Rabu, 13 Mei 2009

“Antara Psikolog dan Filosof”


Saya sangat suka mempelajari tingkah laku manusia. Mengapa ia bertingkah seperti itu. Apa mortifnya, selalu aku cari jawabannya. Saya juga tidak tahu, dari mana kecenderungan itu muncul, tapi yang pasti, aku merasa tertarik akan hal ini, ketika awal masuk pondok. Ketika itu, saya tidak suka bergaul dan hanya membaca buku, kebetulan saya memiliki konflik batin dengan keluargaku, sehingga buku yang tepat menurut saya adalah buku tentang motivasi dan mengenal watak manusia.

Sampai akhirnya aku menulis tentang dampak pola asuh orangtua terhadap prilaku anak. Ketika anak bersikap seperti ini, pasti dia mendapatkan pola asuh yang seperti itu. Karena saya benar-benar menyakini bahwa prilaku anak sangat verat kaitannya dengan pola asuh orang tua. Orangtua yang overprotective akan menciptakan prilaku anak yang lemah dan tak punya prinsip. Dan seterusnya…

Ketika masuk dunia perkampusan, saya berharap bisa masuk fakultas psikolgi, tapi ternyata cahaya alquran lebih bersinar dan menghipnotisku untuk mencoba mencicipinya. Akhirnya aku masuk jurusan tafsir-hadis, tapi saya tak pernah menyesal atas semua pilihan ini, karena di Alquran justru banyak memberikan ilmu yang heterogen. Bahkan dalam masalah manusia sekalipun. Dan syukurnya lagi, saya mendapatkan beasiswa kuliah di ICAS yang lebih mengedepankan filsafat dan tasawuf.

Berkenalan dengan filsafat, membuatku terlena dan jatuh cinta. Karena apa yang ingin ku ketahui, akhirnya aku dapatkan. Dalam filsafat banyak hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia aku pelajari. Apalagi dalam filasafat manusia dan filsafat moral. Banyak istilah baru yang kukenal sampai akhirnya dapat kurealisasikan.

Banyak kawan-kawan yang bercerita tentang masalah hidupnya. Berbagai macam problem kehidupan manusia mulai menyapaku melalui kawan2ku. Tak apalah jika menyebutku sebagai tempat sampah, tempat curahan hati . yang jelas aku banyak belajar dan bersyukurnya lagi, kawan2 bisa senang dengan apa yang ku beri. Walau kadang2 mereka menganggapku terlalu serius, seperti kuliahan. Kata mereka banyak teori. Tapi mereka mengakui, apa yang kusarankan, ternyata banyak benarnya. Akhirnya mereka pun bisa menjalani hidup dengan indah. Bukan hanya itu aku bisa mempelajari hidup, juga dengan berlibur ke berbagai daerah. Indahnya perbedaan itu.

Belajar psikologi atau filsafat sangat menyenangkan, karena akan melahirkan sebuah pemahaman. Memahami adalah memaafkan, benanrkan. Aku jadi lebih tenang, lebih arif, dan lebih dewasa. Walaupun kadang emosi belum bisa kutahan. Yang jelas jika dibandingkan masa lalu, yaa aku jadi lebih tenang saja dalam menjalani hidup. Makna dewasa adalah, berani bertanggung jawab atas semua yang kulakukan, baik yang positif maupun negative. Walaupun bagiku tidak ada yang negative, itu hanya sebuah penilaian saja.

Suatu ketika, aku ikut nimbrung di majalah Qalam, milik pondokku, isinya lebih bernilai psikologi islam. Walaupun menurutku belum jelas, tapi aku coba menulis. Yang menjadi pijakan hanya mengamati prilaku manusi saja. Cukup menarik, tetapi ketika aku menulis tentang motivasi dengan segenap hati, justru dipertanyakan rujukan atau mencantumkan salah satu teori dari psikologi atau juga pendapat dari salah satu psikolog.

Aku merasa aneh, mengapa masih saja kita senang dengan rujukan atau nukilan. Bukannya itu merupakan salah satu dari kesalahan logika. Mencoba menguatkan argument saja. Alias tak independen dan tak merdeka. Kita punya akal, hati dan indera untuk mengeksplore semua ilmu. Kenapa harus meminjam teori orang lain ? apakah kita tak percaya pada diri sendiri…..?

Yang tahu diri kita adalah diri kita sendiri.iya kan ? jika da yang perlu kita share, why not ? salah atau benar itu urusan para pembaca. Menulis yang baik adalah menulis dengan hati. Tapi, aku sadar, aku masih belajar menulis, apa salahnya di diperbaiki dan dikomentari.

Yang jelas, aku suka filsafat dan psikologi…..

1 komentar:

  1. Menjadi tahu dan pintar tidak serta merta membuat kita bahagia.
    Karena bahagia adalah melepas, keterbukaan, kesediaan untuk hidup dalam ambang ketidakpastian.
    Jika demikian, kepandaian bukanlah apa-apa. Dia hanya alat untuk mempertahankan hidup karena untuk bekerja kita butuh kepandaian. Manfaat yang lain adalah membantu orang lain.

    Orang bahagia adalah orang yang murah hati dan mau menolong orang lain. Sebaliknya orang yang menderita adalah orang yang usil, "aneh-aneh", suka mengganggu, mudah terganggu, bersaing, bahkan menjatuhkan orang lain.

    BalasHapus