Selasa, 23 Februari 2010

Dear Bak Titin, Farhan dan Melda

Hey, apa kabar ? semoga tidak ada kegaduhan lagi. Saya yakin, semua akan berjalan menyenangkan selama tetap menjaga komunikasi, iya kan ? bagaimana kabar Buya dan Umma ?, tetap menjadi orang paling sibuk ?, hemm….. Sebenarnya, aku ragu untuk menulis surat yang gak begitu penting ini, namun bagiku, ini menjadi sarana komunikasi pribadi antara kita yang paling efektif, sebab jika harus bicara langsung, saya hanya khawatir tidak bisa mengontrol emosiku, apalagi menggunakan via telpon, mungkin tidak akan semua problem bisa diutarakan.
Aku tak yakin bisa bercerita tentang apa yang terjadi padaku saat ini, terutama yang berhubungan dengan psikis dan emosiku. Awalnya ini tidak menjadi sesuatu yang besar dan tak perlu dibesar-besarkan, mungkin hanya butuh waktu saja, namun sampai saat ini, aku belum punya kuasa dan kekuatan untuk bisa mengatasi. Sudah berbagai cara, aku lakukan, dengan menghibur diri, mencari keterangan atau teori, pengalaman bahkan konsultasi, namun problem yang kualami belum menemukan solusi yang tepat. Bahkan semakin hari semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak melawan, namun menikmatinya, maka kusiapkan waktu 10 menit untuk menangis setiap malam.
Sebenarnya aku malu untuk berbagi cerita dengan saudara-saudaraku. Selain aku adalah seorang sarjana, yang sedikit memahami makna Alquran, filsafat, tasawuf dan psikologi. Bahkan pengalamanku lebih banyak dibandingkan dengan kalian, aku sudah mengelilingi pulau Jawa dan Kalimantan. Banyak bertemu berbagai macam karakter orang dan budaya, yang semuanya bisa menjadi modal dan bekal untuk bagaimana menghadapi kehidupan dan perbedaan. Bahkan secara tidak sengaja, aku menjadi “tempat sampah” dari problem kawan-kawanku, termasuk problem yang berhubungan dengan orangtua dan keluarga. Dan aku yakin, kalian juga pasti menduga, bahwa aku adalah saudara yang paling cuek dan kuat. Maka dari itu, aku berharap dengan berbagi cerita dengan bak (Farhan &Melda), mungkin aku bisa melepaskan sedikit demi sedikit beban yang ada pada diriku saat ini.
Tentu kalian masih ingat peristiwa dimana ketika umma menyiramkan segelas air aqua padaku ? saat itu aku benar-benar rapuh tapi harus berakting kuat. Mau marah, bakal merusak suasana. Mau menangis, gak lucu. Jadi kupilih tertawa saja, agar semua tetap merasa tidak terjadi apa-apa. Namun, kalian pasti tidak tahu apa yang terjadi padaku setelah itu. Aku tak ingin detail dan larut seperti sinetron-sinetron. Toh hal itu sudah menjadi makananku sehari-hari sejak masih kecil. Jika aku ngambek, kan lucu. Hingga akhirnya aku tahu, kenapa Buya dan umma membenciku sejak kecil.
Tanpa sadar, ketika kita berlebaran ke ketapang, Umma menceritakan bagaimana motif kebencian itu muncul. Dulu, ketika umma tahu, bahwa dirinya hamil untuk kedua kalinya dengan jarak waktu yang begitu cepat dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak lagi, mengakibatkan psikis Buya dan Umma labil dan belum siap, hingga muncul sikap ketidakterimaan, kebencian, dan kesedihan. Mereka berdua yang sudah paham tentang ilmu agama, tidak mungkin mengggugurkan kandungannya. Hal ini sudah aku rujuk pada teori psikologi dan ilmu filsafat manusia. Bagaimana paradigma atau cara pandang itu muncul karna emosi. Hal itu sulit untuk dihilangkan, kecuali objek yang dihadapi harus bisa memahami kondisi itu. Ah pasti kalian bingung, hmm contohnya begini saja lah, kalau seandainya nanti, misalnya Farhan memberikan sebuah mobil sama Buya dan Umma, pasti kalimat yang terucap dari mereka adalah “makasih ya”. Namun jika aku memberikan mereka sebuah rumah atau sesuatu yang lebih, pasti kalimat yang keluar dari mulut mereka adalah “ Dapat duit darimana..?”. pola pikir negatif yang sudah terbentuk pada Buya dan Umma terhadapku, sangat sulit hilang namun bisa berkurang. Nah, inilah yang menjadi persoalanku. Entah aku hanya merasa seperti seorang anak yang tak diinginkan.
Kalian mungkin tidak pernah tahu, bagaimana dulu aku pernah dikenalkan pada temannya Buya sebagai keponakannya, bukan sebagai anaknya. Bagaimana kejelekan wajahku menjadi bahan utama ejekan, maka dari itu kenapa akhirnya aku suka make up, karna selain memang hobi, aku juga ingin cantik dan agar tidak di ejek lagi. Bagaimana aku merasakan pukulan atau tamparaan Buya dan Umma, dari kesalahan yang kadangkala tak masuk akal atau mungkin tak pernah ada. Kalau memang dulu karna aku nakal, mungkin aku bisa memaklumi, tapi coba kalian bayangkan, tiba-tiba lagi nonton TV, pukulan sudah mendarat di badanku. Hah! ??? lalu, coba bayangkan lagi, bagaimana perasaan kalian ketika membangunkan buya dengan pelan, malah mendapatkan tamparan!????. semuanya aku ingat, walaupun itu petistiwa yang sangat lama sekali.
Awalnya aku bisa memaklumi dan memahaminya. Siapa yang tidak tahu latar belakang Kehidupan Buya dan Umma. Bagaimana mereka di didik, bagaimana kondisi keluarga mereka saat itu, semua mempengaruhi pada watak dan karakter. Maka dari itu, aku bisa memahaminya, mungkin itu hanya pelampiasan emosi sesaat, atau mungkin bagian dari cara mendidik anak untuk lebih kuat. Dan aku merasakan efeknya, badanku jadi kebal, aku bisa survive, aku jadi lebih pede dan berani, bahkan aku merasa lebih lentur bergaul. Semuanya berjalan dengan indah. Dan kadangkala aku justru merindukan peristiwa dipukul tanpa saalah, jika itu membuat Buya dan Umma bahagia dan bisa tenang, aku tak segan-segan dan dengan senang hati, akan memberikan badanku atau aku siap dimarahi. Namun, setelah aku tahu motif dan dampak paradigma negative yang tak akan hilang, aku merasa rapuh dan lelah.
Saya tidak ingin mengeluh, namun selalu ingin bersyukur. Siapa yang tidak tahu, bagaimana Buya dan umma begitu sayang dan bangga padaku. Seringkali Buya dan Umma curhat dan berbagi cerita denganku, termasuk masalah yang agak sensitive dan pribadi. Dan yang paling membuatku geli dan ingin tetawa, adalah sikap salah tingkah mereka ketika habis memukul dan memarahiku. Hmm saya tahu, mereka menyesal dan tak ada niat berbuat itu, namun sekali lagi, itu sudah pola pikir yang tak bisa diubah. Sampai kapanpun mereka tidak pernah percaya padaku. Lucunya lagi, jika aku tidak ada di samping mereka, mereka selalu merindukanku, membangga-banggakan aku, dan mungkin selalu ingin berkomunikasi denganku. Namun ketika aku ada disamping mereka, rasanya mereka ingin memukulku, memarahiku, dan mencibirku. Aku tidak pernah benar di mata mereka.
Kondisi dilematis inilah yang membuat emosi tak terkontrol. Dicintai sekaligus dibenci. Dirindukan sekaligus dihinakan. Dibanggakan sekaligus tak dipercayai. Lebih baik, di benci aja sekalian kalau kayak gini. Sikapku kan jadi mengambang. Bahkan saat ini, jika aku harus memilih, mending diusir aja sekalian, tidak dianggap anak atau mungkin aku akan bikin masalah yang sangat besar dan membuat mereka marah hingga aku tidak dianggapnya sebagai anak. Dan itu lebih baik untuk hidupku ke depan, karna langkahku semakin jelas dan pasti, arah mana yang harus aku lalui. Tidak mengambang seperti ini. Bagaimana aku bisa membuat mereka bangga, kalau mereka tidak akan pernah percaya padaku. Mau bikin benar, jadi salah, apalagi bikin salah..
Mengenai sekolah, terus terang, sekolah adalah hobi bagiku. Aku paling suka menuntut ilmu. Bisa mendapatkan gelar doctor dan kuliah ke luar negeri adalah keinginan dan impian ku. Betapa bahagianya punya orangtua yang selalu mendukung. Keuangan yang tak perlu dipermasalahkan. Fasilitas dan sarana yang tak perlu dikhawatirkan. Jika ada yang tak bersyukur pada kondisi itu, sangat naif dan bodoh sekali. Namun bagaimana jika semua itu hanya bagian dari rancangan dan desain orantua saja. Anak tidak diberikan kebebasan untuk memilih mana yang ia inginkan. Tidak diberikan kepercayaan untuk merencanakan kehidupan masa depannya. Umma pernah bilang “ pokoknya umur 28, kau sudah jadi doctor”, apa-apaan ini ?. Aku bukan robot ! kalau memang tidak bisa memperlakukan aku sebagai anak, maka perlakukan aku sebagai manusia. Aku punya hati, aku punya jiwa, dan aku punya mimpi. Bagaimana aku bisa menghargai mereka, jika mereka tidak pernah percaya dan menghargai aku.
Aku pernah mendengar Buya berkata “ kalau sudah punya anak s2 atau doctor, jika saya belum mati, maka saya akan bunuh diri “. Bagaimana pun aku adalah seorang anak, yang tidak mungkin ada tanpa orangtua. Tidak ada seorang anak yang tak ingin membahagiakan dan membuat orangtuanya bangga. Mungkin hanya caranya saja yang berbeda. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain ingin memenuhi keinginan Orangtua, minimal membuat mereka bisa meninggal dengan tenang. Apalagi aku lebih suka berkuliah daripada kerja. Tapi lagi-lagi saya hanya mohon, jangan ada kesan, bahwa masa depanku adalah bagian dari desain besar orangtuaku. Dari hati yang paling dalam, saya menghormati dan menghargai rencana dan keinginan Buya dan Umma untuk kehidupan anak-anaknya, terutama saya. Karena tidak ada orangtua manapun, yang tak ingin melakukan sesuatu yang terbaik untuk anaknya. Mereka mengharapkan anaknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari pada mereka ketika menjadi seorang anak dari orangtuanya. Tapi kita semua tahu, apa yang menjadi kelemahan orangtua kita, kurangnya komunikasi yang bersifat pribadi. Kita, sebagai anak kadangkala diposisikan hanya sebagai pendengar bukan pembicara. Karena kita merasa harus memahami kondisi dan karakter Buya dan Umma, akhirnya kita hanya bisa memahami, diam, menyerah, bohong pada diri sendiri, tertekan, menangis atau……
Berapa kali aku melihat Farhan berbicara sendiri, itu adalah bagian ekspresi dari sebuah tekanan emosi yang begitu dalam. Mengapa Farhan selalu ingin berpacaran ?, karna ia butuh teman untuk berbagi, hingga tekanan yang ia rasakan bisa berkurang. Apalagi yang terjadi pada Melda, tentu kita tahu, sikapnya tidak normal, tapi jika kita tahu kenapa dia bisa begitu, pasti kita akan bisa memahaminya. Itu hanya pengalihan atau sekedar mencari perhatian yang hilang. Kalau boleh jujur, sebenarnya bukan bak titin dan Mas Uus yang ia benci, itu hanya pelampiasan saja. Siapapun yang akan bersamanya, pasti akan mengalami hal serupa dengan Bak Titin. Coba sekali-kali bertiga ngobrol kek, curhat-curhatan. Kalau Melda gak mau, ya pancing lah. Dulu aku pernah kok mendengarkan Melda Curhat……
Apalagi denganmu, bak. Siapa yang tidak tahu, mengapa akhirnya kau memilih untuk cepat menikah. Padahal aku tahu, kau punya mimpi dan rencana masa depan. Kau hanya butuh seseorang untuk bisa berbagi dan keluar dari lingkaran rencana Buya. Kau juga tertekan karena Kau tak bisa jujur, karna kau lebih memilih diam. Aku tak bisa seperti itu, bak. Aku adalah wanita dewasa, umurku sudah 25 tahun, aku bisa memilih sendiri jalan hidupku, mana yang baik untukku. Aku bukan anak kecil lagi, yang jika tersesat, tidak tahu jalan pulang. Satu pertanyaanku untukmu, bak. Kauingin aku sepertimu….?
Sejak dulu, aku tidak punya keinginan untuk kuliah di UIN, jika pun dulu aku harus ke Malang, UIN bukan pilihanku, tapi Brawijaya atau UM. Namun ketika harus kuliah di UIN Jakarta, aku tak bisa memilih, karna aku tidak punya pilihan dan kekuatan saat itu. Dan sekarang aku ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri, sebelum lulus S1, aku sudah mencari info, tapi ada syarat yang tidak bisa kupenuhi, yaitu pengalaman kerja di pemerintahan minimal 2 tahun. Akhirnya aku memilih melanjutkan kuliah S2 di Indonesia sambil Bekerja. Dan pilihanku, jika tidak di UI ya di UGM. Tidak ada maksud untuk menunda, namun aku hanya gagal saja dan menunggu kesempatan lagi. Tiba-tiba aku dikondisikan untuk memilih UIN lagi, hanya alasan untuk mendapatkan status mahasiswa S2 dengan segera. Namun lagi-lagi, karna aku memang tidak sreg, aku memilih mundur dan tetap mengikuti ujian masuk di UI. Kalau Buya dan Umma tidak mengerti dan tidak bisa memahami alasanku, dan menganggapku hanya sebagai pengangguran yang selalu menghabiskan duit saja, suruh saja mereka yang kuliah. Apa yang sebenarnya yang mereka kejar ? lama-lama aku jadi tidak bersemangat untuk kuliah. Sekarang siapa yang egois ? ya sama-sama egois. Kalau begitu tak usah saling menyalahkan dong.
Tapi bak gak usah khawatir, aku gak akal ngambek trus gak mau melanjutkan kuliah atau malah aku mengikuti langkahmu, menikah. Hmmmmm, aku masih waras, bak. Aku akan kuliah memenuhi keinginan mereka. Aku hanya ingin kau tahu aja, tentang kondisiku saat ini, tak usah di besar-besarkan, atau di lebay-lebay kan, walaupun memang aku lebay, heeee
Sangat tidak etis jika kita menghakimi orangtua kita. Walaupun, (anggap saja) mereka bersalah, namun kesalahan mereka hanya dapat diukur pada konteks sekarang, alias beda zaman. Saya yakin mereka tidak akan pernah merasa bersalah, karna jika diukur menggunakan kaca mata pada masa mereka, mereka justru yang terbaik dari pada masa orangtua mereka. Dan aku tidak akan, bahkan tidak pernah menyalahkan mereka. Aku hanya butuh waktu untuk mengatur emosiku. Jujur saja, aku shock setelah mendengar pengakuan Umma, bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan aku ada, yaa terlepas dari alasan dan motif yang ada saat itu. Dan kini yang aku rasakan adalah rasa kebencian yang tidak ingin bertemu, dan tidak ingin berkomunikasi dengan Buya dan Umma.
Jalaluddin Rumi, sang sufi pun pernah berkata “sudah 1001 makna cinta aku jelaskan pada semua orang, namun ketika cinta itu datang sendiri padaku, aku malu dengan semua itu”. Disini bukan persoalan cinta yang ingin kusorot, namun cinta mewakili semua elemen emosi yang ada dalam diri manusia, seperti benci, senang, suka, malas, rajin, marah, bingung, gelisah, dan sebagainya, yang semuanya tidak bisa diukur oleh manusia yang lain. Jadi, aku hanya ingin bak dan adik-adikku, bisa memahami kondisiku saat ini, sunggguh ! aku tidak membenci Buya dan Umma, namun, aku hanya butuh waktu. Dan sekali lagi, bak tak perlu resah dan gusar, aku hanya butuh waktu saja, mungkin ini hanya sebuah proses pendewasaan, walaupun aku juga belum tahu sampai kapan. Jadi, dalam waktu singkat, aku belum bisa pulang.
Jangan pernah katakan bahwa aku tak sayang Buya dan Umma, justru aku merasa kenapa aku tak bisa mengontrol emosiku hingga harus meluangkan waktu 10 menit untuk menangis, karena aku begitu sangat sayang pada mereka. Aku juga tidak ingin kehilangan mereka. Kalau pun boleh, aku hanya ingin memeluk mereka dan tidak ingin kulepaskan. Kau tahu bak, kenapa aku tak ingin berpacaran saat kuliah S1, karna aku ingin fokus dan mendedikasikan gelar sarjanaku untuk Buya dan Umma. Dan saat ini, aku masih belum punya pacar, yang bisa berbagi dan aku bukan type orang yang suka bercerita atau sharing dengan kawan-kawan mengenai keluarga. Justru sampai sekarang mereka tidak tahu tentang aku secara detail. Tapi aku kan masih punya kamu, bak. Walaupun agak gawat, dan sensitive, heeee….
Aku hanya tidak ingin merepotkan orang-orang, kau pasti tidak pernah tahu, jika aku sempat di rawat di rumah sakit gara-gara typus akhir Januari kemaren kan. Masak kayak gini harus laporan, kan udah gede, heeee…. Saat ini aku lagi bantuin teman menjadi reporter di Majalah, dan aku tak mengharapkan gaji darinya, yang kuinginkan aku hanya ingin punya aktivitas, pengalaman dan bersosial untuk mencari jaringan. Ya kau kan tahu, aku tidak aktif di organisasi manapun. Tapi kali ini, aku lagi nyari kerja yang tetap dan sesuai yang aku inginkan. Susah sih cari kerja yang cocok, tapi namanya aja usaha.
Karena untuk waktu dekat aku belum bisa pulang ke rumah, jika Farhan atau Melda mau ke Jakarta pas Liburan, ya saya tunggu. Dan yang terakhir, jika nanti kau mendengar kabar yang tak baik dan tak enak tentang aku, jangan pernah di respon secara serius. Kalau Buya dan Umma yang mendengar, saya berharap bak bisa menenangkannya. Percayalah, aku tahu mana yang baik dan yang terbaik untukku. Lagipula pergaulanku kini semakin heterogen, semua kalangan aku coba masuki, dan aku harus pintar memainkan peran. Tetap saja komunikasi, kalau ada apa-apa, okey.
Salam,
Ciputat, 20 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar