Jumat, 02 Juli 2010

Surat Cinta Untuk Lelaki bermata Kelinci …….. ( 7 )

Cinta. Ketika itu tepat jam 18.23 menit, hujan deras membasahi kota kelahiranku, aku langsung tersentak dan tanpa berfikir panjang segera ku ambil kunci mobil yang tergantung di pintu dapur. Ku nyalakan mesin mobil dan melaju ke pantai. Hanya 35 menit dengan kecepatan 80 km, aku tiba di pantai dan memarkirkan mobil tepat dimana terakhirnya ombak berlabuh. Hari semakin gelap , hujan masih deras dan ombakpun terus memainkan orchestranya dengan keras. Aku masih diam dan menunggu. Aku yakin ia pasti datang, karena kutahu, ia tak pernah mengingkari janjinya, meskipun aku harus menunggu.

30 menit sudah berlalu, namun aku tak menyerah. Aku masih menunggu. Aku yakin ia pasti datang. Aku hanya harus bersabar. Itu saja. Aku tak akan lelah meski aku harus menyandarkan punggung dan kepalaku di kursi, dan membiarkan mataku terpejam sedangkan mulutku tak berhenti berzikir ” Kau pasti datang… kau pasti datang… kau pasti datang….”.

Saat kuhela nafas pengharapan, tiba-tiba aku merasakan hembusan angin yang begitu sejuk, dan aku tahu, bahwa aku harus membuka mataku dan menyambutnya. Kutatap ia yang berada tepat di samping kiriku. Aku terus tersenyum, tersenyum dan terus tersenyum. Tak segan ku lebarkan mulutku beberapa centi, lalu kuperlihatkan gigiku sambil menganga kecil dengan tetap pada konsep senyum… kubiarkan mataku terus berbinar dan pipiku merona, agar pesan kebahagian yang tersimpan di balik wajahku, bisa ia baca. Aku masih tak bisa mengeluarkan kata satupun padanya, hingga akhirnya ia berkata :

“ Sudahlah, kalau kau ingin menangis, menangislah !”.

Tiba-tiba tangisku pecah menyaingi suara deras hujan dan ombak. Ku coba menahan tangis namun sesegukan kemudian muncul di balik suaraku. Kujatuhkan kepalaku di atas setir mobil untuk menyimpan suara tangis yang tak bisa lagi ku control. Aku malu mendongak dan melihat wajahnya. Namun rasa tanya terus memaksaku untuk berbicara padanya .

Aku : “ Tuhan, apa memang harus begini ?”.

Tuhan : “ Iya, karena itu memang jalannya. Kan sudah kukatakan sejak dulu padamu, jika suatu hari kau temukan cinta, jangan kau terima sebelum kau tersiksa dan terlunta-lunta karenanya”.

Aku : “Haruskah dengan derita baru menemukan cinta ?”

Tuhan : “ Setidaknya begitu. Dalam peleburan penantian yang sia-sia, gelisah yang menguras logika, keceriaan yang maya, dan pengharapan yang mencabik-cabik “.

Aku : “ Sedalam apa aku harus tersiksa?”

Tuhan : “ Nov, penantian, kegelisahan dan pengharapan yang kau alamatkan pada satu nama , ternyata masih menyisakan pamrih dalam alurnya. Kau masih berharap ia akan membalas cintamu, dan itulah pamrihnya. Padahal cinta yang seharusnya kau bangun, adalah cinta tanpa syarat atau tanpa imbalan apa –apa “.

Aku : “ Iya, sudah kulakukan semua itu, Tuhan. Aku hanya mencintainya saja. Tak lebih ! “

Tuhan : “ Bohong ! “. Tuhan meninggikan suaranya. “ Kau sudah melakukan kebohongan paling besar!. Kau tahu ? Lebih baik kau bohongi semua orang daripada kau bohongi dirimu sendiri !. inilah yang membuatmu tersiksa ?”. Suara Tuhan semakin tinggi dan
aku hanya bisa diam.

Tuhan : “ Kau tahu, bagaimana rasanya dicintai dengan kepentingan ?. Banyak manusia yang mencintaiku hanya karena kepentingan, bukan kerena memang mereka mencintaiku dengan tulus. Mereka hanya ingin masuk surga, atau bahkan mereka hanya ingin agar aku bisa membalasnya dengan mengabulkan semua keinginannya. Hufh ! Rasanya sakit, Nov…….. tapi apa aku layak marah ?. Aku hanya ingin katakan padamu, bahwa memiliki itu adalah bonus dari cinta, bukan tujuan “. Aku hanya menjadi pendengar dan terus menatapnya dengan lirih.

Aku : “ Lalu aku harus bagaimana ?”

Tuhan : “ Sekarang aku ingin bertanya padamu, mengapa kau masih ingin bertahan mencintainya? “

Aku : “ Aku…. Aku … aku….aahh “. Tuhan masih menunggu jawaban dariku dan terus menatapku. “Aaaa ….. ku… aa ku.. hanya…. Ingin membuatnya bahagia. Ya… ya … bahagia.. bahagia, Tuhan .. aku ingin dia bahagia…..”. aku begitu bersemangat menjawabnya, namun Tuhan mengeleng-gelengkan kepala dan menatapku penuh selidik lalu tersenyum kecut…

Tuhan : “ Halah… bahagia ? kau ingin membuatnya bahagia ?”

Aku : “ Iya… bahagia”.

Tuhan : “ Hmm… bahagia ? “. Tuhan menjetok kepalaku dan aku berseru ‘aww’. Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya, “hey…. aku hanya ingin memberimu satu saran, jika kau ingin dia bahagia, maka tinggalkan dia !”. Spontan aku terkejut dan matakupun terbelalak…

Aku : “ Apa ?! meninggalkannya ? maksudmu ?, aku harus menghilangkan cinta ini ? dan membongkar semua cinta yang sudah kubangun untuknya ?”

Tuhan : “ iya, begitulah !”

Aku : “ Aku masih belum mengerti, apa maksudmu, Tuhan ? meninggalkannya adalah suatu hal yang tak mungkin aku lakukan. Lebih baik aku murtad jika harus menghilangkan cinta yang perlahan-lahan kuciptakan dengan indah dan sempurna. Mengapa kini kau menyuruhku untuk…….. aarrgggghhhh, aku tak mengerti .” Aku menatap ke depan dan menggerutu sendiri.

Tuhan : “ Percayalah padaku, suatu saat nanti kau akan mengerti “. Aku masih tak peduli, bahkan aku pun tak tahu, Tuhan telah pergi meninggalkanku sendiri. Tanpa kata. Tanpa jawaban. Tanpa suara.

Aku menghela nafas panjang dan membenci diriku. Tiba-tiba dadaku sakit dan sesak. Aku terus bernafas dan bernafas, namun aku merasakan sesuatu yang memaksa dalam diriku untuk keluar dari mobil. Aku berlari menerobos hujan dan ku teriak pada laut…

“ Cintaaaaaaaaa..!!!! aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu. ………! Namun aku tak punya kuasa melawan Tuhan. Katakanlah ! apa yang harus aku lakukan ???”

To be continued…..

Veteran, Pamekasan 24 Juni 2010. 20.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar