Kamis, 28 Oktober 2010

Aku Rindu dengan sangat

Entah tiba-tiba aku kangen buya dan umma. Ingin rasanya kurebahkan kepalaku di pangkuan umma. Dan memanja pada buya untuk memijatkan kakiku. Hem… aku jadi teringat pada masa lalu. Dimana aku merasa terasing di antara kuluargaku.
Sejak kecil, sebelum aku masuk TK, aku sudah merasakan keterasingan. Kuakui aku memang nakal dan tak mau mendengarkan apa kata buya dan umma. Disuruh tidur, malah main. Disuruh beli-beli ke warung, malah duitnya buat jajan. Tak jarang, aku mendapatkan pukulan dari buya atau dari umma. Bukan karena aku nakal, tapi kadang hanya sebagai pelampiasan saja. Ketika buya sedang kesal atau umma sedang tertekan, pasti akan memukulku. aku yang ketika itu masih kecil, tidak tau apa-apa, hanya bisa mengaduh dan menangis. Dan yang masih ku ingat hingga sekarang, aku pernah mengatakan pada diriku sendiri dibawah payung sebagai komponen dari rumah-rumahan yang kubangun di atas atap rumah, bahwa aku berjanji tidak akan menangis lagi. Janji…!
Hari demi hari, perlakuan buya dan umma padaku tak berubah. Bahkan aku pernah dianggap bukan sebagai anaknya yang ketika itu buya memperkenalkan aku sebagai ponakannya pada teman lamanya. Aku tak marah bahkan tak sedih. Malah aku jadikan ini sebagai lelucon. Tiba-tiba dengan angkuhnya ku panggil buya dan umma dengan panggilan om dan bibi. Mereka menolak dan menyuruhku kembali memanggilnya buya dan umma. Dan aku hanya bisa tersenyum mengejek.
Meski aku sudah beranjak remaja,dengan prestasi yang gemilang sebagai bintang kelas dan dengan selalu menjurai perlombaan , aku masih saja diperlakukan kasar oleh buya dan terutama umma, karena buya sibuk bekerja dan aku selalu bersama umma. Kadang ketika aku sedang asyik menonton TV dengan tawa yang lepas, tiba-tiba umma melempar alat masak padaku dari belakang. Aku begitu kaget dan mencoba bertanya, tapi umma semakin marah dengan alasan, bahwa tawaku begitu keras hingga membuatnya malu pada tetangga. Aku hanya diam tak bisa melawan, meski tak ada tetangga yang datang ke rumah untuk complain.
Saking seringnya aku mendapatkan perlakukan seperti itu, akhirnya aku menjadi terbiasa. Setiap umma dan buya marah, aku hanya tersenyum dan mengembalikan barang yang dilempar padaku pada tempatnya atau memberikannya kembali pada buya atau umma. Begitu juga dengan airmataku, sepertinya sudah kering, bahkan enggan untuk keluar.
Hingga aku beranjak dewasa, yaitu ketika aku sudah menjadi mahasiswi, umma dan buya belum berubah. Itulah mengapa aku jarang dan malas untuk pulang kampung. Meski mereka menyuruhku pulang di saat lebaran dengan berbagai alasan, aku hanya bisa mengatakan bahwa aku tak dapat tiket dan merasa disini lebih nyaman. Hingga peristiwa yang terjadi setahun yang lalu membuatku tau apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika itu saat buka puasa bersama. Tanpa angin dan hujan, tiba-tiba umma menyiram wajahku dengan segelas air aqua. Aku benar-benar kaget. Begitu juga buya dan semua keluargaku. Semua menjadi diam. Ingin rasanya marah dan menangis, tapi aku tahu ini akan memperburuk keadaan, maka aku memilih untuk tertawa…. “ haaaa… ternyata umma masih kurang duit THRnya, buya. Tambahin lah yah….!” Semua tertawa dan mulai sibuk kembali menikmati ta’jil .
Ingin rasanya aku lari dan keluar dari rumah itu untuk menangis sekencang-kencangnya. Mengapa masih terjadi ? aku yang selama ini banyak mengalah mengapa belum ada hasilnya. Apa salahku ? ada apa dengan aku ? tolong katakan salahku ? aku hanya ingin tahu ? mengapa kakak dan adik-adikku tidak diperlakukan seperti itu juga ? kenapa ?. aku hanya bisa menangis di kamar mandi. Dengan alasan sakit perut dan mencret, agar bisa lebih lama di kamar mandi. Aku tak mungkin lari. Aku sudah sarjana. Aku sudah punya ilmu. Jika aku lari atau marah, aku merasa malu sama ilmuku. Akhirnya aku bersikap biasa seperti tak ada masalah apa-apa.
Aku tahu, setiap umma dan buya marah atau memukulku, mereka merasa menyesal dan ingin meminta maaf padaku, dengan salah tingkah yang kadang membuatku ingin tertawa. Karena tingkahnya seperti anak kecil yang sedang merayu orangtuanya untuk membelikan ice cream. Dan aku pun hanya bisa tersenyum dan mendekati mereka dengan manja.
Aku kembali ke Jakarta. Memulai rencana hidup yang baru. Bersosialisasi dengan orang-orang baru. Hal itu membuatku senang dan selalu ingin bersyukur. Aku mencoba pengalaman baru. Bekerja. Main teater. Menari. Dan berorganisasi. Hingga akhirnya aku sadar seakan kepalaku kejetok. Seandainya umma dan buya tidak memperlakukan aku dengan keras, mungkin aku tak akan mampu melewati semua ini. Aku bisa tegar. Aku bisa mandiri. Aku bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku bisa belajar menghargai. Aku bisa tertawa setiap saat. Aku bisa berani memilih dan bertanggung jawab atas pilihanku. Itu semua karena buya dan umma.Kadang aku berfikir, mungkin benar apa yang dikatakan oleh Lao Tse, bahwa kesedihan yang diterima sejak dulu, adalah harga yang harus di bayar demi kebahagian yang akan didapatkan kelak.
Oh Tuhan….! Aku benar-benar bahagia. Hingga lebaran kemaren, aku berniat untuk pulang kampung karena aku sudah merindukan keluarga besarku. Selama perjalanan, aku jadi berfikir sambil menghibur diri, bahwa wajar aku selalu menjadi tempat pelampiasan amarah buya dan umma. Karena jika itu terjadi pada kakak atau adik-adikku, maka ceritanya akan menjadi lain, karena mereka bertiga suka ngambek, sensitive, dan mudah menangis. Haaa…. Aku jadi ingin cepat-cepat tiba di rumah.
Di rumah aku bertemu dengan semua keluargaku. Umma mulai sibuk memasak makanan kesukaanku setiap hari. Buya tak henti-hentinya mengajakku untuk ikut mendampinginya dalam berbagai acara formal dan dengan bangga memperkenalkan aku sebagai anaknya pada semua orang.
Tapi aku jadi merasa aneh. Sepertinya aku merasa asing. Hingga suatu ketika, aku, umma dan buya berada di satu mobil menuju kota Pamekasan dari kota Sumenep. Buya duduk di sampingku di bagian depan. Aku yang menyetir mobilnya, sedangkan umma di bagian tengah. Kami diam. Lalu aku berkata :
“ Mah..!, aku jadi kangen sama pukulan umma, deh. Kangen juga dilemparin ulekan. Dan kangen dimarahi, haaaa……..”. Sambil tersenyum aku hanya bisa memandang ke arah depan agar konsentrasi menyetir. Tanpa kusadar, saat ku lihat buya yang ada disampingku, sedang mengusap airmatanya, Lalu kudengar suara sesegukan dari belakang. Kulihat dari kaca tengah yang ada diatas, umma menutup wajahnya. Dan tanpa kusadari juga, aku pun ikut menagis. Kami pun sibuk dengan tangisan masing-masing tanpa kata sedikitpun. Lalu buya memecahkan kebisuan diantara kami dengan berkata :
“ Maafkan buya dan umma ya… ! sudah kasar dan keras padamu. Bahkan pernah tidak peduli padamu dengan menganggapmu bukan sebagai anak buyaa dan umma. Kau ingin tahu kenapa kami berbuat seperti itu ?”
“ Iya yah…, ini yang aku tunggu sejak lama. Kenapa yah ?”. buya melanjutkan pembicaraannya.
“ Dulu, ketika ummamu sedang mengandungmu. Kami belum siap punya anak lagi setelah baru 6 bulan melahirkan kakakmu. Kondisi perekonomian keluarga saat itu masih semrawut. Apalagi emosi buya dan umma belum stabil. Buya yang saat itu hanya memikirkan pekerjaan tanpa memperdulikan keluarga, membuat ummamu merasa tertekan. Sempat ada keinginan untuk menggugurkanmu, karena saat itu kau masih belum genap 3 minggu di kandungan ummamu. Namun kami mengurungkan niat, karena bagi kami anak adalah anugerah. Tapi ketidaksiapan mental kami untuk punya anak lagi belum hilang. Hingga akhirnya kau lahir. Entah kenapa setiap melihatmu, buya dan umma merasa benci dan ingin memukulmu. Kami sadar, kami salah. Itulah mengapa kami selalu merasa menyesal ketika habis memarahimu atau memukulmu. Apalagi kau tau sendiri, kau adalah anak yang lebih tegar dibandingkan saudaramu yang lain. Mereka lebih sensitive dan mudah ngambek. Tapi kamu…..?, kamu malah tertawa dan tetap tenang. Maafkan buya dan umma ya ….!!”. aku masih saja menangis. Dan masih ku dengar suara sesegukan umma di belakang. Aku mulai tak sabar, maka kuhentikan mobil dan memarkirkanya di sebelah kiri. Aku langsung memeluk buya dan mengatakan kata maaf dan kata terima kasih secara bergantian dan berulang-ulang. Umma membelai kepalaku dari belakang sambil mengusap airmatanya.
“ Makasih yah.. makasih mah…. Karena buya dan umma, aku bisa kayak gini sekarang.. “kucium tangan umma dengan khidmat dan lama. Umma masih saja membelai kepalaku dan berkata
“ Justru, kami berubah karena kamu. Sikapmu yang selalu mengalah. Sikapmu yang selalu tertawa. Sikapmu yang selalu tenang yang membuat kami malu pada diri kami sendiri. Selama ini kami sudah tidak adil terhadapmu. Kamu selalu membuat kami bangga dan bahagia. Itulah yang membuat kami sadar akan kesalahan kami selama ini. Maafkan umma ya….!” Kami bertiga terus menangis dan tertawa. Dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kami.
Hingga saat ini, rasanya aku selalu ingin pulang ke rumah. Ingin bertemu dengan buya dan umma. Ingin tidur di pangkuan umma dan di pangkuan buya…. meski rasa khawatir menghegemoni rasio umma dan rasa panik yang luar biasa menggrogoti rasio buya, aku tetap sayang mereka…
Tuhan….! Jagalah mereka sebagaimana kau menjaga Muhammad…..! saya mohon dengan sangat. Karena ini adalah doaku……

Gunuk, 29 Oktober 2010. Jam 02.19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar