Kamis, 28 Oktober 2010

Mengingat Mbah Maridjan

Mengingat ?. Mengingat itu adalah proses pencarian memori yang pernah terekam sebelumnya. Namun jangankan berbicara, bertemu langsung atau bertatap muka saja dengan mbah Maridjan tidak pernah terjadi. Hanya saja aku bisa melihat wajah dan mengenal sosoknya melalui kotak ajaib berbentuk persegi empat sama sisi yang terpampang di pojok ruang tamu rumahku, dengan perantara mulut para selebritis, tokoh politik, dan para pembawa berita.

Channel 1, tentang mbah Maridjan. Begitu juga dengan channel yang lain. Setiap ku pencet remote TV untuk mencari acara, selalu muncul wajah mbah Maridjan. Apalagi setelah kematiannya yang begitu heroic karena awan panas atau yang disebut dengan wedus gembel dari gunung merapi. Tak tanggung-tanggung, acara infotaiment pun alias acara gossip, juga ikut meramaikan membincangkan sosok mbah Maridjan. Karena selain sebagai guru kunci gunung Merapi yang di pilih oleh Sultan Hamengkubono IX, ia juga dikenal sebagai bintang iklan minuman berenergi yang memiliki jargon yang khas, yaitu “ROSO”, hem…

Hingga tanpa sadar, sosok mbah Maridjan masuk kedalam alam bawah sadarku dan berkumpul dengan memori-memori yang lain. Ia berdesakkan dengan memori-memoriku yang tak terbuang. Sehingga yang bisa kuingat hanya mbah Maridjan dalam versi televisi.
Setelah kulihat jam dinding berwarna favoritku ,yaitu hitam putih, yang terletak di dinding pembatas antara kamar tamu dengan kamar tidurku, mengabarkanku bahwa hari ini sudah memasuki pagi. Pagi yang gelap. Yang ditunjukkan oleh jarum jam yang asyik nongkrong di angka 2. Aku mulai mematikan TV dan mulai bermanja dengan selimut. Namun tiba-tiba aku merasa pengen buang air kecil, maka kupakasakan tubuhku dengan membunuh rasa kantukku untuk segera ke kamar mandi.

Dengan tergesa aku kembali ke tempat peraduanku, meski kasurku hanya sebuah selimut empuk yang jika tak dipakai untuk tidur, maka ku lipat dan kuletakkan di tumpukkan kain yang lain tapi bagiku itu sudah membuatku nyaman. Namun tiba-tiba jantungku berdetak cepat karena dikagetkan oleh sesosok yang duduk di atas selimutku. Maka kunyalakan lampu yang awalnya kubiarkan menggelap. Sinar lampu memberikan aku penjelasan tentang sosok laki-laki tua berbaju batik berwarna cokelat marum, dengan sarung kotak-katak besar berwarna merah bata dan sebuah peci yang nongkrong di kepalanya.

Aku mendekat dan berjalan ke arah samping hingga berada didepan sosok itu. sambil menunduk dan berjinjit aku menyapa dengan suara “ehem”. Tiba-tiba sosok itu mengangkat wajahnya dan mulai tersenyum. Kaca mata berukuran besar yang setia melindungi matanya memberikan isyarat kearifan akan sosok ini. Kerutan-kerutan tegas di wajahnya menggambarkan sosok ini sebagai lelaki tua yang punya prinsip dan semangat yang kuat. Senyumannya yang disertai dengan barisan gigi putih yang besar namun merata, membuat sosok ini tak asing bagiku. Aku langsung menunduk di hadapannya dan menyalami tangannya yang tua. Dengan pelan-pelan aku pun menyapanya

“ Apa kabar, mbah ? “ lelaki tua itu masih saja tersenyum padaku. ia tak mengeluarkan sepatah dua patah kata pun padaku. maka dengan rasa penasaran, aku pun mulai bertanya.

“ kalo boleh tau, ada keperluan apa mbah kesini ?” , dengan sedikit hati-hati aku berbicara selayak putri solo, khawatir menyakiti perasaannya, dan aku pun mulai memperbaiki dudukku dengan bersila. Aku menunggu jawaban mbah yang begitu lama, yang sebenarnya aku tak terbiasa menjalani ketersiksaan ini. Namun karena dihadapanku adalah mbah Maridjan, yang begitu arif dan sederhana, maka ku bunuh semua egoism dan emosi yang ada didalam diriku. Sambil menunduk aku masih menunggu. Tiba-tiba mbah mulai berbicara, dan aku langsung mengangkat wajahku, menghadap wajahnya.

“ Nduk…. Aku kesini karena kamu yang memanggilku dengan hatimu. Aku sudah tahu, cerita setelah kematianku. Bagaimana semua orang berbicara tentangku. Meski aku kurang suka, tapi ya… itu sudah resiko yang harus aku terima. Itu sudah haknya mereka. Jadi buat apa aku melarang “.

“ Lalu mengapa mbah mau datang karena kupanggil ?”.

“Karena mbah, pengen kamu tahu, bahwa keinginan yang hanya terdetik saja, bisa terbaca di alam yang lain. Maka mbah hanya bisa berpesan, hati-hatilah terhadap keinginanmu. Jangan mudah membuat keinginan apalagi muncul karena emosi dan tanpa pertimbangan yang benar.”

“ enjih mbah….tapi boleh saya nanya yang lain, mbah ?”

“ opo ?”.

“ Apa mbah gak merasa menyesal, karena meninggal dengan cepat ?”. tiba-tiba mbah tersenyum dan tertawa kecil, lalu ia menjetok kepalaku

“ yaelah nduk,.,,, nduk…pertanyaanmu itu kayak orang bodoh saja. Apa perlu mbah jelaskan ? mbah merasa bangga dan bahagia saat ini, bukan karena mbah meninggal oleh wedus gembel gunung merapi, Tapi karena mbah bisa mempertahankan komitmen dan tanggung jawab yang mbah pikul. Kau tahu nduk ? membuat orang percaya pada kita itu susah, apalagi mempertahankannya. Jadi, mbah hanya bisa berpesan sama kamu, jangan pernah takut jika itu untuk kepentingan orang lain dan untuk mempertahankan komitmenmu “

“ enjih mbah…”

“ Yo wes, mbah pulang dulu ! sampaikan salamku untuk masyarakat Indonesia, bahwa aku bahagia disini. Gak usah terlalu memikirkan aku. Gak enak sama korban Tsunami Mentawai lainnya, mereka pada complain dan mengadu padaku. yo wes yo…… mbah pulang dulu. ! gak mau nitip salam tah ?”

“ hemm…. Salam ambe sopo, mbah ? sing penting mbah bahagia. Nanti juga aku bakal kesana kok.. hee “ aku menundukkan kepala dan menyalami tangannya dengan khidmat. Kemudian ketika ku tengadahkan kepalaku, sosok mbah Maridjan sudah menghilang……

“ hati-hati, mbah “ itu lah kalimat yang keluar dari mulutku….mengantar kepergian mbah Maridjan…

Gunuk, 29 Oktober 2010. 13.04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar