Jumat, 02 Juli 2010

Kenapa butuh waktu 25 tahun tuk mengenalnya ( Untuk Buya)

Ketika itu hari Minggu, satu hari sebelum aku balik ke Jakarta. Habis solat Magrib, buya mengajakku ikut hadir di acara imtihanan alias wisudaan di desa Tanjung Saronggi Sumenep, untuk menemaninya. Aku segera bergegas ganti baju dan berdandan. Tiba-tiba buya memberiku kunci mobil sambil berkata “ nih, kamu yang nyetir !”. aku masih tidak percaya, sejak SIM A-ku keluar, buya tak pernah kusupiri. Dengan tanda tanya aku menyimpan bahagia.

Buya yang kukenal adalah sosok ayah yang memiliki kelemahan berbicara secara pribadi dengan anak-anaknya, namun selama perjalanan menuju desa Tanjung Saronggi selama 45 menit, terjadilah percakapan, yang dimulai dengan candaan . dalam hati aku bergumam “ pinter juga nih buya, nyari celah buat ngobrol berdua, jangan-jangan ngajak aku , karena ini ?”

Buya : “ Apa rencanamu ke depan, Nov ?”

Aku : “ hmm sambil menunggu pengumuman S2, aku ingin nyari kerja, yah, tapi tidak yang permanen, ya semacam event, sambil nyari pengalaman.”

Buya : “ lakukanlah apa yang kau suka! Lakukanlah apa yang kau maui!. Buya percaya sama kamu, yang penting, kau tau, mana yang harus diprioritaskan !”

Aku : “ hmm, buya gak usah khawatir…. Aku sudah punya rencana. dan Maaf kan aku buya, kemaren sempat buat buya kecewa. Semua memang salahku, aku tidak sempat memberi tahu rencanaku setelah lulus, bahwa selama setahun, aku ingin melakukan
hal-hal yang gila dan aneh……namun kali ini, aku benar-benar ingin serius lagi…..!”

Percakapan terus terjadi, dari hal yang bersifat cerita lucu tentang Umma yang lagi stress mikirin noda hitam di wajahnya, hanya karena akibat dari gejala wanita yang hampir menopause, yang takut kehilangan suami, juga cerita persaingan orang kantor merebutkan kursi buya, yang tahun depan beliau sudah pensiun, sampe tentang pengalaman buya ketika kuliah dulu, yang tidak pernah diberi duit oleh orangtuanya, kecuali beliau harus bekerja sebagai guru ngaji……

Kami terus bercengkrama dan bercanda. Dan jika aku ditanya, kapan aku terakhir merasa bahagia, maka akan kujawab, ketika aku bersama buya dalam perjalanan ke desa Tanjung Saronggi. Sempat kenangan masa lalu berputar-putar di kepalaku, dimana ketika aku harus berkata “ Di rumah ini sudah tidak ada demokrasi !” pada buya sebelum aku pergi meninggalkan rumah 8 tahun yang lalu, namun aku kembali 2 tahun kemudian dan bersujud meminta maaf pada buya. Lalu teringat ketika awal tahun 2010, ketika aku harus menolak keinginan buya untuk melanjutkan kuliah namun, hari ini, kuumumkan pada semua orang, bahwa aku mencintai buya…..

Setelah sampai di pertigaan desa Saronggi, kami bertemu dengan rombongan dari Sumenep, yang kebetulan bawahan buya. Lalu kami berangkat bareng dengan dua mobil menuju desa Tanjung di Saronggi. Setelah sampai di tempat, saya memarkirkan mobil dan keluar menuju tempat acara bersama-sama…..

Wah ! aku tidak pernah menyangka jika kami disambut dengan meriah ! kami disambut dengan pertunjukkan drumb band para siswa-siswi Mts Tanjung. Lalu kami di kalungi bunga, kemudian kembang api mulai bertebaran di langit. Masih terpana dengan semua itu, kami di giring beberapa gadis cantik dengan tarian daerah Madura menuju tempat duduk paling depan yang sudah disediakan oleh panitia. Setelah duduk, mataku silau dengan cahaya camera, sampai-sampai banyak para ibu-ibu yang meminta anaknyayang masih TK dengan kostum daerah untuk foto bareng dengan buya… waduh ! ternyata buya adalah sainganku,… !

Lalu kami disajikan dengan penampilan-penampilan dari siswa-siawi RA, MIN dan MTS. Hingga sampai pada waktu acara inti yaitu acara wisuda. Buya di persilahkan untuk maju ke atas panggung untuk menyilangkan tali toga para wisudawan-wati. Selang 47 menit, buya turun panggung setelah foto bersama dengan para wisudawan.

Tiba giliran buya untuk berpidato, setelah ketua panitia dan kepala sekolah memberi sambutannya. Ketika buya beranjak berdiri, semua orang yang duduk di bagian depan, juga ikut berdiri, namun aku tetap duduk, karena masih termenung dan terpana.
Dengan bahasa yang lugas, tegas dan tepat, buya berpidato selayak bung karno, setiap 10 detik, suara riuh tepuk tangan para undangan begitu menggema, hingga tanpa sadar, aku pun mengikutinya. Dan diakhir pidatonya, semua undangan bertepuk tangan sambil berdiri. Aku hanya celengak-selenguk ke kanan dan ke kiri, lalu ikut berdiri. Ku lihat ibu muda yang berdiri di belakang samping kanan ku, menangis sambil tersenyum, begitu juga dengan bapak tua yang berada di samping kananku dengan jarak 2 orang mengusap air mata bahagianya,karena namanya selalu tersebut dalam pidatonya buya..
Buya kemudian turun dari panggung dan semua orang berebutan bersalaman dengannya. Untung panitia segera bertindak. Setelah duduk dan minum air yang ada di atas meja, buya memberi isyarat pada bawahannya untuk pulang, karena jarum pendek di jam tangan, sudah nongkrong di angka 11.

Kami pun beranjak pulang, namun masyarakat tetap berebutan untuk bisa bersalaman dengan buya, hingga aku dan rombongan yang lain harus di kawal menuju mobil, namun buya tetap tersenyum dan melambaikan tangan pada masyarakat. Panitia segera memintaku untuk membuka bagasi mobil, untuk meletakkan bingkisan untuk buya. Ku buka pintu tengah, dan menyuruhnya untuk meletakkannya di situ saja. Wah ternyata semua hasil bumi desa Tanjung memenuhi mobilku !.

Ku jemput buya di pintu masuk yang terlihat masih bercengkrama dengan panitia dan pemilik sekolah. Kemudian buya berpamitan dan masuk mobil tepat di sampingku. Lalu kami pun balik pulang ke rumah di Pamekasan, setelah berpisah dengan rombongan yang dari Sumenep di pertigaan Saronggi.

Tiba-tiba hujan turun deras dan sepertinya buya mengantuk. Namun sebelum beliau memejamkan mata, sempat terdengar suara yang pelan “ pelan-pelan aja, gak usah ngebut !”. kuikuti saran buya sambil melirik dan tersenyum ke arah sosok ayah di sampingku. Pikiranku mulai gatal dan mengamuk. Rasanya aku ingin sekali memeluk buya, namun tak kuasa. Lalu aku berteriak dalam hati pada Tuhan

“ Tuhan, mengapa butuh waktu 25 tahun untuk menyadarkanku, bahwa aku adalah seorang putri dari ayah yang hebat. Ayah yang pernah menyuruhku menghitung jumlah tiang listrik di jalanan saat aku mulai mengantuk, ketika aku duduk di bagian depan, diatas motor cowok zaman dulu, saat bepergian keluar kota, yang waktu itu aku masih berumur 4 tahun. Ayah yang selalu mengunci dan melarangku keluar dari kamar saat ujian akhir sekolah dasar. Ayah yang mengetikkan teks pidato saat aku ikut lomba MTQ di Mojokerto saat aku berumur 10 tahun. Ayah yang selalu percaya padaku, ketika aku berada di tempat yang asing. Ayah yang memanggil namaku ketika acara wisuda sarjana telah usai dan mencium keningku di depan banyak orang di atas panggung. Ayah yang hingga saat ini merasa nyaman ketika kupeluk di saat tidur. Ayah yang tidak pernah memberitahukan kondisiku pada umma, ketika aku kecelakaan dan berada di rumah sakit di Jakarta 3 tahun yang lalu, karena beliau tahu, dampak yang terjadi apabila umma tahu. Ayah yang pernah cemburu ketika aku lebih memilih teman daripadanya, saat memilih untuk berlibur. Ayah yang tidak pernah mengatakan kata ‘tidak’ ketika aku meminta apapun padanya.”

“ Tuhan, kau tepat sekali memberiku seorang ayah. Bagian tubuhnya yang mengalir dalam tubuhku, menjelma sebuah kekuatan yang mewujud menjadi cinta yang tulus. Darinya aku belajar bagaimana untuk tidak mengatakan kata ‘tidak’ pada semua orang. Darinya aku meniru bagaimana beliau bersikap hingga di cintai banyak orang. Terima kasih Tuhan, Kau mengenalkan buya sebagai manusia seutuhnya. Karena selama ini yang kukenal hanya sebagai ayah yang penuh canda ketika bertemu dengan cucunya, dan suka mencandai umma dalam hal apapun. Terima kasih Tuhan, kau masih memberiku waktu untuk memeluknya, menciuminya, membahagiakannya, membanggakannya, dan membuatnya tersenyum… sekali lagi, terima kasih Tuhan, kisahku tidak seperti yang dialami oleh temanku, yang baru mengetahui sosok ayahnya sebagai manusia, ketika beliau meninggal, dengan melihat ribuan orang ingin mengantar jenazahnya…….”
_________________________
Buya ….
Terima kasih cinta dan ketidakromantisanmu, kau persembahkan untukku.
Terima kasih kejutan-kejutan yang kau berikan untukku
Terima kasih kepercayaan yang kau limpahkan untukku
Adakah lelaki sepertimu untukku ?


Puri Intan, ciputat, 30 Juni 23.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar