Selasa, 20 Juli 2010

Sendiri ? siapa yang salah ?

Deras hujan telah berlalu, hanya tinggal rintik air yang tak sanggup menyapa tubuh. Aku tetap berjalan menerobos macetnya daerah Condet, Jakarta Timur yang padat merayap. Suara adzan isya’ masih terdengar sayup di keramaian kota. Setan dan malaikat terus berdebat mengusik pikiranku. Apakah aku harus latian malam ini ?, apakah aku harus ke bulungan ?, aahhh tubuhku memang tak lelah, namun mengapa aku merindukan kamarku. Merindukan kesunyian. Merindukan kegelapan. Merindukan suara kecoa yang menetap di dapurku.

Jalanan masih basah, dan aku ingin menutup telingaku karena suara debat 2 makhluk imajinasiku yang tak kunjung usai. Kubelokkan motor shogun yang kumiliki 7 tahun yang lalu menuju tempat latihan. Namun aku hanya mengintip dan tersenyum pada sahabat yang kurindukan sambil bergumam dalam hati, “ hey, maaf aku telat. Aku kehujanan. Hari ini aku tak ingin latihan. Aku ingin istirahat. Baik-baik lah kalian disana”. Mereka hanya tersenyum, dan mengangguk seakan paham apa yang ada di benakku. Aku pun berlalu mengambil motor dan pulang ke rumah.

Kuletakkan semua begundal diatas meja ruang depan. Lalu kudekati makhluk bersegi empat 17 inc yang berada di ruang tengah. Kunyalakan dan kurebahkan tubuhku di atas karpet kasar. Sedikit ku atur nafasku perlahan. Dan ku mulai menyeleksi kaset DVD, film mana yang ku tonton malam ini.

2 jam berlalu. 4 jam berlalu. 6 jam berlalu… tak terasa 3 film sudah ku lahap. Dan kulihat jarum jam kecil di dinding sudah santai nongkrong di angka 4. Ohh ternyata sudah pagi. Ku putuskan untuk mematikan TV dan membiarkan kamarku gelap. Tanpa suara. Tanpa bunyi. Kurebahkan tubuhku dan ku biarkan bantal berada tepat di punggungku, hingga kepalaku jatuh dan mendongak ke atas. Namun mataku masih saja tak bisa terpejam. Nafasku masih menderu. Hingga akhirnya tangisku pecah dan berteriak pada Tuhan

“ Oh Tuhan….! Siapa yang harus aku salahkan?. Apakah karena orangtuaku terlalu percaya padaku, hingga semuanya, aku putuskan sendiri. Termasuk hidupku. Aku mau kemana. Aku mau jadi apa. Semua aku yang putuskan. Mereka bukan tidak peduli. Bukan pula tak sayang. Mereka hanya begitu percaya padaku, bahwa aku mampu mengatasi semua persoalan hidup ini. Ya…ku akui, aku memang meninginginkan itu. siapa sih yang tak senang jika dipercayai. Apalagi di percayai oleh orangtuanya. Tapi apakah aku salah jika aku ingin menangis….. “.

“Oh Tuhan…..! Apakah aku juga akan menyalahkan filsafat. Ilmu yang mengenalkanku pada teori pragmatisme komunal. Yang tidak pernah mengizinkan aku untuk merepotkan orang lain hanya dengan sekedar berbagi keluh kesah. Yang melarangku untuk menceritakan gejolak emosiku, hanya khawatir, hal itu justru akan membuat masalah baru bagi orang lain. Aku benci dengan keterjebakan ini pada paham, yang dengan sadar aku memilihnya. Yang membuatku tak kuasa untuk menyapa orang dengan sekedar ber-sms atau menelpon. Aku benci harus menahan sesak yang tak berkesudahan dengan kesendirian. Lalu apakah aku salah jika aku ingin menangis….?”

“ Oh Tuhan….! Apakah pantas aku menyalahkan keadaan ini ?. yang membuatku ingin selalu sendiri. Di kamar yang menyimpan misteri kesendirian. Kondisi yang menciptakan pola pikir untuk beranjak dari keramaian. Kondisi yang membuat jurus kabur sebagai jurus terampuh untuk menghindar dari kebisingan. Kondisi yang memaksaku untuk lari dari konflik hidup. kondisi yang menarikku untuk menghindar hedonism dan pragmatism hidup. kondisi yang lelah…. Kondisi yang letih,…. Yang membuatu rindu akan kesendirian. Aarrgghh… apakah masih salah jika aku ingin menangis ..?”

“Oh Tuhan ….! Mereka tak salah. Semua tak ada yang bersalah. Bahkan buku-buku yang berjajar rapi di rak ruang depan. Juga koleksian kaset DVD yang tersusun rapi di box….”

Aku terdiam sejenak.. dan bangit dari telentangku. ku ambil posisi pojok kamarku dan duduk dengan memegang lutut kaki yang menekuk. Aku mengangguk perlahan sebagai tanda paham dan mendapatkan jawaban. Perlahan aku berkata dengan kuat tanpa teriak

“ya… aku paham Tuhan….. benar-benar mengerti.. ini semua adalah salahmu. Mengapa kau ciptakan aku sebagai manusia yang suka menyerah sebelum berperang?. Mengapa kau ciptakan aku sebagai manusia yang mengalah sebelum mencoba?. Mengapa kau ciptakan aku sebagai manusia yang tak memiliki ambisi dan mimpi?. Mengapa kau ciptakan aku sebagai manusia yang hanya bisa mengangguk dan tersenyum?. Mengapa kau ciptakan aku sebagai manusia yang hanya bisa bersyukur dan berterima kasih?. Mengapa kau ciptakan aku sebagai manusia yang berani menghardikmu…?”

“ Oh Tuhan….. jangan biarkan aku sendiri. Sini! Mendekatlah ! aku kedinginan! Peluk aku Tuhan! Jangan biarkan aku sendiri ! jangan biarkan aku sendiri ! jangan biarkan aku sendiri! Jangan biarkan aku sendiri!”.

Dengan tetap menekuk lututku, aku masih menggerak-gerakkan badanku, kedepan dan ke belakang dengan lembut. Kedua tangaku masih setia memejam mataku sambil mengapus air mata yang tak mau berhenti. Mulutku tak mampu berhenti berzikir menyebut kalimat “jangan biarkan aku sendiri!”. Hingga kusandarkan badan dan kepalaku ke dinding dan berusaha jatuh dan rapuh. Aku masih diam membisu. Perlahan aku tersenyum dan bergumam “ Tuhaaaaannn… aku lelah…. Aku mengantuk…. Bolehkah aku tidur di pangkuanmu ? dan tolong, peluklah tubuhku! Aku kedinginan !”.

Edisi gila 19 Juli 2010 antara senen dan selasa. Kutulis pula di rabu yang pagi…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar