Minggu, 28 November 2010

Award Untuk bak Khodijah…

“Jika ada award dengan kategori ' Manusia baik-baik' maka yang pantas menerimanya adalah orang yang sadar dan paham, bahwa apa yang (akan) ia lakukan tidak baik untuk dirinya, namun baik untuk orang lain dan orang banyak.”





Masih teringat di benakku, satu hari sebelum saya berangkat ke Jakarta, di tahun 2004 yang silam, saya sempat menghadiri acara pernikahan seorang teman yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Ia adalah bak Khodijah. Ia termasuk wanita yang mungkin dalam konteks Madura, sudah telat untuk menikah. Jarak umur kami yang lumayan jauh, yaitu 14 tahun, tak membuat kami merasa canggung dan segan untuk berbagi. Sudah sering aku menanyakan padanya , “kapan nikah, bak ?”, namun jawabannya selalu ada, “Aku belum menemukan laki-laki yang tepat untukku, yaitu laki-laki yang lebih pintar dariku, nanti pasti aku hubungi kamu deh, jika aku menikah, dan kau harus hadir !”, meski dengan nada canda dan agak narsis, namun nampak serius.



Tepat di hari pernikahannya, aku datang membawa kado dan senyuman, karena kulihat lelaki yang ada disampingnya adalah lelaki yang begitu cakep dan sempurna. Putih, tinggi, bak artis film. Kulihat dari kejauhan, terpancar rona kebahagian dari ke dua wajah mempelai ketika menyalami tangan para undangan, dan aku hanya bisa bergumam dalam hati, “ Selamat bak.. semoga bahagia”. Dan keesokkannya aku langsung ke Jakarta.



5 tahun kemudian setelah aku mendapatkan gelar sarjana, aku meminta izin ayahku untuk menjadi ‘gila’ selama setahun sebelum melanjutkan kuliah. Maka kuhubungi dua sahabatku yang juga ‘gila’ untuk bertemu di jogja. Kenapa harus Jogja ? karena dulu aku pernah mencintai lelaki yang begitu mencintai Jogja, meski tak tinggal di Jogja.



Seminggu, kami benar-benar ‘gila’ hingga akhirnya 2 sahabatku harus balik ke Malang dan Surabaya untuk melanjutkan aktifitasnya. Namun aku masih memilih untuk tinggal sementara waktu sekedar menghirup udara Jogja di setiap sudutnya. Dengan hanya bermodalkan kamera, note dan bolpen, aku menjelajahi kota Jogja bak turis. Sampai suatu ketika tanpa sengaja, aku bertemu seorang wanita yang sepertinya aku kenal dekat. Aku mencoba menyapa dan menatapnya, dan wanita itu terkejut bahagia, “ Novie…!!”. Aku langsung memeluknya dengan haru, “ bak khod…..”.



Iya, aku bertemu dengan bak Khodijah, ia mengajakku untuk singgah di warung makannya yang terletak tidak begitu jauh dari dimana kami bertemu, meski harus menggunakan andong. Kemudian kami pun terlibat dalam obrolan panjang yang tak ada hentinya. Tawa dan canda terus menjadi bumbu obrolan kami hingga akhirnya datanglah seorang laki-laki dan seorang balita yang kira-kira berumur 4 tahunan. “ Nov, ini suamiku dan anakku.”, begitulah bak Khod memperkenalkan suami dan anaknya. Dan kami ber-empat terlibat asyik dengan obrolan yang hangat. Ku lihat dari bagaimana cara suaminya memadang bak Khod ketika berbicara, nampak ada cinta yang begitu dalam. Tiba-tiba tangan suaminya mengelus paha bak Khod yang duduk di dekatnya, tanpa malu bak khod berkata padaku dengan menggunakan bahasa Madura, agar suaminya tak mengerti, “ yaahh mulai deh Nov, gini nih… kerjaannya ?”. aku semakin bego’ dan tak paham membaca makna dari sikap dan omongan bak khod. Dengan kenyitan dahi yang kutampakkan, bak Khod pun kembali berkata, “biasaaa…. Ngajakin tidur ! pahamkan maksudku??”. Aku paham tapi masih bego’. Dan kulihat bak khod membentak suaminya, “ sudah dong mas ! malu tuh ada Novie “. Namun si suami tetap saja tersenyum memandangi bak Khod. Kemudian bak Khod menyuruh suaminya pulang untuk mengantarkan makanan ke rumah mertuanya.



Sambil memangku anak lelakinya, ia kembali tersenyum dan tertawa melihat kebodohanku yang terus terdiam, “ Sudahlah ! tak perlu kau berfikir. Meski kau tak bertanya aku akan bercerita….” Bak khod menghela nafas panjang namun tetap tersenyum.



“Maafkan aku Nov yang tak sempat bercerita perihal suamiku sebelumnya. Meski dia anak orang terhormat dan orangtuanya mempunya posisi penting di kota Jogja ini, namun sebenarnya ia mengalami kelainan. Ia sedang sakit. Stress akut. Bahkan sangat akut. Dia memang pintar. Di kuliahnya ia mendapatkan IPK tertinggi. Namun ia bisa mendapatkan IPK tertinggi karena tuntutan orangtuanya, terutama ibunya. Ia dipaksa untuk pinter, hingga akhirnya ia stress. Dan salah satu jaringan saraf otaknya putus, sehingga dokterpun tak bisa mengembalikan ke-’normal’annya.”



“ Itu terjadi sebelum kau menikah kan bak ?”



“Iya, dulu aku kan sempat mengajar di pesantren ibunya, dan itulah awal aku bertemu denganya. Sejak Awal bertemu, dia sudah stress. Ngomong ngalor ngidul. Yang tak perlu di omongkan, malah diomongkan. Ketika itu, aku hanya menjadi pendengar setianya saja. Tapi ternyata kedekatan kami justru membuatnya semakin sembuh dan emosinya terkendali. Sampai akhirnya, sang ibu datang melamarku untuk mau menjadi istrinya ?”



“kau menerimanya, bak ?”. aku langsung menyerbu dengan tak sabar



“ Ya gak lah…aku malah balik ke Madura. Namun setiap hari , mas selalu menelponku dan mengatakan bahwa ia begitu merindukanku dan merasa kehilangan. Hingga akhirnya, ibunya datang ke rumahku, di Madura dan mengabarkan bahwa kesehatan mas, semakin buruk. emosinya mulai tak terkendali. Semua barang di rumahnya di hancurkan dan sering berkeliaran dengan telanjang bulat. Ibunya memohon padaku untuk kembali ke Jogja dan mau menikahinya.” Bak Khod menghela nafas panjang dan sesekali ia tersenyum



“Lalu bak ??”



“ Yaa setelah aku piki-pikir dan berkonsultasi dengan banyak orang, akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengannya , toh menikah itu kan ibadah, Nov”.



“ Apakah bak bahagia ?”, bak khod malah tertawa kencang tiada henti.



“ Bahagia ? .. haaaa…. Bahagia..? saking bahagianya aku tidak tau apakah itu bahagia atau malah penderitaan “



“ Maksudmu, bak ?” bak khod kembali terdiam dan menerawang



“ Entahlah.. apakah aku salah jika harus bercerita padamu, Nov. tapi aku hanya ingin bercerita padamu saja. Aku tak tahu harus bercerita pada siapa lagi.”



“ Ceritakanlah bak !”, bak khod kembali menghela nafas dan memandangku dengan senyum



“ Aku ga tau harus berbuat apa. Kau tahu ? meski aku sudah menikah dengannya dan emosinya mulai stabil, namun ke-stres-an mas ku justru belum stabil ketika kami berhubungan badan. Nafsunya meluap-luap bak monster. Kadang satu hari bisa 10 kali ia memintaku untuk melakukan seks. Aku tak kuasa, Nov. aku hanya mengiyakan saja. Hingga saat ini, aku tidak tahu apa itu klimaks. Apa itu kepuasan. Mau kutolak ajakannya?, ia malah membanting-banting barang. Mau diajak komunikasi ?, yaaa… kau tau sendiri lah. Mana mungkin nyambung.”



“ wah itu namanya kekerasan, bak. K D R T. bahkan bisa jadi penyiksaan.” Aku pun menjadi geram



“Iya, aku tahu. Tapi masa’ harus ku laporankan ? bisa-bisa malah aku yang ditertawakan. Beginilah resiko nikah dengan orang stress. Meski ada cinta diantara kami, tapi terasa hambar”.



“ Tapi orang stress ga bakal selingkuh kan bak ?”. aku mencoba bercanda agar tak tegang



“ Kata sapa ga selingkuh ?”



“Hah !!”, bak khod kembali tersenyum dan terdiam



“ Waktu itu, aku menyuruh mas untuk menjaga dan mengawasi warung, karena aku harus ke pasar. Dan kubawa juga anakku. Sepulang dari pasar, mas mendekatiku dengan nafas yang tersenggal-senggal dan keringat yang membanjir, ‘ dek…! Dek..! aku baru saja bercinta dengan wanita ! ‘ , mas terus bercerita padaku dengan detail, bagaimana ia membuka baju wanita itu. dan mencoba memasukkan penisnya. Sementara badanku seakan kesetrum oleh sengatan listrik dengan tegangan yang sangat tinggi. Aku duduk dengan lemas. Dan mas masih saja mengeracau tanpa peduli padaku. waktu itu aku ingin mati, Nov. hanya saja aku sadar, anakku masih ada di pangkuanku. Terakhir ku tahu, bahwa wanita itu adalah pembantu baru yang tinggal tidak jauh dari warungku”. Aku langsung berdiri dan memegang kepalaku seraya mondar mandir, kekanan dan ke kiri. Sambil membuang nafas agar sesak di dada tak lagi menggrogoti tubuhku. Hufh



“ Sudahlah Nov! kenapa kau mondar mandir ? aku jadi pusing melihatmu ! duduk lah! Lagi pula ini terjadi sudah 2 bulan yang lalu”. Aku mendekati bak Khod, dan kembali duduk sambil memukul meja dengan geram.



“Ga bisa bak ! ini ga bisa dibiarkan! Bak harus lawan ! gak bisa hanya diam kayak gini ! ini gak adil !” aku kembali berdiri dan memegang kepalaku sambil mengatur nafas.



“ Yaaa aku harus gimana, Nov ? katakan!!!”, suara bak khod semakin meninggi sementara matanya pun memerah menahan air mata. “ Kau kan sudah tahu tentang kondisi suamiku. Dia tidak normal. Tidak seperti kita. Mau diajak bicara dengan cara apa lagi ?!. pernah kukatakan hal ini pada mertuaku, tapi mereka malah menyalahkanku, bahwa aku tak becus menjaga suamiku. Dan semenjak itu, ibu mertuaku selalu menimpali kekesalannya padaku. aku bukan lagi dianggap sebagai menantu, tapi sebagai pembantu…?!!!!”



“ Cukup bak ! cukup ! ga usah kau teruskan ! “ aku semakin geram dan tak kuasa mataku mulai merah dan basah. Aku duduk kembali dan menunduk sambil memegangi kepalaku. Perlahan ku pandangi wajah bak khod dengan menggelengkan kepala. “ Tidak bak ! kau tidak perlu begini ! “, bak Khod hanya bisa tersenyum sambil berdiri mengoyang-goyangkan anaknya yang mulai tak bisa diam.



“ Inilah kekuatanku,Nov “ sambil melihat anak lelakinya yang terus merengek dan bak Khod masih berusaha mendiamkannya.



“Bak… !apa sih makna hidup, bagi bak ?”. suara ku mulai lelah dan melemah sedangkan bak Khod masih bisa tersenyum sambil memandangiku..



“ Hmm,, aku sudah tidak hafal lagi makna hidup, Nov. yang penting orang-orang di sekitarku bisa tertawa bahagia, itu sudah membuatku bahagia “.



“ bahagia ???”



“iya, ! minimal aku bisa bertemu denganmu saat ini “. Bak khod kembali tersenyum sambil menyeka air matanya. Kemudian ia menawari masakan brongkos yang ia bikin sendiri padaku. aku masih saja terdiam memandangi bak khod yang berlalu menuju dapur. Terasa di dada ku sedang bergemuruh tak tenang. Dan keesokan harinya aku pergi meninggalkan Jogja dan kembali ke Jakarta dengan harapan yang indah bisa membuat bak Khod bahagia kelak.



Gunuk, 28 Nov 2010. 13.36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar