ia kupanggil. Lelaki yang ramah dan bersedia rumahnya kutinggali selama berlibur di Ponorogo ini adalah anggota Hizbut Tahrir yang sangat istiqomah. Saya begitu hormat dan salut padanya, walaupun ia adalah anggota organisasi Islam yang sangat kuat dan solid dalam berdakwah, ia sangat menghormati pilihan orang lain dan tidak pernah memaksa orang untuk mengikuti apa yang ia yakini. Kepala sekolah TK ini yang begitu akrab dengan anak kecil ini menjawab, “Agama sangat mutlak diperlukan dan agama yang sempurna adalah agama Islam. Dan manusia yang baik adalah yang beriman dan beramal shalih (yang paling takwa). “
Pengamat kota Jakarta ini yang wajahnya selalu muncul di Metro TV akhir-akhir ini untuk mengomentari masalah kemacetan jakarta yang tiada ujungnya, memiliki nama lengkap, Yayat Suprayatna. Selain sebagai kandidat doctor Sosiologi, ia juga berprofesi sebagai dosen Trisakti. Pria yang suka mengeluarkan istilah-istilah baru dan lucu ini menjawab, “ Tujuan beragama adalah untuk memperkuat value…keyakinan agama yang dijalankan dan diamalkan, tegakkan saja ajaran dan amalannya !”.
“Manusia yang baik adalah manusia yang hidup bak lebah “ jawaban yang singkat namun menarik ini berasal dari seorang pria yang sudah merasakan asam garamnya sebuah perjuangan dan pergerakkan. Aktivis yang juga anak band ini berasal dari Palembang namun banyak dipengaruhi oleh kegiatan inteletualnya dari Yogya. Pemilik nama Muhammad Daniel ini kupanggil dengan panggilan Nda, singkatan dari Kanda. Karena aku berharap bisa mencuri ilmu darinya sebanyak mungkin.
Bang Ginting yang kuanggap sebagai ayah ini banyak memberikan ilmunya mengenai bagaimana menjadi actor yang hebat diatas panggung. Banyak ilmu yang kuserap darinya, terutama mengenai geliat Kristen Protestan pada skala dunia dan khususnya di Indonesia. Ia memberi jawaban tentang manusia baik-baik adalah “ Manusia yang menjalani hidup dengan tulus, jujur dan setia pada keyakinannya”.
Sahabatku yang satu ini, tidak pernah akur dengan motornya. Berapa kali ia mengalami kecelakaan. Namun belum membuatnya jera. Masih saja ia suka ngebut. Namun bagiku, ia adalah sahabat yang pantas kuacungi jempol karena kesungguhannya. Fauzan Arif yang biasa kupanggil dengan panggilan Ozan ini sekarang menjadi orang penting di dunia bisnis property. Sayang sekali bukan di daerah Jakarta, padahal saya ingin memesan satu unit rumah padanya, (hee..), dengan sederhana namun yakin ia menjawab “ Manusia baik itu yang tidak menyakiti sesama dan bermanfaat dengan atau tanpa agama.”
Beda halnya dengan jawaban mas Bahrul , “Pastikan dulu agama mana yang benar menurutmu ?”, lelaki yang juga kukenal setahun yang lalu di Pare Kediri, yang masih keturunan pemilik pesantren ini, masih menyimpan pertanyaan-pertanyan yang kunjung usai untuk di perdebatkan. Namun saya sangat apresiasi dan mencoba mengajak pembaca untuk turut berdiskusi.
Mas Mirzan, lelaki yang membuatku tertawa sedih ketika melihat air wajahnya yang menggambarkan kesedihan yang begitu dalam, setiap menerima panggilan telpon dari ayah dan ibunya. Maka tak heran jika ia menjawab “ manusia yang baik selau menangisi bapaknya”. Actor yang sudah lama malang melintang mencicipi panggung ke panggung untuk pementasan teater ini, memiliki karakter yang khas dalam setiap perannya.
Lelaki berambut panjang dan memiliki 11 kelinci ini adalah pemain teater yang suka melakukan performance di jalanan, terutama di Jogja. Sekarang yang sedang sibuk dengan aktivitas kuliahnya yang sempat mengumpat-umpat jam kuliah pagi, karena baginya Jogja lebih indah untuk dinikmati di malam hari. Dan pagi baginya, adalah untuk tidur. Namun tuntutan untuk segera menyelesaikan kuliahnya begitu memaksa, sehingga pemilik nama Asep ini terpaksa memilih tidur setelah jam kuliah di sore hari. Ia menjawab, “Saya selalu membedakan antara agama sebagai sebuah kepercayaan dan agama sebagai institusi . dengan sendirinya manusia akan beragma jika ditinjau dari sudut pandang yang pertama “
Salah satu anggota LSM yang bergerak di bidang pendidikan milik pemerintahan Australia ini sempat menolak beberapa kali beasiswa pascasarjana yang ditawarkan oleh Australia, dengan alasan yang sangat pribadi. Aku memanggilnya dengan panggilan kak Suryadi, ia menjawab “ Adalah manusia yang tahu kebaikan dan mengamalkan kebaikan itu “
Rosit adalah sahabat yang tidak pernah kutemukan wajah cemberutnya. Karena dimanapun dan dalam kondisi apapun ia tak pernah memperhitungkan senyumannya, bahkan terkesan diobral. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Komunikasi Politik di UI. Aku mengenalnya ketika sama-sama mengikuti ujian masuk UI. Lelaki yang betah duduk lama di perpustakaan ini menjawab, “Manusia yang baik adalah manusia yang menjalankan sholat 5 kali dalam sehari dan suka senyum. Dan itu adalah aku “. Huuh narsis sekali nih orang.
Sahabat yang kukagumi karena sifat kesederhanaan ini akhirnya punya kekasih. Karena diantara sahabat yang lain, hanya aku dan dia yang belum punya kekasih. Meski pertemuan dengan kekasihnya melalui HP dan FB, tapi rasa persahabatannya masih kental. Hendro yang kukenal adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab dan tidak begitu berambisi pada financial, saat ini bekerja sebagai security di sekolah global milik pemerintahan asing. Ia menjawab “ Selain Bergama, manusia yang baik adalah mensyukuri dan memanfaatkan nikmat yang diberi oleh Allah, yaitu nikmat akal dan iman”.
Dengan singkat jawaban dari mas Towil , “ Khairunnas anfa’uhum linnas”, ini merepresentasikan bahwa ia adalah manusia yang tidak ingin mempersulit apapun. Jika memang bisa dipermudah, ngapain dipersulit ?, begitulah kira-kira yang menjadi jargon lelaki yang sedang menunggu kelahiran anaknya yang ke-3 sambil membangun rumah yang tak jauh dari lembaga pendidikannya di Madura.
Wanita yang jatuh cinta bahkan ketagihan dengan tattoo ini kukenal ketika menghadiri acara peluncuran puisi wanita Indonesia di TIM. Dengan penampilannya yang cuek namun elegan, kami pun langsung akrab meski baru kenal. Saat ini ia memiliki butik di salah satu mall ternama di Jakarta Pusat. Baginya manusia baik-baik itu adalah “ Orang yang beragama belum tentu baik. Menurut saya orang baik selalu mengasihi, menghargai dan menghormati sesame dengan tidak memandang status, dan perbedaan agama”. Begitulah jawaban bak Flo, yang mengaku jarang melakukan kebaktian namun tetap khusuk bersosial guna mendapatkan inspirasi menciptakan puisi-puisi indah.
Berbeda dengan jawaban lelaki yang kupanggil dengan sebutan Ustad ini, Ust. Hadiri yang saat ini berkutat dengan teks-teks Arab untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjawab, “ Tentu dalam artian beragama tidak semata formalitas tapi lebih pada moralitas . keberagamaan sebangun dengan kemanusian. Beragama berarti menjalankan fungsi kemanusiaan.”. jawaban ini sangat logis dan mudah dipahami bagiku.

To be continued …….

Manusia Baik-Baik …( 1 )

Berangkat dari komentar bunda Dorce mengenai kasus pemerkosaan Kyai Zainuddin MZ terhadap penyanyi dangdut, Aida Saskia, yang mengatakan “ Jika memang benar kyai Zainuddin itu, melakukan pemerkosaan terhadap Aida, ya.. itu manusiawi”. Begitu juga dengan pengakuan temanku yang dikemas dalam tutur cerita reflektif, bahwa tak sedikit dia bertemu dan bahkan memiliki hubungan yang begitu dekat dengan beberapa orang yang memiliki pengetahuan tentang agamanya yang begitu dalam dan luas, namun ketika dihadapkan pada ranah “liar” dan “nakal”, ia justru begitu sangat agresif layaknya orang yang lagi mabok karena alcohol atau narkoba. Alias tidak punya otak dan hati.
Sama halnya dengan apa yang saya alami dan saya perhatikan. Banyak saya temui dari beberapa orang yang dilegalkan secara de facto sebagai kawan dekat saya, yang tak jarang mengucapkan kalimat agama secara fasih dan lantang, bahkan kadang mengatasnamakan Tuhannya dengan menggebu-gebu, bahwa apa yang ia lakukan hanya untuk ibadah pada Tuhannya. namun pada kenyataannya, ketika mendapatkan peluang untuk melakukan kegilaan atau kenakalan, ia begitu antusias dan tak ingin membiarkan itu berlalu dengan sia-sia dihadapannya. Sekali diberi lirikan nakal, maunya minta lebih. Itu terjadi tidak hanya pada lelaki, wanita pun juga begitu.
Itulah mengapa kontradiksi diatas membuatku gelisah untuk mencari tahu jawabannya, apa sebenarnya manusia baik-baik itu ?. Maka untuk menghindari subjektifitas, maka aku bertanya pada kawan-kawanku, Apakah manusia yang baik itu adalah manusia yang beragama ?, jika tidak, apa menurutmu tentang manusia baik-baik itu ?
Pertama dari seorang wartawan senior Koran Yogyakarta, yaitu Koran Kedaulatan Rakyat yang sudah kuanggap bukan hanya sebagai guru tapi juga sebagai ayah. Bang Edi nama pena dari Zubaidi Roqib, yang berdomisili di Cileungsi Bogor bersama istri dan ke-3 anaknya, berpendapat ,” Saya tidak tau apakah sabda sang rasul – fadzafar bil dzatid bin taribat yadak- itu benar adanya, yang saya pelajari para Nabi dan Rasul pantang bersifat ‘kidzab’. Sabdanya pula, ‘Keindahan itu penting, track record itu perlu dan property harus diikhtiarkan” . itulah jawabannya yang membuatku harus membuaka kamus bahasa Arab.
Bang Zon, yang dikenal dengan panggilan akrabnya Ustadz Zon. Pria yang memiliki tubuh subur ini kukenal setahun yang lalu ketika sedang ngopi dan main music bersama teman-temanku di WAPO (Warung Pojok) Pare Kediri. Dengan khas intelektualnya, ia berpendapat “kalo tentang beragama atau tidak secara aksiomatik, dah jelas kawan. Makanya tak usah dijawabpun ada jawabannya, khoirunnas anfa’uhum linnas’. Jawaban yang singkat dengan ditambahi pertanyaan pribadi padaku, “ibumu sudah pengen cucu, kapan kau nikah, dek?”. Dan aku hanya bisa tertawa… hee
Lelaki yang berdomisili di Tangerang ini bersama istri dan kedua anak nya, disibukkan dengan mengajar dan memberikan ceramah agama sebagai media dakwahnya di berbagai daerah, maka kadang kupanggil dia dengan sebutan ustad. Ilmu tentang ikhlas yang aku pelajari dari lelaki yang bernama Zainuri ini, masih ku ingat. Maka tak segan aku pun meminta pendapatnya. Lalu ia menjawab, “iya, karena agama adalah tuntutan hidup manusia di dunia menuju kehidupan akhirat yang hakiki”.
Sederhana dalam apapun, baik bersikap, berfikir dan berbicara, lelaki ini kuanggap sebagai ayah. Ia adalah seorang actor teater yang cukup terkenal dan selalu kucuri ilmunya dengan diam-diam. Baru saja ia mentas di salihara bersama Teater Kubur berjudul ‘On-Off’. Meski aku tidak tahu nama aslinya , namun ia dikenal dengan nama, Andi Bersama, lelaki yang jatuh cinta pada kerupuk Madura ,oleh-oleh ku ketika pulang dari Madura. Dengan nada serius namun berhasil membuatku tertawa terpingkal-pingkal ketika membaca jawabannya “Ok Non, beritahu pacarmu bahwa manusia baik itu dikau. Dia sedang mengujimu kelak sebagai istrinya, amien” haaaa….. sapa yang mau pacaran..? haaa
Wanita yang satu ini, membuatku selalu harus mengepalkan tangan sebagai bentuk apresiasi kehebatannya dalam menghadapi hidup. aku banyak belajar darinya tentang perbedaan antara tulus dan ikhlas. 5 tahun aku bersahabat dengannya tak pernah kudengar sedikitpun ia mengeluh dan menuntut. Ia selalu optimis dan tersenyum. Tgl 22 oktober besok, ia menjalankan ibadah haji bersama kedua orangtuanya, yang kebetulan pemilik pesantren yang cukup besar dan terkenal di Madura. Azizah yang kukenal memiliki pemikiran yang liberal namun berpenampilan konvensional ini menjawab “Orang baik itu tidak harus beragama. Orang baik itu adalah orang yang bisa beradaptasi dengan sekitarnya”. Jawaban yang sangat singkat dan padat.
Pengusaha Rumah makan padang di Bandara Sukarno Hatta ini yang cukup sukses, juga memiliki tawa yang khas dan menggelikan. Bang Andre yang memiliki nama panjang Andriyanto, menjawab “Sejak nabi Adam, tiap kebaikan pasti terlahir dari tuntutan agama. Celakanya orang yang sering bertanya hal tersebut setelah ia terlahir dari orangtua yang beragama, kalo tidak pasti dia akan menjadi orang yang hidup di hutan dan tak mau berbusana”. Jawaban yang membuatku harus berulang-ulang membacanya, akhirnya mendapatkan jawaban yang pas setelah bang Andre menelponku dan menjelaskan secara rinci dengan nada marah… ampun deh bang !
Bak Hafiyah, adalah mbak angkatku yang berasal dari Pakong, Pamekasan Madura. Ia tinggal bersama keluargaku sejak aku masih duduk di bangku SD. Setelah tamat di bangku pasca sarjana jurusan bahasa Inggris di UNMU Malang 2003, ia menikah dengan pria pilihannya. Itulah mengapa terjadi konflik kecil dengan ayahku. Namun lebaran kemaren, setelah 7 tahun, wanita yang baru saja lulus tes sebagai Pegawai Negeri ini, membuatku dan keluargaku termehek-mehek melihat ia dipeluk oleh ayahku. Dengan singkat, Ia menjawab pertanyaanku, “Iya, seperti manusia yang dalam hatinya ada rasa taqwa dan selalu ingat pada Allah”.
Lelaki berkaca mata ini, yang biasa dipanggil sebagai staf ahli di kelas pasca sarjana Sosiologi, karena memiliki spesialisasi di bidang survey mengaku bahwa ia kewalahan menghadapi tugas-tugas kuliah, yang notabene saat ini ia menjalani double degree di Jawa Tengah, kampusnya yang dulu. Pemilik nama Chasidin ini menuntut teman-teman kelas untuk memanggilnya dengan panggilan Chesy, dengan alasan biar lebih keren. Ia menjawab “ Bahaya tuh orang baik-baik. Orang beragama belum tentu baik. Orang baik belum tentu beragama. Begitu juga sebaliknya”.
Bak Titin, begitulah aku memanggilnya. Kakak kandungku yang ketika kuliah S1 di UIN Malang memiliki track record sebagai aktifis organisasi HMI, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu Gender. Ibu dari ponakanku, yang bernama Iyung ini, sekarang disibukkan bukan hanya sebagai Penyuluh di KUA tapi masih aktif menjadi pembicara di Organisasi HMI ketika acara LK. Pemilik nama lengkap, Nora Hidayatin ini menjawab “Manusia yang baik adalah manusia yang dapat memberikan manfaat bagi sesama makhluk hidup. Tentunya manfaat yang baik , dan jika manusia itu tidak ada, maka orang disekitarnya akan merasa kehilangan”.
Sang Aktor yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia teater Indonesia ini, selalu memberiku inspirasi dari cerita pengalaman hidupnya yang sangat dinamis. Pemilik nama Didi Hasyim ini tidak pernah memilih-milih orang sebagai temannya. Ia menjawab, “Manusia yang baik adalah manusia yang berjalan sesuai dengan hati nurani. Dia tau salah dan benarnya”.
Mas Whien, adalah pria yang kukenal melalui jejaring social, facebook. Kami belum pernah bertemu hingga saat ini, namun persahabatan yang kami jalin begitu indah. Berharap suatu hari bisa bertemu dan berbagi cerita. Bagiku sahabat yang baik adalah orang yang tidak pernah mengeluh dan menuntut, itulah yang kutemukan di diri mas Whien. meski kadang aku jarang membalas sms atau mengirimi sms, namun mas whien selalu berfikir positif padaku. Terbukti dia menjawab pertanyaanku dengan sederhana, “manusia yang baik adalah manusia yang mampu menjadi dirinya sendiri”.

Terkutuklah diriku

Kadang aku bersyukur karena terlahir dengan wajah jelek. Ingat ! ini adalah sebuah pengakuan yang jujur. Aku merasa aman ketika harus pulang ke rumah hingga tengah malam. Begitu juga ketika naik kereta ekonomi jurusan Jakarta-Surabaya, yang terpaksa harus tidur di bawah kursi atau di dekat toilet karena tidak mendapatkan jatah kursi. Apalagi ketika harus ke pasar minggu untuk sekedar membeli sayur atau DVD di malam hari. Aku merasa aman dari suara suitan laki-laki iseng di pinggir jalan kecuali tukang ojeg yang menawarkan tumpangan untukku. Dengan tanpa riasan atau make-up dan baju yang compang-camping, aku pun berani bergumul dengan para preman di dekat tumpukan pisang. Dan aku merasa bebas.
Sekali lagi aku ingin bersyukur karena terlahir dengan wajah jelek. Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa aku baru bersyukur ?, iya dulu aku begitu benci dengan wajahku. Wajah jelekku yang selalu menjadi bahan lelucon keluarga dan kerabatku, bahkan termasuk teman-temanku. Aku yang menjadi tidak pede, dan bahkan cenderung kuper, malu dan tertekan hingga menjadikan aku sesosok wanita pendiam dan misterius. Mudah sekali bagiku untuk cepat membeci orang dan selalu curiga. Itulah mengapa dulu aku tak suka di foto.
Iya, itu dulu, dan bukan sekarang. Hingga pada prosesnya aku tersesat di tengah jalan dan segera menyadarkanku untuk berfikir bahwa hidup tak akan berubah kecuali dari diri kita masing-masing. Akhirnya secara tak sadar aku tertuntut untut merubah diri, baik itu sikap, sifat dan juga berpenampilan. Dengan tidak adanya uang untuk membeli buku, terpakasa aku harus berjam-jam berada di toko buku Gramedia, hanya untuk membaca buku tentang perubahan diri, bagaimana berpakaian dan bagaimana ber make-up.
Sedikit demi sedikit, aku merasakan sebuah perubahan. Hal itu Nampak jelas dari respon dan komentar teman-teman terhadap perubahanku. Bukan hanya menjadi seorang gadis yang baik, ramah, dan tulus, tetapi juga cantik. Dari kecantikan itulah aku lebih agresif dan mudah bergaul dengan siapa pun termasuk pada lelaki yang tak pernah kupedulikan statusnya, apakah ia sudah punya istri atau kekasih.
Perubahan yang kualami ternyata juga berdampak pada teman-temanku. Mereka yang pada awalnya begitu kurang suka dengan make-up , akhirnya mulai tertarik. Aku senang akhirnya mereka bukan hanya menjadi cantik, tapi juga ramah, mudah bergaul dan mereka mulai memperhatikan diri mereka sendiri termasuk tubuhnya.
Perubahan teman-temanku menjadikan aku semakin bangga bahkan cenderung sombong. Aku semakin angkuh dan tak ingin kalah, termasuk bagaimana aku mendapatkan seorang lelaki. Hanya dengan kerdipan mata dan permainan kata, aku bisa mendapatkan laki-laki yang kuinginkan. Bahkan dengan wajah dan tubuhku, aku bisa menjadikan laki-laki menginginkanku. Dan Dengan keberhasilanku mendapatkan lelaki dengan mudah, aku semakin angkuh dan sombong hingga membuatku lupa. Ketika ketika ada seorang lelaki mulai jatuh cinta padaku, aku selalu mencoba mengatur strategi untuk membenciku. Entah bagaimana caranya, yang penting ia harus membenciku dan melupakanku, karena aku tidak suka dengan komitmen. Aku hanya ingin bermain, just having fun, and no more.
Bagiku laki-laki hanyalah sebuah objek penelitianku untuk memahami bagaimana seorang laki-laki sebagai suami , ayah, anak, kekasih dan manusia. 3 tahun aku berada di ranah gila yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya. Namun aku tak pernah mengeluh atau menyesal. Aku hanya ingin bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan karena nikmat yang Ia berikan padaku begitu indah. Aku tahu, Tuhan tidak pernah memberikan kesulitan pada makhluknya, karena semuanya adalah nikmat dan tergantung pada manusianya sendiri, bagaimana ia mengapresiakannya.
Saat ini aku berada di titik jenuh keangkuhanku. Dan kini aku mulai ter’jetok’ kepalaku ketika seorang sahabat berkata padaku, bahwa aku adalah seorang wanita yang tak punya apa-apa. Para lelaki meninggalkanku bukan karena aku yang membuatnya meninggalkanku, tapi karena mereka juga hanya ingin bermain denganku.
Sedikit aku mulai mengurai apa yang menjadi kesalahanku. Sering kali aku bercermin dan mencoba melihat wajahku sendiri. Dan aku tahu, bahwa selama ini, ini bukan aku. Aku selalu keluar dari rumah dengan tujuan yang satu, yaitu hanya ingin disukai. Ingin di perhatikan. Ingin di kagumi. Dan ingin dilihat. Itulah yang menjadi kesalahanku selama ini.
Jadi, saat ini aku hanya ingin keluar dari pintu rumahku dengan tujuan yang satu, yaitu be my self. Menjadi diriku sendiri. Terserah orang mau menilai apa. Apakah mereka suka atau tidak. Yang penting, aku menjadi diriku sendiri. Dan aku hanya ingin meningkatkan kualitas diriku sebagai diriku sendiri. Namun bukan berarti aku tak ingin cantik, karena aku hanya ingin cantik….
Terakhir, aku hanya ingin berkata, bahwa ketika kita mati dan dikuburkan, maka bersiaplah ada kuburan lain dari diri kita yang akan bangkit, yaitu rahasia-rahasia kita. Jika tak ingin itu terjadi, maka buatlah sebuah pengakuan . itu akan membuatmu semakin berharga. Trust me !

Gunuk, 3 Oktober 2010.

M 4 7 4 7 AK

Begitulah nama motorku. Sesuai dengan plat nomernya. Ia ada bersamaku sejak 4 tahun yang lalu. Setelah usaha yang begitu menguras emosi, akhirnya ayahku mengirimkan motor untukku dari rumah. Sudah sekian lama aku meminta motor pada orangtuaku, dengan alasan untuk mempermudah proses belajarku yang ketika itu aku sedang menempuh double degree antara UIN di Ciputat dan ICAS Paramadina di Pondok Indah, namun ibuku yang lebih didominasi oleh rasa takutnya, tidak mengizinkan ayahku untuk mengirimkan motor untukku. Hingga suatu ketika, saat aku divonis gejala ginjal, mau tak mau aku harus memaksa ayahku untuk mengirimkan motor untukku. Dan walhasil, aku punya motor.
Motorku berwarna hitam bermerk Shogun dari Suzuki tahun 2003. Sejak punya motor aku menjadi paham tentang dunia perbengkelan khusus motor. Bahkan aku pun tahu oli mana yang cocok dan pas untuk motorku. Pernah suatu kali, saking ingin keren-nya, ku coba menggunakan oli yang paling top, namun bukannya tambah enak, tapi malah rusak dan aku harus menguras dompet untuk memperbaiki motorku. Ternyata oli itu bukan bagus atau tidak bagusnya untuk motor, tapi harus sesuai dengan merk-nya.
Sejak motorku datang ke Jakarta,tak pernah ku ubah-ubah bentuknya atau sekedar mempercantik penampilannya. Dengan satu spion, motorku tak pernah ditilang. salah satu kawan lelakiku yang pernah menjaganya ketika aku harus keluar kota dengan waktu yang lama, pernah mencoba membelikan spion baru pada motorku, namun tidak bertahan lama, salah satu spion itu terjatuh tanpa sebab. Hingga akhirnya aku berkesimpulan, jangan-jangan motorku memang lebih suka menggunakan satu spion.
Setiap dua bulan sekali aku selalu membawanya ke bengkel untuk di service dan setiap 2 minggu sekali aku membawanya ke tempat steam motor. Namun tak jarang pula aku melanggar disiplin itu. kalau duitku lagi seret, aku pun kadang mengorbankan motorku untuk tidak di service dan ditunda untuk bulan depan. Atau kalau motorku masih keliatan bersih, maka kadang kala sampe sebulan baru aku cuci. Namun saat ini karena rumahku yang baru sudah tersedia kran untuk mencuci motor di halaman depan, maka aku pun jadi rajin untuk mencuci motor.
Pada perjalanannya, ketika aku mendapatkan mata kuliah Filsafat Islam, yang mengatakan bahwa semua benda mati yang berada di disekitar kita adalah makhluk Tuhan juga. Mereka juga punya jiwa dan hati, Maka perlakukan lah mereka selayak makhluk hidup lainnya. Jika kita memukul pada sesama manusia, dan itu adalah perbuatan yang tercela, maka jangan sampai kita melakukan hal itu pada benda mati yang ada di sekitar kita. Jika kita tidak suka di sakiti atau di cuekin, maka jangan pula menyakiti atau tidak peduli pada benda mati di sekitar kita, terutama benda-benda yang sudah menjadi milik kita, dan juga yang ada di rumah kita. Minimal kita bisa mengucapkan kata ‘terima kasih’ untuk benda-benda milik kita.
Dari konsep diatas itulah yang kemudian menjadi alasanku untuk selalu bersikap baik pada benda-benda milikku, terutama dengan motor. Motorku yang selalu bersedia dengan ikhlas menemani kemana pun aku pergi. Entah jauh atau dekat. Kadang kami kehujanan. Kadang pula kami kepananasan. Pernah kami harus melewati lumpur yang kotor dan pernah pula kamu harus melewati jalanan yang penuh dengan batu-batu besar dan keras. Maka tak jarang aku mengelus motorku sambil berkata “ sabar ya, aku tau kamu hebat, jadi mari kita lewati semua rintangan ini bersama-sama”.
Saat kami terjebak macet, seringkali aku mengelus motorku dan mencoba untuk menghiburnya dengan bernyanyi. Kadang pula aku bercerita tentang semua hal padanya. pernah suatu kali ketika aku bersedih,entah karena tertolak, atau karena gagal, aku pun curhat dengan motorku sambil mengelilingi kota Jakarta. Tak enggan pula seringkali aku perkenalkan sahabat-sahabatku yang juga naik di atas motorku. Dan hingga saat ini, motorku adalah sahabatku.
Ketika malam hari, sengaja aku tidur di ruang depan, hanya untuk menjaganya, khawatir berpindah pemilik. Motorku yang kuparkir di depan rumah kadang membuatku meringis dan iba. Maka ku letakkan payung dan jas hujan untuk menutupi tubuhnya agar tak merasa kedinginan dan kepanasan. Dan Setiap kali secara tak sengaja aku menyeggol motor lain atau benda lain, aku selalu meminta maaf pada motorku sambil mengelusnya. Itulah kisahku dengan motorku.
Saat ini, aku merasa bersalah pada motorku. Sudah 2 bulan lebih motorku tak pernah di service. Sehingga olinya sering bocor dan kecepatan motorku semakin berkurang. Namun pada bulan ini, pengeluaranku cukup buanyak untuk keperluan kuliah. Hingga tak mampu untuk sekedar membawa motorku ke bengkel. Aku selalu mengelus motorku sambil menceritakan alasanku, mengapa aku tak bisa memenuhi kebutuhannya untuk di service. “sabar ya “. Begitulah pesan singkatku padanya, namun aku berjanji padanya, bahwa ketika aku mendapatkan duit, aku pasti langsung membawanya ke bengkel untuk di service. Janji !
“Makasih Motorku… kau bukan lagi sebagai orang lain bagiku, tapi kau telah menjadi sahabatku yang tak punya jarak. Jangan pernah bersedih, karena aku selalu di dekat mu….”.

Gunuk, 08 Oktober 2010

JUJUR atau SOMBONG ?

Seringkali ketika aku katakan pada teman atau pada keluargaku, bahwa aku ingin sekali punya masalah. Ingin sekali menangis tersedu-sedu layaknya di sinetron. Ingin rasanya stress yang sampe kronis. Ingin sekali diam membisu karena sakit hati, namun mereka layaknya koor paduan suara mencibirku dengan sebutan ‘sombooooong …… “. Mereka juga menyuruhku untuk selalu bersyukur, tetapi mereka lupa, bahwa setiap hari aku selalu mengajak mereka untuk selalu mengucapkan terima kasih pada Tuhan setiap bangun dan akan tidur.
Tak ingin kupungkiri, kadang aku juga pernah merasakan sedih, namun hanya sesaat. Aku juga pernah stress, namun hanya lewat. Aku juga pernah merasakan sakit hati karena tertolak, namun cepat hilang. Padahal aku merasa, bahwa aku bukan seorang muslimah yang taat. Aku hanya menjalankan perintah yang wajib-wajib saja dalam ritual. Tidak pernah menambahkan hal-hal yang sunnah. Dan hubunganku dengan makhluk lain (manusia, alam dan hewan), termasuk asosial, kurang bergaul dengan baik. Jika butuh maka aku mendekat, jika aku tak butuh, mending berdiam diri di dalam rumah.
Itulah mengapa aku seringkali bingung jika harus berdoa pada Tuhan. Apa yang ingin kuminta padaNya ? jika aku meminta ini dan itu, seakan-akan terkesan, aku selalu merasa tak cukup dengan apa yang sudah Tuhan berikan padaku selama ini. Padahal saking banyaknya Tuhan memberiku nikmat dan rizki, aku sampe malu dan merasa gak enak. Mau nolak ya gimana, mau minta lagi ya gimana juga. Akhirnya aku hanya bisa mengucapkan ‘makasih Tuhan’.
Sama halnya ketika aku berada di puncak gunung, tempat dimana sangat asyik untuk merenung dan berkontemplasi. Atau di pinggir pantai yang asyik untuk bercermin diri dan bahkan di dalam rumah yang notabene aku tinggal hanya seorang diri, yang tepat untuk berintropeksi diri, namun kesemuanya itu justru membuatku bingung untuk berbuat apa. Apakah karena aku bukan orang yang idealis ? atau bahkan aku termasuk orang yang pragmatis ?. Wadoh ! saya gak mau berdebat, ini bukan ruang kuliah.
Tiba-tiba salah satu sahabatku berkata bahwa masalah itu sering kali datang padaku, karena itu bagian dari konsekwensi hidup, namun katanya, aku tidak pernah menganggapnya itu adalah bagian dari masalah, sehingga kadangkala aku berlalu begitu saja tanpa harus menghiraukan masalah yang datang padaku. Hmm.. kasihan juga tuh masalah, dicuekin kan gak enak juga. Hem..
Jika apa yang dikatakan oleh temanku itu adalah benar, itu artinya ada atau tidak adanya masalah yang datang pada kehidupan kita, tergantung pada pola pikir atau paradigma kita memandang masalah itu. misalnya, jika kita menganggap tidak punya duit sepeserpun itu adalah masalah, maka setiap kali kita tidak punya duit atau kehilangan duit, itulah akhir dari hidup. namun jika kita menganggap ketidakpunyaan duit itu hanya sebagai pembelajaran atau ujian, maka semuanya akan baik-baik saja.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana proses atau memiliki paradigma seperti itu , yang menganggap semua masalah adalah nikmat ? , itulah yang menjadi pertanyaan kita bersama dan mencoba merenungi jawabannya dalam kontemplasi secara pribadi. Karena setiap orang pasti tak sama.
Aku hanya ingin berbagi cerita. Ini juga hasil dari kontemplasiku selama ini, bahwa aku begitu ingin setiap saat mengucapkan terima kasih pada Tuhan, yaitu ;
1. Aku begitu percaya dan yakin seyakin yakinnya, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan masalah, kesedihan, kegagalan, kesalahan, bahkan amarah yang berupa ujian atau adzab pada makhlukNya. Keyakinan itulah yang membawaku pada sebuah anggapan bahwa sekalipun aku berbuat dosa, baik dosa kecil atau dosa besar, itu adalah nikmat yang harus aku syukuri dengan berfikir , lalu mengambil pilihan dengan sebuah keputusan, apakah ini baik untuk saya atau buruk. Jika itu ternyata tak baik untukku, maka aku harus meninggalkannya.
2. Aku percaya dengan hukum tarik ulur. Maksudnya, jika ingin dihargai, maka hargailah. Jika ingin diperlakukan baik oleh orang, maka berbuat baiklah pada semua orang. Jika tidak ingin dimusuhi, maka jangan pernah memusihi orang. Saya selalu belajar pada sikap dan pengalaman orang lain. Jika sikap seseorang tidak disukai oleh orang banyak dan begitu juga aku, maka aku tidak akan meniru atau mengikuti sikap tersebut. Begitu juga sebaliknya.
3. Pola pikir itu juga aku dapatkan dari bacaanku terhadap buku-buku yang berbicara tentang hidup yang bahagia, sikap yang baik dan bagaimana memelihara hubungan antar manusia lainnya dengan indah. Dan itu aku mulai sejak berada di sekolah dasar hingga sekarang. Ada cerita lucu, tiba-tiba ibuku memberiku buku dan menganjurkanku untuk membacanya, katanya buku itu sangat bagus dalam menjalin sebuah hubungan antar manusia dan membuat kita semakin dihargai. Lalu setelah kulihat bukunya, aku langsung berkata pada ibuku “ buku ini sudah ku baca 8 tahun yang lalu”. Hee… saya pun dengan sombong meninggalkan ibuku yang masih termangu memandangi buku itu dengan seksama.
Mungkin itulah factor-faktor yang mempengaruhi paradigmaku, yang menganggap bahwa semua masalah yang datang pada kita adalah nikmat. Dan Itulah mengapa tidak pernah ada kata menyesal dalam kamus hidupku. Namun yang menjadi sisi negatifnya adalah, kadang aku rindu untuk menangis tersedu-sedu karena masalah. Hee….
Lalu apakah aku masih termasuk orang sombong ?,
atau… bisa jadi aku termasuk orang yang jujur ?
Hem……..

Gunuk, 05 oktober 2010

Endang (bukan) Cucu (nya) Kartini

Ini kisah tentang Endang. Salah satu sahabat terdekatku yang memberiku inspirasi dan pelajaran hidup yang begitu sederhana dan bersahaja. Selama 6 tahun bersekolah, saya dan Endang selalu satu kelas. Ia tidak pintar juga tidak bodoh, tapi cerdas. Cerdas dalam berkehidupan dan cerdas dalam bergaul. Yang kutahu ia tidak punya musuh, karena senyuman dan kesabarannyalah yang membuatnya ia diterima di semua kalangan. Tanpa kepentingan apapun, ia selalu menjadi penengah, termasuk ketika aku selalu berselisih pendapat atau bersitegang dengan kawan lainnya, hanya untuk mempertahankan ideku dalam pementasan drama atau teater. Endang adalah sahabatku yang tak pernah mengeluh dan menuntut.

Setelah aku lulus sekolah Menengah, aku mendengar kabar bahwa Endang memilih untuk tinggal di Pesantren sebagai guru sekaligus mahasiswi. Padahal ia termasuk orang yang memiliki potensi dan interest dalam petualangan. Maka kemudian aku bertanya padanya tentang alasan mengapa ia justru memilih hidup di Pesantren, mengapa ia tak mencoba untuk melanjutkan kuliah di luar pesantren?. Lalu ia menjawab, “Karena aku ingin sekolah tapi tak punya uang, by”. Jawaban Sahabatku yang masih memangilku aby ini, seakan menjetok kepalaku, bahwa hidup memang harus sederhana, yaitu sesuai dengan realitas.

Aku yang tinggal di Jakarta tidak begitu intens bergaul atau minimal mendengar kabarnya yang ada di Madura. Hingga suatu ketika, ujug-ujug aku mendengar bahwa ia telah menikah dengan pria pilihannya, yang sama-sama menjadi guru di Pesantren. Padahal yang kutahu, selama kami sekolah dulu, ia tidak begitu tertarik dengan isu lelaki. Aku dan kawan-kawan lainnya yang selalu meng-up-date tentang kabar lelaki, baik itu hanya isu ataupun sekedar cinta monyet tak mempengaruhi prinsipnya, bahwa ketika itu, ia ingin focus sekolah. Ya, aku hargai itu, tapi aku juga kaget mendengar kabarnya bahwa ia telah menikah mendahului aku. Dan aku hanya bisa mengucapkan selamat, semoga bahagia dan kuliahnya juga bisa segera selesai.
Belum lama kemudian aku mendengar kabar, bahwa ia saat ini tinggal di Bekasi di rumah keluarga suaminya. Dan aku pun tak sabar untuk datang melihatnya. Namun sebelum aku sampai di rumahnya, salah satu sahabatku yang juga menjadi guru di Pesantren memberiku kabar tentang motif kepindahan Endang beserta keluarganya ke Bekasi , yang ketika itu ia sedang menyelesaikan program KKN-nya. Kabar itu begitu mengejutkanku, namun tak mengurung niat ku untuk sekedar melihat kabarnya di Bekasi.
Aku bertemu dengannya, dan juga keluarganya. Ia tak berubah sama sekali. Senyumannya masih indah seakan memberikan energy positif padaku. Ia menyambutku dengan gembira, hingga ia keluarkan semua kaleng-kaleng berisi berbagai macam kue, padaku. Ia bercerita tentang kawan-kawan tanpa ada koma. Kebahagiaan yang ia pancarkan padaku membuatku tak berani untuk mengkonfirmasi kabar buruk tentangnya yang baru saja aku dengar dari kawan yang lain. Dan akhirnya aku pulang.

Setahun kemudian aku bersua lagi dengan Endang di acara reuni suaminya di dekat Rumahku dan diteruskan di Puncak. Ia mengajakku turut serta ke Puncak hanya untuk sekedar menemaninya dan membantunya mengusir jenuh ketika suaminya sibuk bersama teman-temannya. Waktuku yang begitu banyak bersamanya, hanya menjadi pendengar saja. Hingga akhirnya kesempatan yang kutunggu-tunggu mulai muncul. Ia mulai bercerita tentang masalah yang menimpanya hingga akhirnya ia harus pindah ke Bekasi. Air mata yang beriringan dengan senyum indahnya membuatku harus mendekapnya dan mengelus pundaknya sambil bertanya,” Mengapa kau tak memberitahukan hal itu padaku ? kau tak pernah sendiri. Kau masih punya aku dan kawan yang lain. Mengapa kau memilih menanggung masalah berat ini sendirian ?”. ia tetap menunduk sambil menyeka air matanya yang tak pernah kering. Ia diam sejenak dan menghela nafas panjang, kemudian ia menatapku, “Maafkan aku by, bukannya aku tak ingin berbagi. Aku hanya tak ingin merepotkan orang lain dengan masalahku. Aku tahu masalah ini menjadi ricuh dan buruk. Dan aku lebih memilih untuk diam dan sembunyi, hingga masalah ini berakhir. dan sekarang, masalah itu telah usai. Dan aku tak pernah menolak atau menghindar untuk menjelaskan masalah ini yang sebenarnya pada siapapun yang bertanya”. Lagi-lagi jawaban sahabatku ini membuatku bangga dan terharu. Spontan buluk kudukku merinding kegirangan.

Bukan hanya itu, ada perkatannya yang juga membuatku tercengang bahkan tersadarkan, yaitu ketika kami berenang bersama di Puncak. Aku yang hanya memakai celana ukuran ¾ dan kaos berlengan pendek dan dia memakai celana panjang, kaos berlengan panjang plus jilbab. Aku yang melihatnya sedikit gerah, lalu kusarankan saja untuk melepas jilbabnya dengan alasan biar gak ribet. Toh walaupun orang-orang melihat kami, itu suatu kewajaran, karena kami sedang berenang. Lalu dia hanya tersenyum sambil menatapku dengan nakal, “ Aby..Aby… kau sudah lupa ya , aku ini bukan Endang lagi tapi sudah menjadi nyonya Sanusi. Istri suamiku. Mungkin jika aku masih single, aku pun juga tidak ingin berenang selayak mau kuliah. Lengkap banget. Iya kan ? tapi inilah yang dinamakan komitmen by, ketika kita memilih untuk menikah dengan pria pilihan kita, maka secara otomatis, kita juga harus siap dan menerima segala konsekwensinya. Kau tahu lah, suamiku kan seorang ustadz….”, ia masih tertawa mencibirku dan aku yang masih sewot segera melemparkan air dengan tanganku ke wajahnya.

Itulah Endang, sahabatku yang tidak pernah menceritakan keburukan siapapun. Meski orang yang pernah memfitnahnya atau yang pernah mendholiminya. Ia juga tidak pernah mengeluh. Ia hanya bisa tertawa dan tertawa.

Kemaren ia menghubungiku dan berharap aku bisa main ke rumahnya. Karena sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya lagi. Mungkin sekitar 8 bulan kami tak bertemu. Aku pun meng-iya-kan ajakannya karena aku pun juga begitu merindukannya. Maka acara weekend ku isi dengan bertandang ke rumahnya.

1 jam ku lalui hingga tiba di depan rumah kontrakannya yang begitu sederhana. Kuparkirkan motorku di halaman depan. Endang yang mendengar suara motorku, segera keluar dari rumahnya, meneriakkan namaku dan memelukku. Tak kuduga, ia memelukku dengan erat sambil menangis tersedu. Aku kaget dan berusaha melepaskan pelukannya. Tapi ia masih saja memelukku sambil berkata dengan isak, “Aku kangen by. Aku kangen kamu. Aku kangen teman-teman. “ ia masih saja terisak di pundakku, hingga suara anak kecil yang berumur kira-kira 2 tahun menyebut kata “ummi” di balik pintu. Dan Endangpun segera melepaskan pelukkannya, lalu menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya sambil menggendong Gabril, Anak semata wayangnya.

“ By, karena kamu suka kuliner, maka aku buatkan kamu makanan special khusus buatanku sendiri”. Endang segera membawa makanan dari dapur dan menyajikan untukku. Aku hanya mengangguk dan segera mencicipi makanan tersebut. Sambil menggendong Gabril, anaknya, ia terus menatapku dengan kebahagian.

“Cerita dong by, ! cerita kabar teman-teman, kabar teh Lena, kabar Kak Mita, Kak Mia, Ipeh , Susan , bal blab la blab la bla ………………..”.

“ Aduh, satu-satu dong ! emangnya saya bagian Informamsi apa ? “ sambil mengunyah , kurebahkan badanku di kasur yang ia siapkan untukku. “nanti pasti aku ceritakan kabar mereka, tapi sekarang, ceritakan dulu kabarmu.! Suamimu mana ?”
“Suamiku lagi ngajar by, jadi aku hanya sama Gabril disini. Kabarku baik-baik saja, hanya saja, aku kangen sama teman-teman. Kadang aku ngerasa sendirian disini. Aku ingin bertemu dengan teman-teman. Suamiku gak pernah melarangku untuk bertemu dengan teman-teman, tapi…. Aku gak bisa motoran by, kalo naek angkot, bakal lama dan capek. Lagipula aku kan sudah punya Gabril. Gak enak kalo ninggalin di rumah neneknya. Jadinya aku hanya bisa minta kamu, by untuk ke rumahku saja”. Tiba-tiba ia mulai memelukku lagi dan tersedu. Tanpa sadar aku pun ikut menangis.

“Sudah ah !” aku melepaskan pelukannya dengan kasar.” Jangan bikin aku nangis lagi ! yang penting aku sudah disini , iya kan….?” Aku tersenyum sinis dan Endangpun juga tersenyum sambil menyeka air matanya.

“ Makasih ya by..” .
Kemudian kami makan bersama dan tak ada hentinya melepas rindu dengan sekedar ,menggosip kabar teman-teman yang lain…..
---------------------------------
NB : jika ada yang ingin main ke rumah Endang, atau ingn menghubungi Endang silahkan telpon ke nomer 087850914756

Gunuk, 08 Oktober 2010, (sambil menonton pemilihan Puteri Indonesia di Indosiar )

Kepada kau lelaki yang ku puja dan kubenci

Yang mengajarkanku tentang indahnya kebersamaan sekaligus tentang kebohongan.
Yang menyebarkan kenikmatan, sekaligus keangkuhan.
Yang menulariku kecerdasan sekaligus kebinalan
Yang menvirusiku keberanian sekaligus kekerdilan
Yang memberi kebahagian sekaligus cibiran

Kau yang disana,,,,…!
Boleh saja kau tertawa bahagia, tapi jangan salahkan aku jika kau rindu padaku.
Boleh saja kau menangis, tapi jangan salahkan aku karena kau begitu mencintaiku.
Boleh saja kau memujaku, tapi jalan salahkan aku yang tak bisa menerimamu.
Boleh saja kau membenciku,tapi jangan salahkan aku jika kau terobsesi padaku
Boleh saja kau berbohong, tapi jangan salahkan aku jika aku tertawa sinis..

Hem…
Berikan aku sepuluh lelaki, maka akan kutelanjangi ia
Dan biarkan aku tertawa dengan kepura-puraannya

Gunuk, 01 Oktober 2010

Untuk Wawa … (sahabat yang hilang : Uswatun Hasanah)

Terakhir kali ketika kita bertemu, 3 tahun yang lalu, kau bercerita, bahwa kau ingin mengikuti suamimu yang bertugas di Kalimantan. anakmu yang baru saja kau lahirkan, belum sempat ku gendong dan kau kini menghilang tanpa kabar. Nomer hp mu tak ada. Hingga aku pun tak tau harus bertanya dan menghubungi siapa tentang kabarmu saat ini.
Kau tau Wa, meski kita menjadi sahabat sejak lama, namun keakraban kita mulai terjalin ketika kau bekerja di Jakarta. Kita tak sungkan bercerita tentang diri kita masing-masing meski itu adalah rahasia. Aku bahagia bisa bersahabat denganmu.
Kuingat ketika kau datang dengan tiba-tiba ke kosku dan mengeluh manja sambil berkeluh kesah tentang protes bosmu terhadap penampilanmu yang terkesan cuek dan tak menarik. Kau minta aku untuk ajarkan bagaimana berpenampilan menarik dan cara bermake-up. Tanpa basa-basi, kita langsung melesat ke pasar tanah abang untuk membeli baju dan ke Blok M untuk membeli seperangkat kosmetik. Dan setelah ku dandani kau, mataku tak berhenti-hentinya berkata “oh my God, kamu ternyata cantik ya “. Meski kau Nampak malu, tapi aku yakin kau bakal tak kan dimarahi oleh bosmu itu.
Lalu ketika kau ultah, ku kejutkan dengan kedatanganku bersama kue tart kecil dan lilin mungil untukmu. Matamu Nampak berkaca dan senyummu Nampak indah ketika kau ucapakan “Makasih Nov”. dan itu kau lakukan sebaliknya padaku, maka biarkan aku juga mengucapkan “ Makasih Wa”.
Saat kau putuskan untuk kembali ke Madura dan akhirnya menikah dengan pria yang dikenalkan oleh keluargamu, aku turut bahagia. Karena yang kukenal sejak dulu, kau adalah sahabat yang begitu sederhana. Aku pun tak berfikir panjang untuk menghadiri acara pernikahanmu meski jarak antara Jakarta dan Madura cukup melelahkan…
Rindu yang menyesakkan membuatku ingin sekali bertemu denganmu, maka setelah kau melahirkan anak laki-laki, ku ucapkan selamat dan memelukmu… itulah terakhir kita bertemu.
Wawa…
Kau adalah alarm bagiku, yang ketika aku berjalan pada jalan yang salah, kau tak segan untuk membunyikan pluit dan memberhentikan langkahku dan menyuruhku untuk kembali. Tapi kini, kau tak ada. Tak ada lagi yang menjadi polisiku. Tak ada lagi yang menjadi alarm ku. Aku berjalan semauku. Sebebasnya aku dan seterserah aku. Hingga aku tahu… aku harus berhenti sendiri.
Wawa..
Betapa sulitnya aku melawan ini semua sendirian. Setiap aku berada di jalan yang salah, bahkan ketika aku telah berada di jalan yang benar namun ingin kembali ke jalan yang salah itu, aku selalu teringat pada perkataanmu, “Nov… aku percaya padamu, dan apapun yang menjadi keputusan, aku selalu mendukungmu, karena aku selalu ada untukmu”. Kau tak pernah menghakimiku bahkan menyalahkanku atas apa yang kulakukan. Padahal aku tahu, kalau itu salah. Justru kau membelaku dan menenangkanku, bahwa Tuhan tidak pernah marah, Ia hanya ingin menguji”.
Wawa….
Saat ini, namaku tetap Novie dan tetap seperti dulu….
-------------------------
NB : kawan-kawan jika kalian tahu kabar tentang wawa, tolong kabari aku…! Jika kalian bertemu dengan wawa, katakan kalo aku sangat merindukannya…..

Langit itu adalah Malaikat..

Ini adalah kisahku..
Tidak pernah aku salahkan pada siapapun dan pada apapun, tentang kesendirianku. Ini adalah pilihan dan hanya sebuah pilihan. Pulang kuliah, ingin rasanya segera tiba di rumah. Hanya untuk ingin sendiri. Inilah nikmat yang selalu ingin kusyukuri. Setiap detik. Setiap malam. Karena aku ingin berbicara dengan malaikatku.

Kalau kata orang, malaikat selalu berada di samping kita, dan selalu menemani kita kemanapun kita berada, maka tak salah jika aku selalu berbicara padanya, hanya sekedar menawar kan sekerat roti bakar yang hampir gosong dan segelas teh hangat yang nikmat padanya. Ia pasti menggelengkan kepalanya sambil mengernyitkan dahinya dan berbisik dalam hati kecilnya dengan pertanyaan bodoh “ apakah wanita ini bisa melihatku ? kenapa ia menawarkanku untuk makan?”.

Aku hanya bisa tersenyum dan tertawa geli melihat tingkah bodohku. Jika memang malaikat itu adalah lelaki, maka aku bangga dan senang menjadi wanita. Karena malaikat tak pernah meninggalkanku sendiri. Ia selalu ada di sampingku bahwa sering memelukku ketika aku tertidur.

Hinggaa suatu hari, disaat pagi. Saat kubuka mata dan menggeliat. Aku mendengar suara berisik di dapur. Jantungku berdegup keras dan ketakutan menggerogoti rasioku. Sekejap dengan pelan ku langkahkan kaki dan mengintip dari pintu kamarku.
Kulihat sesosok lelaki di depan kompor sedang memasak. Sekejap dengan tiba-tiba ia memalingkan tubuhnya ke arahku. Aku segera sembunyi dengan degup jantung yang terus memburu. Lalu kudengar suara lelaki itu dengan jelas “Selamat pagi Nov, kau sudah bangun ?, solatlah dulu!, lalu kita sarapan bareng, aku sudah membakar roti untukmu!”.

Aku masih diam membisu dan takut. Entah pertanyaan ini untuk hati atau otakku, tentang siapa lelaki itu ?. ku coba untuk acuhkan dan pura-pura rileks sambil menenangkan diriku dengan mengeracau “ini pasti mimpi”, berulang kali bak dzikir. Ku coba langkahkan kakiku ke kamar mandi dan berwudhu lalu solat subuh. Berharap ini semua sudah berakhir. aku menghela nafas dan meletakkan mukenaku di gantungan. Lalu aku berjalan ke ruang tamu untuk olahraga kecil, namun sosok laki-laki itu duduk manis dengan senyum yang indah. Mataku melotot dan detak jatungku tiba-tiba terhenti. Segera ku kembali ke kamar tidurku sambil mengunci kamar dengan keras. Aku masih berada di pintu sambil menutup mulutku. Tiba-tiba suara ketokan pintu membuyarkan kesadaraku dan ketakutanku.

“ Nov….Nov…! buka pintunya! Ayo jangan sembunyi! Roti bakarnya kalo dingin, jadi gak enak nih “. Suara lelaki di balik pintu itu masih membuatku ketakutan. Beberapa kali aku mengusap-mengusap wajahku dan mencubit lenganku. Berharap ini hanya sebuah mimpi, namun tetap tak berhasil. Kuhela nafasku dan ketelan ludah keringku sambil kuhempaskan nafasku dan menenangkanku. “okey ! aku harus tenang ! bagaimanapun aku harus hadapi ini”.

Palan-pelan aku keluar kamar dan menuju ruang tamu. Kupaksakan senyum yang tak begitu lebar padanya. Ia hanya tersenyum dan memperbaiki duduknya, sambil menyilahkanku untuk sarapan.

“Hem.. akhirnya kau keluar juga Nov, aku sudah membuatkanmu roti bakar dan segelas teh hangat untukmu, kita sarapan yuk !” ia berkata seakan-akan sudah kenal dan bahkan akrab denganku. aku duduk dengan perlahan mendekatinya dengan ketakutan yang tak kunjung usai sambil tersenyum yang memaksa.

Ku ambil segelas teh hangat dan meminumnya sambil melirik pada lelaki itu, yang masih saja tersenyum padaku. Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya untuk membantu untuk meletakkan gelas yang masih berada di tanganku. Aku masih ketakutan dan pura-pura tenang.

“Boleh kutanya sesuatu ?” kuberanikan diri untuk bertanya meski perlahan

“Silahkan !”.

“Apa yang kau lakukan disini ? da..aaann siiii…apa kamu ?”. aku sedikit gugup dan terbata, namun lelaki itu tersenyum dan mencoba mendekatiku. Aku segera mundur dengan tangan bersilang selayak pendekar yang siap-siap melawan musuh dengan teknik bela diri.

“ Hem… apakah kau tak mengenaliku ? atau kau hanya pura-pura tidak tau ? aku adalah malikatmu, Nov. yang setiap pagi kau tawarkan roti bakar dan segelas teh hangat. Yang setiap malam kau panggil aku untuk memeluk tubuhmu hingga kau tertidur. Yang menjadi teman curhatmu ketika kau lelah dan sedih. Lalu mengapa kau masih bertanya tentang aku ?”.

“Aaa….ku masih belum mengerti, aa…apa yang kau maksudkan itu ?, malaaikat ? kkkaaauu malaikat ? tapi mengapa kau ada sini ? mengapa aku bisa melihatmu ? bukankah yang kutahu, kau tak bisa dilihat oleh manusia ?”. ketakutan dan kewaspadaan masih menyelimutiku….

“ Hem.. ya, mengapa aku disini ? mengapa aku bisa terlihat olehmu ? karena aku ingin bersamamu… aku jatuh cinta padamu…..” lelaki itu mendekatiku dan segera kuambil sapu yang berada tepat di belakangku dan menyodorkan padanya. ia hanya bisa tersenyum dan tertawa geli…

“ Tak kusangka, Novi yang ku kenal sebagai wanita periang dan pemberani, ternyata penakut pada pria yang jatuh cinta padanya”. Mendengar responnya yang merendahkanku, aku langsung meletakkan sapu dan mencoba menantangnya dengan meletakkan kedua tanganku di pinggang.

“Siapa yang takut ? Aku ? haah… kau salah, aku tak takut, aku hanya waspada saja, siapa tau kau maling yang pura-pura mengaku sebagai malaikat”. Lelaki itu tertawa lepas dan aku segera menutup mulutnya dengan tangan kananku, dan telunjuk kiriku merapat di mulutku sebagai tanda jangan ramai.

“Novi…Novi.. apa perlu ku bongkar semua rahasiamu selama ini ? hanya untuk membuktikan siapa aku yang sebenarnya ? kau adalah wanita yang tidak jujur. Kau adalah wanita yang selalu ditinggal oleh lelaki. Kau adalah wanita yang………”, aku segera menyumbat mulut lelaki itu dengan roti bakar agar berhenti mengeracau…..

“Okey, aku percaya padamu. Tapi ….mengapa kau ada disini ?”.

“ Sudah kukatakan sejak awal padamu, aku disini karena aku jatuh cinta padamu. Aku ingin menjadi lelaki yang mengusap air matamu. Aku ingin menjadi lelaki yang bisa memberikan pundakku untuk kau sandar. Aku ingin menjadi lelaki yang bisa memberikan paha untuk kau jadikan bantal sebagai pelepas lelah. Aku ingin menjadi lelaki yang selalu mendengarkan ceritamu. Aku ingin menjadi lelaki bisa bercanda setiap hari denganmu. Aku ingin menjadi lelaki yang bisa mengenggam tanganmu ketika kau kehujanan di jalan. Aku ingin menjadi lelaki yang bisa memelukmu hingga kau tertidur. Aku ingin menjadi lelaki yang…..”

“Stop…!! Jangan teruskan..! sekarang aku ingin bertanya padamu, apakah Tuhan tahu kau ada disini ?”. Ia menyadarkan punggungnya ke dinding dan menengadah ke atas sambil tersenyum.

“ Tuhan pasti tahu, meski aku tak pamit. Tapi dia tak akan pernah marah pada apa yang menjadi keputusanku. Mungkin, Dia justru tersenyum karena aku saat ini bersama dengan orang yang tak salah. Sudahlah…! Tak perlu kau pikirkan hal itu, kita makan saja yukk !”. Ia mengambil segelas teh hangat dan meminumnya. Aku masih terpaku bak patung yang dihujani pertanyan-pertanyaan di otakku.

“Tunggu dulu ! kau tau namaku, tapi aku tak tahu namamu. Masak aku panggil kau malaikat ? ini tak adil “. Dia kembali tersenyum dan mendekatiku

“Hem.. kau ingin memanggilku apa ?”

“ Aku …?”

“ Iya..”

“Hem….. (sambil berfikir dan mengerakkan telunjuk di kepalaku), bagaimana dengan Langit ?”

“Langit ? kau ingin memanggilku, langit ?”

“Iya…lucu kan ?”

“hem….. oke.. kau boleh memanggilku apa saja yang kau mau “.
Aku tersenyum dan mengambil roti bakar yang dari tadi kucuekin. Dia hanya memandangku bahagia, dan aku pun juga tersenyum.

--------------------------------
Hingga saat ini aku dan Langit selalu bersama meski tak ada seorapun yang bisa melihatnya…..

Gunuk, 01 Oktober 2010

Lelaki Agustusku….

Awal pertemuanku dengannya sangat tak memihak.
Ia sedang mencintai seseorang, begitupun aku.
Aku bersama dengan lelaki yang ku cintai, dan ia juga.
Aku memeluk lelaki yang ku cintai, begitupun ia, sedang memeluk wanitanya.

Kini….
Ceritanya telah berubah…
Rasa cintaku untuk si lelaki itu telah hilang dibawa angin.
Dan yang kudengar pula, lelaki agustusku, telah dikhianati oleh wanitanya.
Si wanita malah menjalin hubungan dengan sahabat karibnya.
Benar-benar menyesakkan dada…

Dan aku…?
Aku bukan seorang malaikat yang datang untuk menghiburnya
Aku bukan pahlawan yang datang membelanya
Aku bukan kawan yang siap mendengar keluah kesahnya
Tapi aku adalah wanita yang diam-diam mengaguminya sejak awal.

Namun …..
Sampai saat ini aku harus menyanyikan lagu milik Kang Iwan Fals
“ cinta yang ku pendam, tak sempat aku nyatakan karena kau tlah memilih
Menutup hatimu….”

Ciputat, 13 Agustus 2010, 13.00

Bukannya aku tak mau menghubungimu…..tapi,

Tiba-tiba seorang kawan baru, menegurku karena tak pernah mengiriminya sms atau bahkan membalas sms nya. Aku hanya bisa berapologi singkat dan ia pun memakluminya meski sebenarnya aku telah berbohong. Kejadian ini mengingatkanku pada peristiwa yang sama 3 tahun yang lalu ketika kakak kelasku yang sudah kuanggap sebagai keluarga, menegurku dengan alasan yang sama. Jangankan hanya teman atau bahkan teman yang baru kukenal, keluargaku saja pernah menanyakan hal yang sama, “Nov, ! memang susah ya kalo nulis sms ?”, dengan nada menyindir.

Karena bagiku ini bukan hanya teguran tapi juga kesalahan yang harus ku perbaiki, maka aku memutuskan untuk menjalani terapi khusus secara intens untuk mengirimi sms dan membalas sms. Sungguh mengapa aku harus menjalani terapi hanya untuk urusan yang sangat sepele ini. Bagiku ini juga kebiasaan buruk yang harus segera ku tinggal. Maka tanpa komando, aku berniat untuk terapi.

Selang beberapa lama aku menjalani terapi ini, namun terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam diri saya. Tiba-tiba ada sesuatu yang justru membuatku merasa tidak tenang, gelisah dan ragu. Hingga akhirnya aku melakukan identifikasi terhadap penyebab keraguan yang muncul. Dan ternyata, aku tidak boleh memaksakan diriku sendiri untuk melakukan sesuatu yang memang tidak aku sukai. Aku merasa telah membohongi diriku sendiri. Bahkan telah membunuhnya dengan lembut. Aku menjadi kehilangan diriku sendiri dan merindukan diriku yang dulu. Kini, aku harus berani mengambil keputusan lagi, bahwa aku tak bisa melakukan apa yang diinginkan teman-teman dan keluargaku , karena itu bukan diriku ! titik !

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa dan darimana sikap ini datang. Mengapa aku begitu malas dan tak peduli untuk mengirim sms atau sekedar membalasnya?.

Lama aku mencoba memahami diriku dengan mencari dan meraba sambil mengkomparasikan dengan ilmu yang kudapat dari teori filsafat, sosiologi, psikologi bahkan sambil menonton film. Hingga akhirnya aku tahu, bahwa apa yang terjadi padaku adalah hal
yang wajar dan normal. Beberapa jawaban yang kudapatkan adalah,

Pertama, saya adalah bagian dari keluarga yang memang memiliki kebiasaan tidak suka banyak bicara. Ayahku adalah seorang pria yang tak romantis. Jangankan untuk nelpon atau sms, bicara pun mengenai hal-hal yang menyangkut masalah keluarga atau yang berhubungan dengan rencana masa depan, tidak pernah di bicarakan dalan forum yang terbuka. Apalagi ibuku, ia adalah seorang wanita yang punya hobi memendam emosi dan masalah tanpa harus bicara ketika masalah itu terjadi. Namun jika semuanya sudah tuntas dan terselesaikan, ibuku baru menceritakannya padaku tentang semua masalah yang telah terjadi. Dan ada kekompakkan dalam diri ayah dan ibuku, yaitu sama-sama gaptek. Mereka tidak tahu cara mengirim sms dan menelpon dengan HP. Sehingga saya dan saudaraku yang lainlah yang harus aktif dan agresif untuk menghubungi orangtua kami.

Kedua, saya adalah penganut paham Pragmatisme komunal. Ini adalah salah satu konsep dari filsafat moral, bahwa setiap orang yang tertimpa masalah harus mencari solusi secepatnya, namun tanpa harus melibatkan orang lain atau bahkan merugikan orang lain. Saya berasumsi, jika saya mengirim sms atau menelpon dengan sekedar menyapa, khawatir akan menimbulkan masalah baru bagi orang yang ku kirimi sms atau yang ku telpon. Jangan-jangan ketika itu, dia, (orang yang ku kirimi sms atau yang ku telpon ) sedang mengalami masalah, atau sedang menghadapi masalah, dan bisa jadi sedang tidak ingin dihubungi. Itulah mengapa aku tak ingin memulai ……

Dua alasan itulah yang juga membuatku malas untuk ngobrol tentang hal-hal yang sifatnya pribadi atau sesuatu yang tak perlu menjadi konsumsi publik, kecuali curhat 4 mata. Dan itu pula yang membuatku malas untuk chat di FB atau di YM.. maaf ya… apalagi yang belum ku kenal…hem

Apakah aku harus terapi lagi atau tetap menjadi diriku sendiri ?

Petogokan, 30 Agustus 2010 21.30

Cerita Pertama

Hari ini aku mulai masuk kuliah di UI, yang sebelumnya sudah mengikuti acara orientasi selama 10 hari. Banyak hal yang menjadi pembelajaran dan pertimbangan untuk diriku, terutama dalam hal mengatasi kelemahan yang ada pada diriku juga berusaha mendapatkan rute tercepat dari ciputat ke Depok, yang semuanya sudah aku temukan dan mulai mengindentifikasi.

Selama orientasi, aku merasa kehilangan diriku yang dulu, yang tidak pernah merasa canggung bahkan selalu pede untuk bicara di depan khalayak. Tubuhku menjadi kaku. Mulutku menjadi kelu. Dan suaraku parau. Aku menjadi takut untuk berbicara, bahkan hanya sekedar menyentuk microfone. Nafasku menjadi tak beratur, hingga akhirnya aku memilih untuk diam saja. Tanpa kata.

Sejak dulu aku memang kurang tertarik untuk mengobrol, apalagi hal-hal yang tak penting dan tak perlu menjadi konsumsi public, contohnya yaa tentang pribadi dan latar belakang. Biasanya setelah acara orientasi kelar, aku hanya bisa tersenyum pada kawan-kawan baruku dan langsung pulang untuk segera melihat film drama korea. Hmm…

Aku sadar, aku sekarang berada di dunia baru. Di kampus baru dan teman-teman baru. Mau tidak mau aku pasti bersama mereka selama 2 tahun ke depan, dan aku harus bisa mengenal mereka. Namun aku berasumsi dan beralasan, mengapa aku harus melacurkan prinsipku. Jika aku memang tidak suka dan itu bukan diriku, mengapa aku harus melakukan hal itu. biarlah aku menjadi diriku sendiri. Aku yang ramah dan suka bersahabat namun kurang suka mengobrol kecuali mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kuliah dan masa depanku. Bukan, bukan aku tak ingin mereka mengenalku, hanya saja, aku merasa tak perlu untuk seceepat itu. pasti perlahan-lahan aku akan mengenal mereka. Dan aku sadar sikap yang kupertahankan ini yang membuatku menjadi kaku dan fobia social.

Selain itu, aku mulai mengindentifikasi yang lain, yang membuatku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Padahal aku baru saja berasa di dunia pentas , dunia teater yang mengharuskan aku untuk berani jelek di depan umum hanya sebuah lakon dan mengekspresikan peran yang berkarakter dengan maksimal dan menjiwai. Itulah kenapa kemudian aku berfikir untuk mencari penyebabnya, karena aku merasa ini bukan masalah besar dan pasti ada solusinya. Aku hanya terlalau larut dengan keterkejutanku terhadap dunia baruki ini.

Setelah melakukan identifikasi dan evaluasi, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa aku harus melakukan perbaikan terutama dalam hal keilmuwan. Beberapa hal yang menjadi masalah telah ku temukan jawabannya, yaitu :

1.Saya harus mengharuskan diriku untuk membaca Koran harian untuk mengetahui kabar atau berita yang berhubungan dengan masyarakat, baik itu masalah yang sangat kecil, bahkan yang tak penting. Atau juga menonton acara berita setiap harinya, dan diskusi mengenai permaslahan masyarakat Indonesia atau mengenai pemerintahan.
2.Kareana aku merasa berada di sosiologi ini adalah hal yang baru. Dunia baru bagiku dengan tanpa bekal yang banyak, maka aku harus mewajibkan diriku untuk intens membaca buku mengenai sosiologi, baik itu yanag dasar sekalipun, karena saya merasa tidak banyak memiliki referensi di memoriku mengenai itu. dan itulah yang membuatku menjadi diam dan kaku.
3.Selain yang dua diatas. Yang masih berhubungan dengan teori dan wacana, aku juga harus terjun langsung ke dunia social. Mau gak mau aku harus berinteraksi dengan masyarakat. Mungkin dengan mengikuti kegiatan social atau bahkan ikut serta secara pasif dalam kegiatan organisasi.

Aku tak pernah merasa tak percaya pada diriku sendiri. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Ini hanya soal waktu. Jika semua solusi aku lakukan dengan baik, mungkin aku tak lagi menjadi diam dan semua akan berakhir dengan indah.
Aku juga tak perlu melacur dengan prinsipku ! aku harus tetap menjadi diriku sendiri ! aku harus jujur pada diriku sendiri. Itulah kuncinya.

Ya.! Aku harus berani memilih untuk bersikap menjadi diri sendiri yang jujur ….. okey selamat belajar ! dan harus konsisten….!!!

UI 30 Agustus 2010