Rabu, 08 April 2009

Kenapa harus punya anak ?


Siapa yang tak gemas dan geli ketika melihat seorang bayi yang baru lahir. Bahkan ketika ia memiliki badan yang tembem, putih dan lucu. Tak ada pertimbangan akal seseorang ketika ingin menciumnya. Dia belum mandi atau baru saja berak, tetap saja Orang-orang selalu ingin menciumnya. Siapa yang tak bangga ketika melihat seorang balita begitu cerdas, bisa berhitung, mengenal alam sekitar dan sopan pada orang lain. Siapa yang tak gemas ketika melihat seorang balita cerewet menannyakan sesuatu yang kadang bagi kita tak begitu penting, menandakan awal terbentuknya kecerdasan. “Pa, kenapa bulan hanya malam hari adanya ?”. “Pa, besaran mana matahari sama bulan ?”. “trus, kenapa matahari dan bulan gak pernah bareng “?. “ lalu kenapa malam itu gelap?”….huh kadang kita sebel mendengarnya. Tapi selalu terbersit rasa bangga dalam diri kita, iya kan ?

Melihat Fia, putri bungsu cak Idris yang cerdas dan cerewet, membuat saya selalu ingin menggodanya. Apalagi kedua anak cak Ilyas yang gemuk-gemuk dan lucu, ingin sekali mencubit pipinya. Ketujuh anak ust. Yasin yang masih kecil-kecil, begitu nampak dewasa membela ibunya, karna dipoligami. Bang Edi begitu bangganya menceritakan perkembangan ketiga anaknya, begitu pula dengan Bang Saiban, dan bang samsul begitu lantang menjawab ketika ditanya jumlah anaknya. Kak Fathurrozi dengan kedua anak kembarnya yang begitu mensyukuri rahasia Tuhan dibalik kepergian putra pertamanya karna sakit. Bunda Yayah, istri Ust Ahmadi dengan cerita anaknya yang begitu membanggakan. Kegembiraan kak Kafrawi menyambut kelahiran anak pertamanya sebulan yang lalu. Dan tentunya, ayah saya dengan ke-empat anaknya yang memiliki karakter yang berbeda, hingga begitu berwarnya lukisan hidup ini.

Kadangkala anak menjadi penghibur ketika kita stres dan lelah dari pekerjaan. Tawa polosnya selalu membuat kita ingin menggodanya. Ketika melihat tidur lelapnya, ingin sekali memeluknya , mencium keningnya sambil bergumam dalam hati “oh Tuhan, Terima Kasih “. Anak peredam emosi dan ambisi kita. Anak juga sebagai motivasi hidup, untuk selalu melakukan yang terbaik. Semua hanya untuk anak. Apalagi ketika anak itu telah dewasa, menjadi orang yang berpresatasi, baik dalam bidang akademik, sosial maupun kegiatan eskul. Ia juara kelas, mendapatkan beasiswa ke luar negeri dan kerena kecerdasannya, ia diundang oleh presiden ke istana. Wow begitu sempurnanya hidup.

Banyak alasan mengapa orang-orang ingin memiliki seorang anak. Pertama , sebagai generasi penerus. Apalagi jika dalam konteks kerajaan dan Usaha bisnis yang besar. Dan biasanya dalam konteks ini, berbagai konflik sering terjadi dengan jenis kelamin sebagai pemicu. Tentu, anak laki-laki lebih diunggulkan.

Kedua, sebagai kesempurnaan hidup. Alasan ini saya ambil dari perkataan ayah saya, ketika beliau baru memiliki cucu. Rasanya hidup telah sempurna dan selesai ketika memiliki anak, lalu menikahkan dan kemudian punya cucu. Memiliki anak juga sebagai kesempurnaan diri sebagai manusia yang memiliki potensi tersebut. Hingga tak jarang, pasangan yang tidak memiliki anak, selalu mengambil banyak langkah, banyak cara agar memiliki anak, walaupun harus bertapa di gunung kidul.

Dan alasan ketiga , saya mengadopsi dari kawan-kawan wanitaku . ingin punya anak, hanya ingin merasakan susahnya melahirkan, menyusui dan mendidiknya. Agar kita selalu inget kepada perjuangan dan perngorbanan orangtuanya. Bisa amemiliki pengalaman yang selayaknya orangtua lakukan. Yang bagi saya , alasan ini sangat lemah dan tidak realistis.

Sekarang mari kita tengok tinjauan dari segi agama dan pendidikan, anak merupakan titipan Tuhan yang harus dijaga. Dipenuhi hak dan kewajibannya. Selalu dilindungi dari berbagai mara bahaya yang mengancam kelangsungan hidupnya. Terhindar dari perbuatan anarkis yang tidak manfaat bagi orang lain. Menghindari tindak kriminalitas yang mengacam eksistensi dirinya dalam masyarakat. Selalu mendapatkan yang terbaik, baik dalam pendidikan, kesehatan dan pendidikan moral untuk masa depannya. Karena jika kita tak bisa menjaga titipan Tuhan tersebut, maka kita bukan manusia yang dipercaya. Anak merupakan tanggung jawab yang besar. Anak merupakan manifestasi orangtua. Perilaku seorang anak mencerminkan perilaku orangtuanya. Karena mau jadi apa anak nantinya, tergantung pada orangtuanya. Dalam teori tabularasa John Lock, yang pernah diajarkan dalam ‘ilmu tarbiyah di pondok, anak seperi kertas putih yang bersih tanpa tulisan.

Lalu yang menggelitik dalam pikiran saya adalah, adakah seseorang yang memandang anak dari sisi negatifnya. Saya tidak pesimis, tapi apakah salah ketika kita memandang segala sesesuatunya dari berbagai sisi.apakah kita mampu bertanggung jawab mempunyai anak ? apakah kita siap memiliki anak.

Indonesia kini memiliki banyak krisis. Krisis ekonomi yang saat ini sedang in dengan kenaikan harga BBM yang belum jelas, krisis moral dengan meningkatnya tindak kriminalitas, baik yang korupsi, ataupun kejatahan. Krisis sosial politik, yang tidak pernah akur. Krisis mental yang menjadi akar dari semua perilaku masyarakat. Krisis agama yang menimbulkan tindak anarkisme dan fanatisme, hingga aliran kepercayaan atau agama baru menjadi alternatif terbaik yang sangat subur. Krisis pendidikan, dengan sistem gratis yang menuai hasil tidak berkualitas, dengan jargon “yang penting sekolah”.

Anak selalu menjadi korban dari ambisi orangtua. Anak merupakan proyek terbesar dalam pembangunan image orangtua. Anak merupakan tuntutan yang terbebani dengan permasalahan yang kompleks dihadapannya kelak. Kita tidak pernah menduga, seperti apa nanti masa depan. Semakin baik kah ? atau malah sebaliknya ?. anak sebagai generasi penerus, wajib memikirkan solusi dari permasalahan yang ada. Termasuk utang negara yang tak pernah beres…

Josep Landri penulis buku tentang akar kemiskinan, berpendapat, bahwa jumlah kemiskinan akan terus bertambah jika tidak diselesaikan dari sebuah keluarga. Satu orang yang miskin tidak akan dihitung dalam sensus orang-orang miskin. Karena yang akan terhitung, adalah sebuah keluarga miskin bukan satu orang miskin. Misalnya saya adalah orang miskin yang hidup gelandangan, pengangguran dan tak berpendidikan, maka saya tidak akan masuk dalam hitungan orang-orang miskin, karena saya tidak memiliki suami atau anak alias belum berkeluarga. Maka dari itu Joseph Landri, mengusulkan, jangan menikah jika keadaan ekonomi belum stabil. Jikalau tidak ‘kuat’ menahan nafsu, menikahlah tapi jangan punya anak dulu.

Di negara Perancis, terdapat gaya hidup yang begitu paradoks. Banyak pasangan suami istri memilih untuk tidak punya anak, walaupun mereka sudah menikah hampir 15 tahun. Dengan alasan yang sangat sedehana. “punya anak, ngompol, basah, lengket, bau, ribut, dan sangat egois”. “ Kau sangka murah punya anak “?. “Repotnya bukan main dan mahalnya minta ampun “. “ Di zaman edan ini kriminalitas dimana-mana, anak sangat mungkin jadi korban kejahatan. Lebih sedih lagi, sangat mungkin ia menjadi penjahat “. Itulah beberapa alasan orang-orang Perancis memilih gaya hidup seperti itu, hingga pemerintah dibuat sibuk karena jumlah penduduk Perancis merosat tajam.

Di Indonesia, kelahiran sangat begitu subur, satu keluarga bisa dan mampu memiliki 3 anak bahkan lebih. Program KB hanya diikuti oleh kalangan orang kaya dan berpendidikan. Orang-orang menengah ke bawah, beranggapan, “banyak anak, banyak rezeki”. Itulah iming-iming agama yang meninabobokan masyarakat. Poligami terus marak dan menjadi trend. Siapa yang paling banyak istri dan anak, itulah lelaki yang paling kuat.

Begitu banyak anak-anak di jalanan. Panti asuhan menjadi semakin subur. Reality show yang mengeksplore anak-anak menjadi booming dan menjadi-jadi. Seluruh stasiun televisi tak ingin ketinggalan. Idola anak di RCTI, Afi Junior di Indosiar, Cabe Tawit di TPI, Mamamia, Stardut, dll. Dengan dalih mengedepankan bakat anak sejak dini. Hal ini mengindikasikan kelemahan orangtua, yang tidak bisa mengembangkan bakat anaknya hingga harus dieksplore ke masyarakat dengan mental selebritis.

Dari infotaiment, kita kenyang menyaksikan konflik perebutan anak, deretan para selebritis tanah air tak henti-hentinya meng-update perkembangan kariernya, walaupun harus mengikuti trend kawin-cerai, hingga kak Seto dan KPAI nya menjadi sorotan utama. Lagi-lagi anak menjadi korban dari konflik orangtuanya. Psikologinya terguncang dan bisa menimbulkan suatu perilaku yang menyimpang, hanya ingin mencari perhatian orang-orang dan ingin diakui eksistensinya.

Tidak sedikit anak-anak yang memiliki keinginan dan mimpi, bertentangan dengan keinginan dan mimpi orangtuanya. Banyak anak-anak yang pasrah dan patuh pada keinginan orangtuanya, walaupun harus rela kehilangan mimpinya. Hingga wacana dan isu yang sangat mengharukan, terjadi pada hubungan antara anak dan orangtua. Tidak ada satu pun bahkan mayoritas orangtua menginginkan anaknya seperti dirinya, karna anaknya harus lebih baik dari dirinya. Hingga ia membentuk dan membimbingannya dengan cara dan metode yang telah ia persiapkan sebelumnya. Yaitu berbeda dalam didikan yang ia dapatkan sebelumnya dari orangtuanya. Dengan jaminan, didikannya akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Nah sekarang yang menjadi pertanyaan, ini semua kepentingan siapa ? orangtua atau anak ?

Ketika orangtua ingin memberi kebebasan pada anaknya, melakukan aktifitas yang ia inginkan, sangat paradoks ketika berhadapan dengan tinjauan agama dan pendidikan. Yang seharusnya melindungi dan mengarahkan pada hal-hal yang baik, tapi malah mengekang kebebasan mereka. Sekali lagi, ini kepentingan siapa ? orangtua kah ? atau anak kah ?

Terakhir, semua manusia, memiliki potensi untuk berketurunan, atau memiliki anak. Jika potensi itu yang telah diberikan oleh Tuhan tidak dimanfaatkan, maka telah mendholimi diri sendiri, bahkan ekstremnya telah mendholimi Tuhan. Tapi ketika memiliki anak, maka juga telah mendholimi anak dengan berbagai krisis dan permasalahan yang akan ia hadapi nantinya. Sekarang pertanyaannya adalah , mana yang kita pilih, mendholimi diri sendiri atau mendholimi anak ?. pasti dilematis. Solusinya kita buang saja objek masalahnya, yaitu anak.

Mengenai Tuhan, ada kaitannya dengan tujuan hidup manusia di muka bumi ini. selain sebagai khalifah, juga sebagai pembawa kebahagian dan ketenangan bagi manusia yang lain. Nah, apa yang bisa kita lakukan terhadap anak-anak jalanan dan anak-anak panti Asuhan yang termarjinalkan ? mereka ada bukan karna salah kita, tapi mereka tetap manusia yang harus kita lindungi dan kita pikirkan masa depannya.

Saya pribadi, tidak pesimis, tapi kondisi lah yang membuat saya harus berfikir berkali-kali. Kenapa harus punya anak, jika nantinya tidak menjadi solusi demi kepentingan bersama. Entah ini pikiran jiwa muda atau mungkin karna pikiran yang kalut, dan bukan berarti saya tidak ingin punya anak, tapi kalau hal ini merupakan salah satu solusi dari stabilitas permasalahan ekonomi dan sebagainya, ya kenapa harus punya anak?. Bagaimana dengan anda ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar