Rabu, 23 Maret 2011

Rofi’ah itu ku panggil Mak erRoh (satu lagi pembelajaran untukku)

Ia adalah kakak kandung ibuku nomer 2 dari 5 bersaudara satu ayah dan satu ibu, sedangkan ibuku adalah bungsu. Maklum, orang dulu kan, kawin cerai itu sudah biasa. Jika satu ibu dan lain ayah, Mak erRoh ini nomer 5 dari 8 bersaudara dan ibuku tetap bungsu..
Ketika aku berasumsi atas keterlambatan dan lamanya nenekku meninggal dengan alasan, karena kewajiban nenekku masih belum terpenuhi, lalu ibuku berkata, “ Itu karna Mak erRoh”. Begitulah kata ibuku.
Entah sejak kapan aku memanggil bu de ku ini dengan sebutan MAK. Namun sikap sederhana dan selalu tersenyum yang mak erRoh perlihatkan pada semua orang membuatku mengerti dan paham, bahwa ia seperti sosok ibu yang selalu mengayomi dan mengalah. Meskipun hingga saat ini, ia belum memiliki seorang anak.
Konon ceritanya yang kudapatkan secara singkat dari ibuku, bahwa mak erRoh ini tidak lulus SD dan tidak pernah sekolah. Dulu ia nakal dan memutuskan kabur ke Jember, ke rumah pamannya (saudara kakek pertamaku) untuk ikut berjualan kelapa. Nenekku yang sangat keras dan kakekku yang tak pernah peduli padanya, membuatnya harus kabur bahkan kawin lari dengan laki-laki yang jauuuhh lebih tua darinya.
Entah kapan, akhirnya mak erRoh kembali bersama suaminya ke Camplong, Madura,untuk merawat nenekku yang semakin tua. Dan kalian pasti paham, bagaimana tingkah pola orang yang semakin tua, yang seperti anak kecil yang rewel, cerewet dan selalu ingin diperhatikan dengan merajuk dan ngambek.
Apalagi saat ini, bu de ku, kakak ibuku yang lain datang ke Madura dengan membawa stress karena takut kehilangan suaminya yang memang kuakui cakep dan tampan. Hanya karena ia sudah monopouse, kemudian ia takut kehilangan suaminya hingga stress akut dan akhirnya di rawat di rumah nenekku. Itulah saran salah satu dari dukunnya, bahwa ia harus lebih dekat dengan nenekku. Sehingga menambah beban bagi ma erRoh untuk merawat 2 orang yang kadang tak tau diri itu.
Mungkin karena aku jarang pulang kampung, jadi hanya bisa mendengarkan kisah 2 wanita itu yang sudah bikin repot ibuku. Hanya saja, mak erRoh tak pernah mengeluh. Selain merawat 2 wanita itu, ia juga merawat suaminya yang kadang bikin aku kesel dengan sering meminta uang untuk beli rokok dan bahkan sering mencuri uang milik mak erRoh yang diberikan oleh ibuku untuk menghidupi 2 wanita itu. maklum saja, suaminya mak erRoh tak dapat bekerja hingga tak ada pendapatan. Bukan karena tak ada pekerjaan untuknya, hanya saja suami mak erRoh ini, yang kupanggil pak De, malas dan suka bikin onar dengan orang. Apalagi kondisinya memang sudah semakin tua, jadi bisanya hanya merokok sambil mendengarkan radio.
Saat aku pulang kampung kemaren, saya jadi lebih mengenal kearifan mak erRoh. Meski ia jarang solat, karena memang ia tak berpendidikan, tapi ia sungguh sangat sosialis dan sabar. Ia juga tidak pernah perhitungan membantu orang. Pernah suatu ketika, mbakku, mbak Titin, memintanya untuk membuatkan pepesan ikan. Keesokan harinya ia datang ke rumahku, di Pamekasan, membawa pepesan ikan, namun ia menolak ketika mbakku memberinya uang meski hanya untuk ongkos pulang ke Camplong.
Kisah mak erRoh juga aku dapatkan dari ayahku, katanya, jika ayah dan ibuku datang ke Camplong, mak erRoh selalu menyambutnya dengan senyum sambil berkata, “Be’en lek ??” (baca: kamu dek ?) dan menjadi orang paling sibuk untuk menjamu ayah dan ibuku. Sedangkan ibuku dengan sok jaim dan gengsinya hanya diam dan pura-pura cuek. Tapi mak erRoh tak pernah sakit hati, ia tetap melayani ayah dan ibuku dengan sabar.
Yang kadang membuatku miris dan iba padanya, ia tak bisa pergi kemana-mana karena harus mengurusi 3 orang yang ada di rumah nenekku. Padahal ia ingin sekali bisa silaturahmi ke rumah sodaranya yang lain. Saat kuajak mak erRoh ke rumah pamanku, ia hanya bisa berkata, “kalo ga ada saya, tar yang di rumah gimana ?”.
Mak erRoh pandai sekali memasak. Masakannya selalu enak dan pas di lidahku. Ia tak pernah mengeluh dan juga tak pernah membenci siapapun, meski ia sering didholimi. Entah apa yang mempengaruhinya, padahal ia tak berpendidikan juga bukan orang spritualis yang suka solat dan berdoa. Pernah suatu ketika ia diagnosa memiliki kanker di panyudaranya. Semua orang menjadi heboh, namun mak erRoh tetap saja tersenyum dan sabar sambil berkata pada ibuku,”dhina la, lek. Mon lakaran la mateh, kan tak ngerepotin be’en pole” (baca : Biarkan saja dek, jikapun aku mati, berarti kan sudah tak merepotkanmu lagi). Ibuku seketika menjadi terharu, semua tenaga dan materi di kerahkan, hingga akhirnya operasi pun berhasil dan mak erRoh masih sehat hingga sekarang.
Semua orang menyukai dan menyayangi mak erRoh, karena selain ia baik, ia juga tangkas dalam bekerja. Hingga akhirnya,tiba-tiba ibuku mengajaknya untuk umroh bersama bulan ini. Semua orang menyambutnya dengan bahagia tanpa ada iri. Karena bagi mereka, mak erRoh memang pantas mendapatkan itu. maka Sering kali aku candai mak erRoh karena akan naek pesawat untuk pertama kalinya dalam hidupnya, “Mak, nanti kalo di pesawat jangan lupa buka sandalnya, nanti pesawatnya bisa hilang”. Heee

Hari ini, saya mendapatkan sms dari ibuku yang saat ini ada di Madinah menjalankan ibadah umroh. Tentu saja ada mak erRoh di sana. Tanpa komando aku pun menelponnya langsung dan meminta untuk berbicara dengan mak erRoh, “Gimana Mak ? enak ga’ Umroh?”. Kupikir aku masih bisa mencadai, tapi ternyata aku menjadi diam terharu, karena kudengar suara tangis mak erRoh yang sesegukan sambil berkata, “makasih…. Makasih…makasih…”. Aku langsung menutup HP ku.
Cerita lain yang ku dengar dari mbak Titin, ketika mak erRoh akan berangkat umroh, “ Lucu, Nov.. mungkin saking bahagianya, mak erRoh sampe lupa pamit sama nenek. Dan yang lebih fatal, ia lupa pake celana, dan masih saja pake sarung….”.. hee
Mak erRoh…. Semoga kau bahagia…karena kau dan aku sama-sama anak kedua… heee

Gunuk, 11 Maret 2011. 14.04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar