Selasa, 23 November 2010

Kado Ultahku

Entah mau dipercaya atau tidak, tapi ini adalah signal dan tanda dari Tuhan. Ketika aku lelah dengan kesendirianku, maka ku cabut doaku yang pernah terucap pada Tuhan, bahwa aku meminta seorang lelaki yang begini dan begitu sesuai dengain keinginanku, setelah aku lulus sekolah pascasarjana. Tapi pada perjalanannya, ternyata aku tak mampu berdiri tegak pada prinsipku, entah apakah ini factor umur atau tuntutan yang terus datang membabi buta, maka dengan jujur kucabut doaku dan kupinta pada Tuhan untuk mempertemukanku dengan laki-laki yang kuinginkan sekarang juga.
Setelah berhasil menerobos macet dan rintik hujan di jalanan selama 2 jam, aku langsung merebahkan tubuhku di atas karpet merah di dalam kamarku, tanpa peduli dimana ku lemparkan tasku. Tiba-tiba ku buka laptop dan mencoba bercengkrama dengan para sahabat melalui situs jejaring facebook. Aku yang terbiasa meng-off-kan chat FB, memilih untuk meng-on-kannya. Berharap bisa berbincang dengan teman-teman. Dan tanpa sadar, seorang pria yang sudah lama ingin kuketahui dan sempat ku menaruh hati sejak pertama bertemu dengannya di Jogja dulu, menyapaku melalui chat FB. Meski isi obrolan kami sangat serius, yaitu mengenai politik tapi aku bahagia.
1 bulan lamanya aku tak memiliki kabar tentangnya. Ketika percakapan kami usai di FB, maka usai pula komunikasi kami. Meski kami sama-sama memiliki nomer HP, tapi saya pribadi tidak pernah menghubunginya meski sekedar menyapanya. Hingga tepat tanggal 8 November kemaren , dia mengirimiku sms, dan mengabarkan bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Jakarta. Oh Tuhan, apakah ia orangnya ? karena tak lama setelah aku berdoa pada Tuhan, tepat jam 12 malam memasuki tgl 8 November, aku meminta kado pada Tuhan seorang lelaki yang kuinginkan dan mau menjadi kekasihku. Dan 5 menit kemudian, dia mengirimiku sms. Jujur aku bahagia, tapi aku jadi ragu dan takut.
Yang kukenal, ia adalah laki-laki yang berkasta tinggi, baik secara materi, akademisi maupun social. Itulah yang membuatku ragu dan takut. Maka segera kutanyakan pada Tuhan, “ Tuhan, dialah orangnya ? apa gak salah ? jangan bikin aku kerdil gini dong!”. Dari keraguan dan ketakutan itulah aku hanya bisa menunggu kemungkinan terbuka dengan sendirinya.
Dimana Obama sedang berpidato di kampus UI dan membuat kuliahku libur , maka di situlah aku bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya. Untung saja ia tak sendiri, ada dua temannya, karena aku bisa menyembunyikan kegelisahan dan ketakutanku yang terus membuat jantungku berdegup kencang dan keras. Aku tak berani memandang wajahnya, sehingga aku memilih untuk terus berdiskusi dengan pura-pura serius bersama temannya. Meski ia duduk di sampingku, untung saja aku tak berbuat kesalahan, biasanya saking gugupnya, bisa jadi aku terjatuh atau bisa jadi gelas yang ada di hadapanku terjatuh. Lebih baik aku memilih diam. Hingga ketika ia bicara “ Aku mau ke rumahmu ya? “ spontan aku langsung menjawab tanpa harus membiarkan ia selesai bicara, “iya, harus”. Aduuhh mengapa aku harus menjawab itu ? bodohnya aku ! apa yang harus aku lakukan nanti jika aku hanya berdua saja… aduuhh jantungku semakin kencang.
Kami pulang bersama menuju rumahku. Setibanya aku masih gugup dan canggung. Tampak aku mondar-mandir di dalam rumahku tanpa harus memandang wajahnya. Dan tiba-tiba ia memegang tanganku dan berkata “ sudah ! jangan bergerak lagi ! aku tahu kau gugup ! sekarang duduklah sini !”, aku tersenyum dengan memaksa, dan dengan perlahan aku duduk di sampingnya. Akhirnya kami pun saling bercerita, saling berbagi pengalaman, saling berbagi ilmu, bahkan saling berbagi rahasia. Hem… saat dia terus bercerita, aku hanya bisa memandangi wajahnya dan berdoa dalam hati “ Tuhan, tunda dulu pagi mu. Biarkan malam ini berjalan setahun lamanya”.
Aku bahagia. Aku senang. Dan aku nyaman bersamanya. Ketika akhirnya tidak ada lagi malu diantara kami. Tidak ada lagi rasa canggung diantara kami. Tidak ada lagi rahasia diantara kami. Entah apakah ini terlalu cepat. Padahal yang kutahu, ketika cinta itu muncul, maka potensi benci akan beriringan bersamaan dengan tumbuhnya cinta.
Teringat dengan apa yang pernah diucapkan oleh temanku bahwa “jika suatu hari kau temukan cinta, jangan kau terima sebelum kau tersiksa dan terlunta-lunta karenanya. Kau harus merasakan penderitaan dalam peleburan penantian yang sia-sia, gelisah yang menguras logika, keceriaan yang maya, dan pengharapan yang mencabik-cabik. Karena penantian, kegelisahan dan pengharapan yang kau alamatkan pada satu nama , ternyata masih menyisakan pamrih dalam alurnya. Kau masih berharap ia akan membalas cintamu, dan itulah pamrihnya. Padahal cinta yang seharusnya kau bangun, adalah cinta tanpa syarat atau tanpa imbalan apa –apa “.
Aahh… apakah aku harus mengalah lagi, dan menunggu dengan membiarkan semua kemungkinan terbuka dengan sendirinya ? maaf kali ini aku tak bisa menjawabnya dan tak ingin menjawabnya..
Gunuk, 15 November 2010 21.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar