Kamis, 28 Oktober 2010

Endang (bukan) Cucu (nya) Kartini

Ini kisah tentang Endang. Salah satu sahabat terdekatku yang memberiku inspirasi dan pelajaran hidup yang begitu sederhana dan bersahaja. Selama 6 tahun bersekolah, saya dan Endang selalu satu kelas. Ia tidak pintar juga tidak bodoh, tapi cerdas. Cerdas dalam berkehidupan dan cerdas dalam bergaul. Yang kutahu ia tidak punya musuh, karena senyuman dan kesabarannyalah yang membuatnya ia diterima di semua kalangan. Tanpa kepentingan apapun, ia selalu menjadi penengah, termasuk ketika aku selalu berselisih pendapat atau bersitegang dengan kawan lainnya, hanya untuk mempertahankan ideku dalam pementasan drama atau teater. Endang adalah sahabatku yang tak pernah mengeluh dan menuntut.

Setelah aku lulus sekolah Menengah, aku mendengar kabar bahwa Endang memilih untuk tinggal di Pesantren sebagai guru sekaligus mahasiswi. Padahal ia termasuk orang yang memiliki potensi dan interest dalam petualangan. Maka kemudian aku bertanya padanya tentang alasan mengapa ia justru memilih hidup di Pesantren, mengapa ia tak mencoba untuk melanjutkan kuliah di luar pesantren?. Lalu ia menjawab, “Karena aku ingin sekolah tapi tak punya uang, by”. Jawaban Sahabatku yang masih memangilku aby ini, seakan menjetok kepalaku, bahwa hidup memang harus sederhana, yaitu sesuai dengan realitas.

Aku yang tinggal di Jakarta tidak begitu intens bergaul atau minimal mendengar kabarnya yang ada di Madura. Hingga suatu ketika, ujug-ujug aku mendengar bahwa ia telah menikah dengan pria pilihannya, yang sama-sama menjadi guru di Pesantren. Padahal yang kutahu, selama kami sekolah dulu, ia tidak begitu tertarik dengan isu lelaki. Aku dan kawan-kawan lainnya yang selalu meng-up-date tentang kabar lelaki, baik itu hanya isu ataupun sekedar cinta monyet tak mempengaruhi prinsipnya, bahwa ketika itu, ia ingin focus sekolah. Ya, aku hargai itu, tapi aku juga kaget mendengar kabarnya bahwa ia telah menikah mendahului aku. Dan aku hanya bisa mengucapkan selamat, semoga bahagia dan kuliahnya juga bisa segera selesai.
Belum lama kemudian aku mendengar kabar, bahwa ia saat ini tinggal di Bekasi di rumah keluarga suaminya. Dan aku pun tak sabar untuk datang melihatnya. Namun sebelum aku sampai di rumahnya, salah satu sahabatku yang juga menjadi guru di Pesantren memberiku kabar tentang motif kepindahan Endang beserta keluarganya ke Bekasi , yang ketika itu ia sedang menyelesaikan program KKN-nya. Kabar itu begitu mengejutkanku, namun tak mengurung niat ku untuk sekedar melihat kabarnya di Bekasi.
Aku bertemu dengannya, dan juga keluarganya. Ia tak berubah sama sekali. Senyumannya masih indah seakan memberikan energy positif padaku. Ia menyambutku dengan gembira, hingga ia keluarkan semua kaleng-kaleng berisi berbagai macam kue, padaku. Ia bercerita tentang kawan-kawan tanpa ada koma. Kebahagiaan yang ia pancarkan padaku membuatku tak berani untuk mengkonfirmasi kabar buruk tentangnya yang baru saja aku dengar dari kawan yang lain. Dan akhirnya aku pulang.

Setahun kemudian aku bersua lagi dengan Endang di acara reuni suaminya di dekat Rumahku dan diteruskan di Puncak. Ia mengajakku turut serta ke Puncak hanya untuk sekedar menemaninya dan membantunya mengusir jenuh ketika suaminya sibuk bersama teman-temannya. Waktuku yang begitu banyak bersamanya, hanya menjadi pendengar saja. Hingga akhirnya kesempatan yang kutunggu-tunggu mulai muncul. Ia mulai bercerita tentang masalah yang menimpanya hingga akhirnya ia harus pindah ke Bekasi. Air mata yang beriringan dengan senyum indahnya membuatku harus mendekapnya dan mengelus pundaknya sambil bertanya,” Mengapa kau tak memberitahukan hal itu padaku ? kau tak pernah sendiri. Kau masih punya aku dan kawan yang lain. Mengapa kau memilih menanggung masalah berat ini sendirian ?”. ia tetap menunduk sambil menyeka air matanya yang tak pernah kering. Ia diam sejenak dan menghela nafas panjang, kemudian ia menatapku, “Maafkan aku by, bukannya aku tak ingin berbagi. Aku hanya tak ingin merepotkan orang lain dengan masalahku. Aku tahu masalah ini menjadi ricuh dan buruk. Dan aku lebih memilih untuk diam dan sembunyi, hingga masalah ini berakhir. dan sekarang, masalah itu telah usai. Dan aku tak pernah menolak atau menghindar untuk menjelaskan masalah ini yang sebenarnya pada siapapun yang bertanya”. Lagi-lagi jawaban sahabatku ini membuatku bangga dan terharu. Spontan buluk kudukku merinding kegirangan.

Bukan hanya itu, ada perkatannya yang juga membuatku tercengang bahkan tersadarkan, yaitu ketika kami berenang bersama di Puncak. Aku yang hanya memakai celana ukuran ¾ dan kaos berlengan pendek dan dia memakai celana panjang, kaos berlengan panjang plus jilbab. Aku yang melihatnya sedikit gerah, lalu kusarankan saja untuk melepas jilbabnya dengan alasan biar gak ribet. Toh walaupun orang-orang melihat kami, itu suatu kewajaran, karena kami sedang berenang. Lalu dia hanya tersenyum sambil menatapku dengan nakal, “ Aby..Aby… kau sudah lupa ya , aku ini bukan Endang lagi tapi sudah menjadi nyonya Sanusi. Istri suamiku. Mungkin jika aku masih single, aku pun juga tidak ingin berenang selayak mau kuliah. Lengkap banget. Iya kan ? tapi inilah yang dinamakan komitmen by, ketika kita memilih untuk menikah dengan pria pilihan kita, maka secara otomatis, kita juga harus siap dan menerima segala konsekwensinya. Kau tahu lah, suamiku kan seorang ustadz….”, ia masih tertawa mencibirku dan aku yang masih sewot segera melemparkan air dengan tanganku ke wajahnya.

Itulah Endang, sahabatku yang tidak pernah menceritakan keburukan siapapun. Meski orang yang pernah memfitnahnya atau yang pernah mendholiminya. Ia juga tidak pernah mengeluh. Ia hanya bisa tertawa dan tertawa.

Kemaren ia menghubungiku dan berharap aku bisa main ke rumahnya. Karena sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya lagi. Mungkin sekitar 8 bulan kami tak bertemu. Aku pun meng-iya-kan ajakannya karena aku pun juga begitu merindukannya. Maka acara weekend ku isi dengan bertandang ke rumahnya.

1 jam ku lalui hingga tiba di depan rumah kontrakannya yang begitu sederhana. Kuparkirkan motorku di halaman depan. Endang yang mendengar suara motorku, segera keluar dari rumahnya, meneriakkan namaku dan memelukku. Tak kuduga, ia memelukku dengan erat sambil menangis tersedu. Aku kaget dan berusaha melepaskan pelukannya. Tapi ia masih saja memelukku sambil berkata dengan isak, “Aku kangen by. Aku kangen kamu. Aku kangen teman-teman. “ ia masih saja terisak di pundakku, hingga suara anak kecil yang berumur kira-kira 2 tahun menyebut kata “ummi” di balik pintu. Dan Endangpun segera melepaskan pelukkannya, lalu menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya sambil menggendong Gabril, Anak semata wayangnya.

“ By, karena kamu suka kuliner, maka aku buatkan kamu makanan special khusus buatanku sendiri”. Endang segera membawa makanan dari dapur dan menyajikan untukku. Aku hanya mengangguk dan segera mencicipi makanan tersebut. Sambil menggendong Gabril, anaknya, ia terus menatapku dengan kebahagian.

“Cerita dong by, ! cerita kabar teman-teman, kabar teh Lena, kabar Kak Mita, Kak Mia, Ipeh , Susan , bal blab la blab la bla ………………..”.

“ Aduh, satu-satu dong ! emangnya saya bagian Informamsi apa ? “ sambil mengunyah , kurebahkan badanku di kasur yang ia siapkan untukku. “nanti pasti aku ceritakan kabar mereka, tapi sekarang, ceritakan dulu kabarmu.! Suamimu mana ?”
“Suamiku lagi ngajar by, jadi aku hanya sama Gabril disini. Kabarku baik-baik saja, hanya saja, aku kangen sama teman-teman. Kadang aku ngerasa sendirian disini. Aku ingin bertemu dengan teman-teman. Suamiku gak pernah melarangku untuk bertemu dengan teman-teman, tapi…. Aku gak bisa motoran by, kalo naek angkot, bakal lama dan capek. Lagipula aku kan sudah punya Gabril. Gak enak kalo ninggalin di rumah neneknya. Jadinya aku hanya bisa minta kamu, by untuk ke rumahku saja”. Tiba-tiba ia mulai memelukku lagi dan tersedu. Tanpa sadar aku pun ikut menangis.

“Sudah ah !” aku melepaskan pelukannya dengan kasar.” Jangan bikin aku nangis lagi ! yang penting aku sudah disini , iya kan….?” Aku tersenyum sinis dan Endangpun juga tersenyum sambil menyeka air matanya.

“ Makasih ya by..” .
Kemudian kami makan bersama dan tak ada hentinya melepas rindu dengan sekedar ,menggosip kabar teman-teman yang lain…..
---------------------------------
NB : jika ada yang ingin main ke rumah Endang, atau ingn menghubungi Endang silahkan telpon ke nomer 087850914756

Gunuk, 08 Oktober 2010, (sambil menonton pemilihan Puteri Indonesia di Indosiar )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar