Sabtu, 22 Mei 2010

Antara aku dan Buya

Jogja, 22 Mei 2010
Kisah fiktif yang terkarang oleh seorang anak untuk ayahnya, berharap sesuai dengan isi hati ayahnya yang disayangi.

Pamekasan, 08 November 1984
Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku. Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat dan melalui proses normal. Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Novi Kamalia..yang merupakan kompilasi sumbangan nama dari kawan-kawanku. Walaupun aku tak begitu paham dengan arti yang sebenarnya, tapi aku harap kelak kau akan menjadi orang yang selalu mencari , mencari dan terus mencari akan makna namamu dan hidupmu.

1989 Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau berbeda dari kakak sulungmu. Bagaimana engkau dengan gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri saudarimu. Dengan sikap nakal dan beranimu, kadang-kadang membuatku marah dan mangkel, sehingga tak jarang, aku memukulmu hanya ingin kau tahu bahwa itu tak baik dan itu bisa mencelakaimu. Kau memang tak membalas, bahkan kau masih belum sadar, kau terus membuat kenekatan yang membuatku dan ibumu khawatir. Sebenarnya aku sangat iba melihatmu menangis ketika aku pukul, tapi aku hanya ingin kau bisa mengerti dan mengambil pelajaran dari itu semua.

1995 Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut lomba Pidato bahasa Arab di MTQ Mojokerto; itu anakku Novi ……Meski tidak juara pertama, aku tetap bangga padamu. Walaupun bakatmu ini sudah terasah sebelumnya dengan mengikuti lomba yang serupa di berbagai acara perlombaan yang diprakarsai oleh TPA mu. Selain di bidang pidato, kamu juga lihai dalam membaca syair puisi dengan air wajah yang ekspresif, sehingga kepercayaan dirimu yang tak pernah sengaja aku bangun, telah ada pada dirimu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak seperti kakakmu yang kalem dan cendrung memilik sifat-sifat perempuan, engkau justru sangat angresif, pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas.

Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman, mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku memanjat membetulkan genting yang bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti saudarimu. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering meperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengatahuan dan permainan untuk anak lelaki. Maka kadang aku tak malu, ketika kau membantu para tukang membangun masjid di samping rumah baru kita.

Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga. Engkau menolak bersekolah di Pondok Pesantren seperti saudarimu. Tapi akhirnya, kau pun mau masuk pondok Pesantren dengan segala iming-iming dariku. Tapi, setiap waktu perpulangan, aku selalu menghadap kepala sekolah lantaran harus mendengar laporan tingkah lakumu yang selalu bikin onar dan membuat semua pengurus sekolah pusing dengan kenakalanmu. Hingga membuatku malu, sebagai ayah juga sebagai publik figur.

Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau larut dalam pola pergaulan yang tak benar, anakku. Bahkan ketika kau membawa temenmu dengan pakaian yang agak ketat dan berboncengan motor bertiga, dan kamu yang menyetir, itulah puncak kemarahanku padamu. Hingga membuatku tak sadar, ingin memukulmu dan mengusirmu. Untung saja, ibumu selalu memcairkan amarahku.

Selama kita “betengkar”, aku selalu bingung dan merasa bersalah, tapi apa yang dapat aku lakukan padamu. Kenapa kau bersikap seperti itu padaku ? apa salahku ? padahal aku selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anakku, termasuk kau. Alhamdulillah, walau agak lama, akhirnya kita saling terbuka dan mengerti akan karakter dan tabiat masing-masing. Aku rasakan kau semakin sayang padaku, dengan selalu mencium pipiku yang aku anggap itu tak wajar dan membuatku malu. Tapi kau selalu berani menciumku walaupun di depan orang banyak.

2004 Tahun ini engkau menamatkan sekolahmu di pondok, walaupun aku sedikit kecewa tidak bisa hadir pada acara wisuda kelulusanmu, karena bentrok dengan pekerjaan kantorku. Engkau tumbuh menjadi gadis cantik, periang, pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota Kopassus datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil pak Haji, putri seorang kepala Depag, putri seorang yang berpendidikan tinggi... Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami. Dalam doa-doa malamku selalu kebermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku.

Pertengan tahun 2004, kau ku daftarkan kuliah di Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah dengan harapan kau bisa membuatku bangga. Bisa juara di sekolah bergengsi di Jakarta. walaupun sampai saat ini saya tetap tidak mengerti jurusan yang kau ambil;Tafsir-Hadis. Sebenarnya untuk apa kau ambil itu. Karena aku lebih tertarik jika kau ambil jurusan Psikologi atau Bahasa inggris atau mungkin juga seperti kakakmu, mengambil jurusan Syari’ah, yang sangat jelas orientasi kerjanya ke depan, sama sepertiku dulu.

Terus terang, kesibukan pekerjaanku telah menyita waktuku untuk mengamati perkembangan anak-anakku, terutama kau nun jauh di Jakarta sana. Aku tak tahu, apa saja kegiatanmu selain kuliah. Hingga kekhawatiran itu mulai timbul , ketika kau memilih untuk tak ingin merayakan Lebaran bersama keluarga di rumah. Kau malah memilih Jakarta sebagai rumah keduamu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi disana? Kenapa kau lebih mementingkan Jakarta daripada keluarga di rumah ? apa yang membuatmu begini ?.

Tahun 2006 saya mendapatkan tugas diklat kepemimpinan di Jakarta, yang ternyata dekat dengan kampusmu. Kau selalu aktif membantu keperluanku, baik pribadi maupun pekerjaan kelas. Bahkan bukan hanya aku yang kau bantu tapi juga kawan-kawan satu diklat. Pantas jika mereka, kawan-kawanku bersimpati kepadamu dan menganggapmu sebagai anaknya. Aku begitu bangga tapi juga khawatir dengan sikapmu. Entahlah, aku masih menganggapmu seperti anak kecil yang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Tapi suatu ketika, kau datang menemuiku dan mengajakku ngobrol untuk memberitahukanku bahwa saat ini kau bukan hanya kuliah di UIN Jakarta tapi juga mendapatkan beasiswa di ICAS Paramadina milik Cak Nur {Nurcholish Majid} yang aku tahu, ia lah lokomotifnya pemikiran liberal di Indonesioa. Aku hanya mengangguk dan terus mensuportmu, tapi di hati kecilku terbersit kekhawatiran yang sangat besar dengan pengaruh pemikiran yang sangat liberal. Bahkan kekhawatiran itu bertambah, ketika kau menyatakan akan meneruskan kuliah ke Negeri Paman Sam, yaitu Amerika, yang sangat Liberal.

Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan aku hanya seorang ayah yang mempunyai karakter kurang mampu berkomunikasi dengan anak. Aku hanya bisa memberikan apa saja yang kau mau. Aku tambahkan uang kirimanmu dengan harapan bisa meredam ambisimu yang sangat kuat untuk kuliah ke Amerika. Sehingga nantinya akan timbul sebuah perasaan iba dan mengerti akan keinginan dan harapanku.

Januari 2009, kau sudah lulus mendapatkan gelar sarjana. Walaupun sampai saat ini, aku tak begitu paham mengenai jurusan yang kau ambil. Memang tak salah namun, sungguh aku bingung, dengan gelar itu, kau akan menjadi apa, dan pekerjaan apa yang layak untukmu. Setiap kutanya tentang rencana masa depanmu kau selalu berapologi , “Yah, pekerjaan itu bukan tujuan atau target, tapi bonus dari perjalanan hidupku. Aku sekolah bukan untuk kerja, tapi untuk mencari ilmu dan pengalaman”. Sudahlah ! aku tak ingin memaksanya lagi, yang penting dia sudah lulus, dan segera melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu gelar megister. Betapa tenangnya hidup ini, jika mempunyai anak bergelar megister. Sungguh jika itu terjadi, dan aku belum juga mati, maka aku akan bunuh diri, karena tanggung jawab dan kewajiban ku sebagai seorang ayah sudah selesai.

Tiba-tiba kau mendekatiku dan meminta waktu untuk berbicara, bahwa kau ingin istirahat selama setahun dari hal-hal yang berhubungan dengan akademisi. Kau bermaksud untuk ke Kalimantan dan belajar Bahasa Inggris di Pare, walaupun sebenarnya aku tak setuju dengan pola pikirmu. Kau mungkin tak pernah menyadari, bahwa keinginanku untuk segera menyelesaikan kewajibanku sebagai seorang ayah yang memiliki anak lulusan megister, sehingga aku bisa focus pada adik-adikmu. Aku tak sanggup lagi untuk memahami keinginan liarmu. Apalagi jika kau tahu, bahwa masa pensiunku hanya kurang 1 tahun lagi.

Aku paham, kau mulai sadar diri. Akhir tahun 2009, kau mulai mendaftarkan diri untuk kuliah di UI Jakarta, namun ternyata, kau tidak lulus, hanya karena kenekatanmu memilih jurusan yang menyimpang dari jurusan sarjanamu, mungkin itulah sebab utama kau tak lulus. Aku memang tidak tahu bagaimana cara menenangkanmu karena kegagalanmu, namun mengapa kau menolak kuliah di UIN. Justru itu adalah solusi yang terbaik, dan aku yakin kau pasti lulus disana.

Sejak aku tak menyetujuimu untuk melanjutkan kuliah ke Luar negeri, kau semakin melonjak. Kau tak ingin melanjutkan kuliah selain di UI atau UGM. Kau semakin idealis. Kau semakin manja. Padahal sudah 2 kali kau gagal masuk di UI. Sedangkan di UGM, kau seperti tak bergairah. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, wahai putriku ? Dimana Novieku yang dulu? Tolong kembalikan !

Kini, aku semakin tak mengerti. Ketika kau kusuruh pulang ke Madura, kau selalu beralasan ada acara di Jakarta. Usut punya usut, ternyata kau terlibat dalam pementasan teater. Sungguh! Hal itu yang paling ku benci. Seni adalah musuhku. Mengapa kau terlibat dalam dunia itu ?. Apa yang kau lakukan di Jakarta ? . aku sudah tak punya keberanian dan kekuatan untuk melarangmu terjun ke dunia yang paling ku benci itu. Aku sadar, kau sudah dewasa dan bisa menentukan mana yang terbaik untuk hidupmu, namun apa salah jika aku meminta, jangan kau sentuh dunia itu !.

Bukan niat untuk memata-matai kegiatanmu di Jakarta. Namun aku sudah mendengar, kau kini semakin liar dan kehilangan arah, aku tahu kau kini berpenampilan bukan selayaknya yang ku kenal. Entah apa alasanmu namun, aku sungguh malu. Selain itu, menurut orang yang kutugaskan untuk mencari tahu tentang dirimu, kau kini jauh berbeda. Apa salah jika aku marah ? apa salah jika aku malu memiliki anak sepertimu ? . tolong kembalikan Novieku yang dulu ? anak yang paling aku banggakan .

Setiap kau pulang ke Madura, aku sadar sudah tidak ada lagi komunikasi yang harmonis antara kita. Aku lelah dan malas untuk menyapamu. Aku sudah pasrah dan tak peduli lagi dengamu. Kau mau kemana. Kau mau jadi apa. Itu sudah bukan urusanku lagi. Itulah yang menjadi kelemahanku sebagai seorang lelaki dan seorang ayah. Aku memang tak bakat berkomunikasi yang baik dengan anak. Mungkin inilah kutukan dari Tuhan, hingga mengapa aku lebih banyak memiliki anak perempuan daripada lelaki. Sedangkan yang lain tidak tahu tentang apa yang terjadi padamu di Jakarta, karena aku menugaskan orang untuk memantau kegiatanmu tanpa sepengetahuan mereka. Kau masih saja tersenyum dan berusaha bersikap manis di depanku dengan menyapaku. Aku hanya bisa diam dan terus cuek. Hingga keesokan harinya kau datang mendekatiku, “Yah, aku ingin umroh dengan Buya dan Umma. Bisa ?”.
Aku kaget, kenapa tiba-tiba kau punya keinginan itu. Tak ingatkah kau bagaimana kau sudah mengecewakanku, karena menolak nadzarku, untuk meng-haji-kan kau sebagai hadiah sarjana, sebagaimana aku lakukan juga pada mbakmu. Hingga pada akhirnya, jatah itu ku berikan pada adikmu yang baru saja lulus SMA. Namun kini, kau meminta umroh bersamaku dan ibumu….ada apa denganmu….? Aku masih bertanya-tanya. Namun itu sudah menjadi kelegaanku…..

Epilog :
“Buya, suatu saat kau akan tahu, apa yang sebenarnya terjadi padaku……izinkan saat ini aku berbohong demi sebuah kejujuran yang akan kusampaikan nanti,……. Tetaplah menjadi kekuatanku untuk tetap bertahan hidup…..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar