Sabtu, 26 Maret 2011

“Lebih baik aku di poligami daripada dicerai…..”

Ya, itulah yang kukatakan pada semua orang tentang apa yang menjadi keyakinan dan prinsipku dalam menjalani sebuah pernikahan kelak. Sudah sejak lama saya mencari dukungan dan pembenaran dari sahabat dan keluargaku tentang hal itu. tapi bukan hanya sahabat perempuan, atau keluarga yang menolaknya, bahkan sahabat laki-laki pun juga menolaknya.

Sahabat-sahabat perempuanku serempak selayak nada koor mengatakan padaku. “Mungkin karena kau belum pernah pacaran, Nov. jadi ga pernah tau rasanya cemburu atau sakit hati gara-gara cinta yang terbagi dengan wanita lain. Sakit, Nov ! sungguh sangat sakit sekali”.

Sama halnya dengan komentar dari sahabat laki-lakiku, mereka juga mengatakan bahwa aku adalah wanita bodoh yang tak mampu mempertahankan dan memperjuangkan rumah tangga. Begitu pula dengan komentar keluarga besarku yang tidak sudi dengan poligami.

Sebenarnya sudah lama saya punya prinsip ini. Lalu salah satu sahabatku berkata, “Semuanya adalah proses, jika saat ini kau mengatakan bahwa kau setuju dengan poligami, belum tentu kau nanti kau akan setuju atau mungkin kau akan mengkhiati prinsipmu ketika kau menikah nanti”. Aku mencoba untuk belajar cemburu dan patah hati, namun ternyata tidak berhasil hingga saat ini. Saya menunggu suatu jawaban yang membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh sahabatku, bahwa semuanya akan berubah. Namun apakah aku harus menikah dulu, baru bisa menemukan jawaban, bahwa poligami itu tidak enak.

Tentu saja saya menolaknya. Karena ketika saya menikah, itu artinya saya telah memulai prinsipku untuk siap di poligami. Karena bagiku, menikahi pria yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan juga melakukan poligami, sama halnya dengan menikahi pria yang cacat fisik, yang tak punya tangan atau kaki. Lalu apakah aku harus meninggalkannya ?.

Pria yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga itu artinya ia sedang terjangkit sebuah penyakit disorder bipolar, yaitu emosi yang tak terkontrol secara rasio dan muncul dengan tiba-tiba tanpa sebab sehingga harus dilampiaskan pada benda atau seseorang yang paling dekat dengannya. Penyakit ini merupakan sebuah trauma dari masa lalunya. Meski melalui terapi yang sangat lama, namun penyakit itu bisa di sembuhkan yaitu dengan kesabaran dan cinta dari pasangannya.

Sedangkan pria yang suka menikah atau poligami adalah pria yang juga mengalami penyakit, baik dari segi psikologis maupun dari segi medis, yaitu hyper seksual. Kebutuhan seksualnya sangat tinggi sehingga, tidak cukup hanya dengan satu istri. Dan penyakit ini pula bisa di sembuhkan, yaitu lagi-lagi dengan kesabaran dan cinta dari pasangannya. Terlepas dengan alasan kelebihan materi , dan hal ini juga tidak ada kaitannya dengan tingkat pendidikan atau tingkat ilmu agama seseorang.

Saya memang tidak setuju dengan perceraian. Mungkin ini adalah alasan subjektif, dan itu artinya saya juga tidak ingin menghakimi atau menyalahkan orang lain yang memilih untuk bercerai. Bagiku perceraian itu adalah keputusan yang paling ‘mentok’. Alias jalan terakhir.

Setiap orang punya kebutuhan hidup masing-masing. Dan kebutuhannya berbeda-beda, baik dari segi tingkatannya maupun bentuknya. Suami istri bukan hanya saling memahami perbedaan tapi juga saling mengisi. Termasuk mengisi kebutuhan masing-masing. Jika ternyata saya tak mampu memenuhi kebutuhannya, maka tak salah jika saya mengizinkan suamiku kelak mendapatkan kebutuhannya dari wanita lain. Asalkan dengan cara etis, yaitu minta izin atau memberitahu.

Lalu bagaimana jika ternyata suamiku nanti yang tak mampu memenuhi kebutuhanku ?, apakah aku harus mencari laki-laki lain untuk bisa memenuhi kebutuhanku ?

Pertanyaan ini sudah ratusan kali aku dapatkan dari semua orang, lalu aku hanya bisa menjawab, bahwa kebutuhanku hanyalah satu, yaitu tidak bercerai. Itu saja !. itulah mengapa saya mengatakan pada semua orang bahwa menikah itu bukan hanya persoalan cinta atau sayang saja, tapi juga kesiapan. Termasuk kesiapan mental dalam menghadapi persoalan klasik dalam rumah tangga, yaitu salah satunya adalah poligami dan kekerasan dalam rumah tangga.

Sebuah bentuk hubungan (relationship) antar manusia tidak bisa diukur secara matematis, maka tak tepat jika dijalani dengan sikap yang kaku. Tidak ada sebuah hubungan yang sejati di dunia ini, semuanya hanya bagaimana cara mempertahankannya, baik itu sebuah keluarga, persahabatan, suami-istri, atau sepasang kekasih ….

Apakah saya salah ??? aku adalah wanita normal yang punya hati, cemburu, patah hati dan juga otak untuk berfikir......

Gunuk, 27 Maret 2011. 12.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar