Kamis, 28 Oktober 2010

Bukannya aku tak mau menghubungimu…..tapi,

Tiba-tiba seorang kawan baru, menegurku karena tak pernah mengiriminya sms atau bahkan membalas sms nya. Aku hanya bisa berapologi singkat dan ia pun memakluminya meski sebenarnya aku telah berbohong. Kejadian ini mengingatkanku pada peristiwa yang sama 3 tahun yang lalu ketika kakak kelasku yang sudah kuanggap sebagai keluarga, menegurku dengan alasan yang sama. Jangankan hanya teman atau bahkan teman yang baru kukenal, keluargaku saja pernah menanyakan hal yang sama, “Nov, ! memang susah ya kalo nulis sms ?”, dengan nada menyindir.

Karena bagiku ini bukan hanya teguran tapi juga kesalahan yang harus ku perbaiki, maka aku memutuskan untuk menjalani terapi khusus secara intens untuk mengirimi sms dan membalas sms. Sungguh mengapa aku harus menjalani terapi hanya untuk urusan yang sangat sepele ini. Bagiku ini juga kebiasaan buruk yang harus segera ku tinggal. Maka tanpa komando, aku berniat untuk terapi.

Selang beberapa lama aku menjalani terapi ini, namun terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam diri saya. Tiba-tiba ada sesuatu yang justru membuatku merasa tidak tenang, gelisah dan ragu. Hingga akhirnya aku melakukan identifikasi terhadap penyebab keraguan yang muncul. Dan ternyata, aku tidak boleh memaksakan diriku sendiri untuk melakukan sesuatu yang memang tidak aku sukai. Aku merasa telah membohongi diriku sendiri. Bahkan telah membunuhnya dengan lembut. Aku menjadi kehilangan diriku sendiri dan merindukan diriku yang dulu. Kini, aku harus berani mengambil keputusan lagi, bahwa aku tak bisa melakukan apa yang diinginkan teman-teman dan keluargaku , karena itu bukan diriku ! titik !

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa dan darimana sikap ini datang. Mengapa aku begitu malas dan tak peduli untuk mengirim sms atau sekedar membalasnya?.

Lama aku mencoba memahami diriku dengan mencari dan meraba sambil mengkomparasikan dengan ilmu yang kudapat dari teori filsafat, sosiologi, psikologi bahkan sambil menonton film. Hingga akhirnya aku tahu, bahwa apa yang terjadi padaku adalah hal
yang wajar dan normal. Beberapa jawaban yang kudapatkan adalah,

Pertama, saya adalah bagian dari keluarga yang memang memiliki kebiasaan tidak suka banyak bicara. Ayahku adalah seorang pria yang tak romantis. Jangankan untuk nelpon atau sms, bicara pun mengenai hal-hal yang menyangkut masalah keluarga atau yang berhubungan dengan rencana masa depan, tidak pernah di bicarakan dalan forum yang terbuka. Apalagi ibuku, ia adalah seorang wanita yang punya hobi memendam emosi dan masalah tanpa harus bicara ketika masalah itu terjadi. Namun jika semuanya sudah tuntas dan terselesaikan, ibuku baru menceritakannya padaku tentang semua masalah yang telah terjadi. Dan ada kekompakkan dalam diri ayah dan ibuku, yaitu sama-sama gaptek. Mereka tidak tahu cara mengirim sms dan menelpon dengan HP. Sehingga saya dan saudaraku yang lainlah yang harus aktif dan agresif untuk menghubungi orangtua kami.

Kedua, saya adalah penganut paham Pragmatisme komunal. Ini adalah salah satu konsep dari filsafat moral, bahwa setiap orang yang tertimpa masalah harus mencari solusi secepatnya, namun tanpa harus melibatkan orang lain atau bahkan merugikan orang lain. Saya berasumsi, jika saya mengirim sms atau menelpon dengan sekedar menyapa, khawatir akan menimbulkan masalah baru bagi orang yang ku kirimi sms atau yang ku telpon. Jangan-jangan ketika itu, dia, (orang yang ku kirimi sms atau yang ku telpon ) sedang mengalami masalah, atau sedang menghadapi masalah, dan bisa jadi sedang tidak ingin dihubungi. Itulah mengapa aku tak ingin memulai ……

Dua alasan itulah yang juga membuatku malas untuk ngobrol tentang hal-hal yang sifatnya pribadi atau sesuatu yang tak perlu menjadi konsumsi publik, kecuali curhat 4 mata. Dan itu pula yang membuatku malas untuk chat di FB atau di YM.. maaf ya… apalagi yang belum ku kenal…hem

Apakah aku harus terapi lagi atau tetap menjadi diriku sendiri ?

Petogokan, 30 Agustus 2010 21.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar