Rabu, 23 Maret 2011

Dehumanisasi = Kegoblokan Manusia Stadium 4

Entah mau dikatakan kami sedang ngobrol atau berdiskusi, namun perbincangan yang terjadi antara aku, Mas Sakti, Mas Taufik dan Bu Budi di kantin Takor ( Taman Korea) menjadi sesuatu yang gurih untuk di bagi. Sambil menahan kencing yang masih bisa ditahan gara-gara harus menunggu antrian panjang di toilet, terpaksa aku memilih untuk makan terlebih dahulu, hanya sekedar sebagai permintaan maaf pada perutku yang sejak pagi belum diisi makanan apapun. Dan ternyata obrolan kami justru lebih menarik daripada harus cepat kembali ke toilet. Hem
hari ini, lagi-lagi saya harus memilih untuk tidak mandi setelah sadar, bahwa sekarang adalah hari Rabu, dimana dosen yang begitu memberikan pencerahan akan mengajar. Kebetulan 3 jam yang lalu saya baru bisa tidur karena harus menyelesaikan tugas kuliah.
Dari sekian pembahasan yang dosen sampaikan, kata ‘dehumanisasi’ justru menjadi daya tarik bagi saya untuk jauh lebih detail mengenalnya. Weber yang ketika itu menjadi tokoh sentral dalam pembahasan ini menyatakan bahwa manusia yang terlalu rasional dan modern justru menjadikan dirinya sebagai ‘Kerangkeng besi’. Ia menjadi tidak bebas dengan aturan atau polarisasi yang ia buat sendiri.
Teori diatas menjadi acuan obrolan kami mengenai system atau cara mengajar seorang dosen di kelas kami, yang sangat kaku dalam menentukan system pembelajaran. Kami diharuskan membaca buku dan membuat semacam review, sebelum kuliah dimulai dengan berbagai macam aturan dan ancaman. Tugas kuliah akan diberikan pada hari A, di kumpulkan pada hari B dan pada jam C, jika terlambat 1 jam maka nilainya D, jika terlambat 1 hari maka nilainya E dan jika mengumpulkan pada hari dimana kuliah diberikan maka tidak mendapatkan nilai. Cara penulisan review harus F, jika tidak maka G. begitulah systemnya yang sangat tidak expiring ( meminjam istilah mas Taufik) , terlalu focus pada system namun tidak sama sekali menyentuh hal-hal yang sangat esensi dari mata kuliah tersebut. “ itulah mengapa aku tidak begitu bergairah untuk mengikuti mata kuliah ini, jika karena tidak menjadi syarat kelulusan, mungkin saya tidak akan mengambil mata kuliah ini”. Begitulah curhatan Mas Taufik
Mas Sakti, yang pernah menjadi mahasiswa dari dosen tersebut pada jenjang S1, menambahkan bahwa apa yang ia alami ketika mengikuti mata kuliah tersebut, hanyalah rasa puas ketika bisa melewati aturan-aturan atau procedur yang sangat sistematis dalam proses pembelajaran , sehingga ia lupa dan tidak focus pada konten dari mata kuliah itu. Ketika ia harus melakukan penelitian yang berkaitan dengan mata kuliah tersebut, ia merasa bingung dengan sebuah ujaran, “ Kayaknya saya pernah mendapatkan kuliah tentang ini, tapi gimana ya caranya, kok aku lupa ? atau jangan-jangan aku memnag tidak tahu”. Dengan gaya bicara yang sangat cepat, Mas Sakti ber-romantisme pengalamannya.
Lain halnya yang dilakukan oleh Laila, salah satu teman kelasku yang tadi sempat pulang ke kosnya hanya untuk mengambil tugas kuliah yang ketinggalan. Padahal setahuku, jarak antara kampus dan kosnya sangat jauh dan melelahkan, hanya kerena tiba-tiba ia melihat catatan tugas dari dosen, bahwa jika tidak mengumpulkan tugas kuliah pada hari H, maka tidak ada dapat nilai.
Begitu juga dengan respon simpati dan empati kawan-kawan yang begitu besar dan sempat membuatku terharu, ketika aku bertanya tentang tugas kuliah hari ini. Saya yang kebetulan bukan hanya lupa pada tugas kuliah, namun tidak tahu, bahwa ada tugas hari ini. Spontan semua teman memberikan hasil tugas kuliahnya padaku, dan menjelaskan maksud dari tugas kuliah. “ Cepat Nov, kerjakan ! gampang kok! 30 menit juga udah kelar ! ayo tak bantu !” begitulah perintah halus dari Mas Danang yang merupakan salah satu anggota ICW itu.
Cerita lain datang dari Arya, teman kelasku yang saat ini menjadi salah satu asisten dosen di jurusan Filsafat UI dan kampus Hindu. Ia menampakkan puncak emosinya dengan menuliskannya di status FB, bahwa gara-gara tugas kuliah ini, kesehatannya menjadi terganggu. Bahkan ketika tadi di kelas, beberapa kali ia bertanya pada dirinya sendiri, “ Ini sebenarnya mau di apa’in sih ?”, yang kemudian mendapatkan respon geleng-geleng kepala juga bahu yang terangkat dari Mas Sakti sebagai anggota kelompoknya.
Lain halnya dengan Aska, ia yang memiliki latar belakang sosiologi peternakan, dengan jujur dan polosnya berkata “ saya kok jadi lebih bingung ya bu ?” ketika mendengar penjelasan mata kuliah ini. Apalagi ketika ia bertanya tentang tema yang sangat spesifik, dosen hanya bisa merespon, “ Kamu sudah baca bukunya?”, dengan gelengan kepala yang ditunjukkan oleh Aska, dosen tersebut dengan mudahnya menjawab “ Baca dulu bukunya, nanti baru kau mengerti. Saya tidak bisa menjelaskan secara konkrit disini”. Itulah yang sama terjadi padaku, ketika aku bertanya namun justru mendapatkan perintah untuk membaca buku tanpa langsung mendapatkan jawabannya.
Kepanikan, Kebingungan dan ketidakpuasan terhadap metode pengajaran mata kuliah ini tidak hanya dialami oleh beberapa orang saja, namun juga dialami dan dirasakan oleh semua teman-teman kelas, dan akhirnya mereka hanya bisa melakukan sikap kompromis dan memilih untuk tidak melawan.
Konon menurut fakta yang ada, bahwa dosen-dosen tersebut bukanlah orang bodoh. Mereka merupakan mahasiswa lulusan luar negeri dan banyak mendapatkan konsumsi ilmu yang lebih luas juga sangat komprehensif mengenai mata kuliah tersebut. Bahkan pernah mendapatkan penghargaan atau bukti nyata dari keilmuan yang dimilikinya, meski sangat terbatas.
Hingga akhirnya terdapat asumsi bahwa sikap ‘kabur’ yang dilakukan oleh dosen dengan memilih tidak menjawab langsung pertanyaan dari kawan-kawan dan bahkan memerintahnya untuk membaca buku kembali dengan detail, dan juga dengan adanya system pembelajaran yang sangat kaku, memunculkan sebuah teori atau gagasan yang di rujuk pada teori dehumanisasinya Weber, bahwa semakin rasional seseorang dalam membentuk sebuah system atau aturan yang begitu kaku, sebenarnya merepresentasikan bahwa ia sebenarnya tidak punya apa-apa…..

Gunuk, 08 Desember 2010. 17.34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar