Senin, 29 November 2010

Pak Imron yang Kukenal..

Nama lengkapnya adalah Imron Rosyidi. Dia adalah ayahku. Dulu saya memanggilnya ‘Abi’ namun ketika lulus dari pesantren aku mengubahnya dengan panggilan ‘Abuya’, dan disingkat dengan ‘Yah’, dengan asumsi biar lebih keren dan terlepas dari bahasa Arab. Seakan-akan aku memanggilnya dengan panggilan ‘Ayah’. Sampai sekarang beliau tidak tahu kapan tepatnya beliau lahir, itulah mengapa beliau mencantumkan tanggal 1 Januari sebagai tanggal lahirnya. Dan ternyata beliau tidak pernah menduga bahwa tanggal itu, akan mempercepat waktu pensiunnya. Karena tepat tanggal 1 januari 2011 besok, beliau sudah pensiun.
Dari pengakuan Umma, atau ibuku, Buya adalah sosok laki-laki yang cerdas dan berwibawa. Nampak ketika beliau sedang berpidato di depan orang banyak, semua orang nampak terpukau bak sukarno yang menghipnotis dan kadang membuat banyak orang tertawa. Bahkan menurut sopir pribadinya, Pak Shofi, meski buya memiliki wajah yang menyeramkan dan tak pernah senyum, tapi beliau sangat lembut. Ditambah lagi dengan pengakuan salah satu bawahannya, bahwa di balik kedisiplinan dan ketegasannya, buya dikenal sebagai sosok yang lucu dan penuh candaan. Yel-yel yang sering buya keluarkan adalah “ Jika bisa dipermudah, buat apa di persulit”.
Namun aku sebagai anaknya sangat sangsi dan ragu terhadap pengakuan semua orang tentang Buya. di hadapanku, buya adalah sosok laki-laki yang pendiam. Bahkan cenderung malas ngomong. Kalau dia ingin mengatakan sesuatu padaku, yang lebih serius, pasti melalui umma. Kecuali hal-hal yang bersifat perintah, “Nov ! mobilnya di cuci !” , “ Nov ! tolong lantainya di pel !”, dll.
Pernah suatu ketika, buya marah pada adikku, Farhan karena ketahuan pacaran , padahal ia masih sekolah SMA, “ Kalo kamu ga mau mutusin, biar buya yang mutusin !”, begitulah ancaman buya, sedangkan Farhan hanya diam, begitu juga dengan semua penghuni rumah. Tak ada yang bersuara. Tiba-tiba aku nyeletuk “ Yah, jangan sama kan zamannya buya dan zamannya Farhan, dong!”, buya langsung berlalu meninggalkan rumah. Dan di malam hari, umma mendekatiku dan berkata, “ Kamu ga usah bela-bela Farhan, buyanya ga suka”. Aku hanya diam.
Cerita yang lain, dimana ketika itu buya marah besar padaku, gara-gara aku menyetir motor dengan menggonceng dua teman wanitaku, “ panggil umma !” begitu perintahnya. Setelah aku memanggil umma dan menceritakan apa yang telah terjadi, umma hanya berkata , “ Pokoknya kamu diam saja ! ga usah banyak ngomong! Ngerti !”, aku hanya mengangguk. Namun aku jadi gelisah dan tak sabar, sebelum buya mengakhiri amarah dan ceramahnya, saya langsung berdiri dan pergi balik ke Pesantren. Setiap buya dan umma datang menemuiku, aku selalu menghindar. Sehingga buya mengutus semua orang untuk mendatangiku, termasuk kedua kakakku yang sedang bersekolah di Malang untuk menyuruhku meminta maaf pada Buya. namun ternyata tidak mempan. Aku memilih untuk tetap bertahan. Hingga adik dan pembantuku juga tidak luput menjadi utusan buya untuk merayuku agar bisa berdamai dengan beliau. Suatu ketika pembantuku berkata, “ Sudah dong bak! Ga usah kayak gini ! tau ga ? Buya setiap malam seperti orang stress. Mondar mandir mengelilingi rumah, hingga umma pun berkata,’sudahlah bi !, ngapain mikirin Novie, belum tentu Novie mikirin sampean’. Sebenarnya bak ini maunya apa ? aku juga ikutan stress ngeliatin buya kayak gitu “. Lama aku berfikir dan merenung, akhirnya aku datangi buya. kami sama-sama saling berpandangan tanpa kata selama 1 jam. Lalu beliau berlalu masuk kamar. Semua orang di rumah, ikut merasa tegang.
Lain halnya dengan cerita dimana ketika aku meminta izin untuk mengikuti program beasiswa ICAS Paramadina, sementara aku tercatat sebagai mahasiswa UIN semester 3. Lagi-lagi buya hanya diam dan berlalu. Beberapa hari kemudian, Sebelum aku ingin balik ke Jakarta dan pamit pada Buya, buya beranjak sambil berkata, “Umma nya mau ngomong dulu!”. Umma yang juga berada di ruangan itu sedikit kaget, lalu kukatakan dengan suara yang keras agar buya mendengar, “ Mah, bilang sama buya, kalo buya yang mau ngomong, jangan pake orang lain!”. Aku duduk dengan santai menunggu reaksi buya, kemudian buya keluar kamar dengan mendekatiku. Dengan tanpa memperlihatkan wajahnya, buya berbicara padaku yang intinya, beliau melarangku untuk ikut program beasiswa agar tak mengganggu kuliahku yang di UIN. Namun yang menarik olehku, adalah suara gugup dan bergetar serta kalimat-kalimat yang terus diulang-ulang oleh buya. jika tak salah beliau mengulang kalimat yang sama hingga 8 kali. Dengan masih tak menampakkan wajahnya padaku. beliau terus menunduk….
Pernah suatu ketika, kami dikondisikan berada dalam satu mobil. Hanya berdua. Sepanjang perjalanan kota Sumenep menuju kota pamekasan, yang mungkin menghabiskan waktu selama kurang lebih 1 jam. Kami tiba-tiba menjadi bisu. Tanpa suara dan tegang. Tak sedikitpun kami mengeluarkan huruf, apalagi kata dan juga kalimat.
Diam dan diam. Tanpa kata. Dan tanpa bicara. Lucunya ketika aku mengantar buya untuk mencukur rambutnya di Jakarta, yang ketika itu, beliau sedang mengikuti pelatihan selama 2 bulan di dekat kampus UIN. Tiba-tiba setelah selesai mencukur rambutnya beliau kaget karena mendapatkan pijatan dahsyat dari si pencukur rambut, yang tidak biasa beliau dapatkan di Madura. Nampak terlihat dari kaca, mimik wajahnya spontan berubah ketika mendapatkan pijatan dahsyat itu. namun lagi-lagi kami tetap diam. Padahal ku harap buya bisa memberikan komentar mengenai pijatan tadi.
Jika aku menelpon buya, beliau langsung memberikan hp-nya pada umma, “ nih umma, ngomong sama umma nya aja!”. padahal aku ingin berbicara dengan beliau. Hingga sekarang buya masih tidak terbiasa biacara padaku. dan kemaren ketika aku memutuskan untuk tidak memilih melanjutkan kuliah di UIN, buya langsung menyuruh kakak iparku untuk bicara serius denganku. aku hanya bisa tersenyum tapi kadang merasa sedih.
Aku tahu buya tak benci padaku. karena mbak dan adik perempuanku juga diperlakukan yang sama. Usut punya usut ternyata buya memang tidak pernah bergaul dengan perempuan. Beliau memiliki 9 saudara yang semuanya laki-laki, kecuali adik yang paling bungsu, yaitu perempuan. Bahkan konon, beliau menikahi umma, karena ancaman nenekku yang ingin bunuh diri karena hingga umur 28 tahun,, buya belum punya keinginan untuk menikah. Hanya berjarak 1 bulan, setelah bertemu dengan umma, yang kebetulan teman adik perempuannya, beliau langsung menikah tanpa proses pacaran.
Umma kadang bercerita tentang masa lalunya, dimana awal pernikahannya. Buya, baginya adalah seorang suami yang tak romantis. Buya tidak tahu bagaimana memperlalukan perempuan. Yang beliau hafal dan paham, hanyalah bekerja, mengabdi, dan melayani masyarakat. Pernah suatu ketika, buya tidak pulang ke rumah. Umma menjadi bingung dan khawatir. Dan ketika buya pulang keesokan harinya, beliau hanya berkata tanpa merasa berdosa “ aku dari luar kota, diajak pak kepala mengunjungi desa!”. Ingin rasanya umma marah namun, umma yang dikenal sebagai wanita yang suka memedam perasaan, memilih untuk diam dan tetap tersenyum.
Cerita tentang buya juga aku dapatkan dari kakaknya yang paling tua, yaitu Pak Mahmud, yang saat ini sebagai tokoh Muhammadiyah Pamekasan. Beliau-lah yang dulu membiayai kuliah buya . “ Dulu ayahmu itu, selain kuliah, juga menjadi penjaga toko, untuk sekedar menambah pemasukan biaya hidupnya. Aku kan hanya membiayai kuliahnya saja, sedangkan untuk hidupnya, ya dia harus cari sendiri. Jadi… wajar kalo ayahmu itu ga gaul apalagi romantis. Dia itu paling takut ketemu perempuan. Pernah suatu ketika ayahmu itu muntah-muntah, gara-gara ngeliat seorang ibu muda yang sedang menemani anak kecilnya berenang, dengan pakaian yang agak terbuka, hingga lipatan panyudaranya keliatan”. Wadoh ! segitunya toh.???
Seringkali aku lontarkan padanya sebuah candaan yang lumayan serius pada buya, “ tahu ga yah ? Buya itu sadar ga sih?, kalo Tuhan telah mengutuk buya dengan memiliki 3 anak perempuan, sesekali punya anak laki-laki namun seperti perempuan. Hidup buya itu dikelilingi oleh perempuan. Makanya yang romantic dikit, yah!!!”
Akhirnya aku tahu, mengapa buya selalu diam jika bersamaku. Dan nampak tegang juga deg-degan ketika tiba-tiba aku mencium pipinya. Kadang aku usil, mengiriminya sms yang berbunyi, “ Buyaaa…. I love you, sungguh sangat sangat sangat sangat mencintaimu”. Dan tiba-tiba keesokan harinya, beliau mengirimiku sms yang bertulis “ silahkan cek rekening anda !”. haaaa…… inilah salah satu caraku untuk meminta duit pada buya.
Hal yang paling terindah yang kudapatkana dari buya, adalah ketika aku wisuda di UIN Ciputat, setahun yang lalu. Waktu acara telah usai, semua orang dan para wisuda berebutan pintu untuk segera menemui keluarganya di luar. Namun tak sempat aku menjangkau pintu keluar, tiba-tiba terdengar suara dari mikrofon memanggil namaku, “ Pemberitahuan, diharap kedatangannya saudari Novie Chamelia, ke podium sekarang juga!”. Awalnya aku tak peduli, namun teman-teman meneriakkan namaku. “ Nov, di panggil tuh !”. aku sedikit heran, kok tiba-tiba aku di panggil, ada apa ya ?. dengan menerobos lautan manusia, aku menuju podium, tampak sesosok laki-laki berjas hitam, berdiri di dekat MC, aku tersenyum padanya dan langsung memeluknya. Tiba-tiba buya menciumku dan berkata , “ Selamat ya”. Spontan semua orang yang ada di bawah, langsung bersorak, “huuuuuuu” sambil tepuk tangan. Malu dan bangga tercampur menjadi satu di wajahku….” Makasih yah”.
Kemaren buya ke Jakarta untuk menemui seorang anggota dewan. Aku pun mengantarnya. Setelah pertemuan itu usai, aku mengajak buya untuk makan ayam bakar paling enak di jakarta, yaitu di Ganthari Bulungan Blok-M. ternyata buya belum berubah. Beliau sibuk dengan makanannya dan memilih tak bicara denganku. sampai akhirnya aku mengatarnya ke Bandara, dan kami pun belum berbicara. Hingga sebelum beliau masuk ke dalam Bandara, aku berteriak padanya
“ Yah ! tanyalah sesuatu padaku, hingga kau tak diam lagi !”. buya mendekatiku
“ Kamu sehat kan ?”
“He’eh”. Ku jawab sambil mengangguk
“Kalo begitu, jagalah dirimu baik-baik!”
“Tanyalah yang lain, yah!”
Buya tersenyum dan pergi. Namun 5 langkah kemudian beliau berbalik dan berkata padaku , “ Buya bahagia dan bangga, karena kau menjadi anakku”. Kemudian beliau masuk ke bandara dan aku masih mematung sambil menahan tangis bahagia…. Makasih yah itu adalah kalimat paling romantis yang pernah kudengar darimu….
Gunuk, 29 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar