Rabu, 23 Maret 2011

Mengejar Kaya atau harus kaya….?

Tema yang diusung dalam acara Kick Andy, minggu lalu adalah pengusaha muda yang sukses dengan perjuangan bukan karena terlahir dari keluarga kaya. Ada 4 orang yang di tampilkan dan diperkenalkan oleh bung Andy sebagai representasi dari anak muda yang berumur di bawah 30 tahun dan memiliki kesuksesan dan kekayaan yang luar biasa. Singkat kata, kesimpulan yang bisa kuambil dari kisah mereka adalah, bahwa mereka semua berangkat dari keinginan untuk bangkit dari kemiskinan, keterpurukan, kesedihan, kegagalan dan hutang yang melilit. Metode yang mereka gunakan adalah keberanian untuk gagal dan keberanian untuk mengambi resiko. Sehingga akhirnya mereka pun bisa mendapatkan apa yang mereka impikan. (baca Koran Media Indonesia edisi Minggu, 13 Maret 2011, kemaren)
Entah karena apa, setelah acara Kick Andy, keesokan harinya hingga tadi pagi, saya berkali-kali bertemu dengan para pengusaha, baik di bidang bisnis, maupun non bisnis. Mereka pun tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang dihadirkan di acara Kick Andy, yaitu kesuksesan yang saat ini mereka capai tak lain dari motif keinginan untuk bangkit dari keterpurukan, kemiskinan, dan kegagalan. Mereka menasehatiku dan juga memberiku buku yang berjudul, “Keajaiban Rezeki dengan menggunakan Otak kanan”, agar bisa ku baca dan diselami.
Setelah kubaca buku itu, tiba-tiba saya teringat dengan percakapan yang terjadi saat awal kuliah dengan salah satu teman terbaikku, yaitu Ociem (Muslim Masturo, teman seangkatanku al-Amien 2003).
“Nov, sudah setahun kita kuliah dan ternyata kita belum produktif. Belum bisa menghasilkan apa-apa. Kau lihat Sukidi ! sejak semester 2, tulisannya sudah dimuat di koran. Koran Kompas pula. Bahkan seperti Bang Yusril Ihza Mahendra, atau pak Jimly Ashiddiqi, konon mereka sudah mulai produktif menulis di Koran ketika awal-awal kuliah. Lalu bagaimana dengan kita ? apa yang sudah kita lakukan ?”
“Ciem, ada 3 hal yang ingin kukatakann padamu. Pertama, mengenai konteks atau historis, bahwa masa mereka tentu berbeda dengan masa kita saat ini, dan ini bukan sebuah apologi lo. Kedua, kalau dilihat dari riwayat hidup mereka, bahwa mereka ke Jakarta memang bermodal nekat tanpa uang seperspun, jadi wajar saja, ketika mereka produktif dengan mengirimkan tulisan ke Koran nasional dengan motif bisa survive di Jakarta dan juga bisa membuktikan pada keluarganya di kampung yang notabene perekonomiannya berada di kelas menengah ke bawah, bahwa mereka bisa mandiri dan sukses. Dan yang ketiga, bukannya kita mau sombong, hanya saja ketika kita membandingkan diri kita dengan mereka, itu sangat tidak tepat. Status dan motif kita berbeda dengan mereka. syukur Alhamdulillah kita terlahir dari keluarga yang secara financial tercukupi dan masih mampu membiayai kuliah kita hingga jenjang yang lebih tinggi. Jadi mengapa mereka yang menjadi tolak ukur ? bagaimana jika kita mencari contoh teladan yang status dan motifnya sama dengan kita, seperti misalnya Gusdur. Selama ia menjadi mahasiswa, ia bahkan santai berkuliah, bersenang-senang, beli buku, baca buku di perpus dan jalan-jalan…..”. lagi-lagi ini bukan apologi… hee
Seketika itu pula saya teringat dengan salah satu kawan yang kupanggil Kanda, yang memiliki ambisi untuk menjadi kaya, padahal ia berasal dari keluarga yang sangat kaya. Dan ketika kutanya alasan atau motifnya, ia berkata, : “Saya hanya tidak ingin mendholimi potensi dan bakat yang ada pada diri saya, Nov. sejak kecil saya sudah terbiasa dengan bisnis dan kompetisi. Jadi ini bukan persoalan kaya atau tidak kaya, tapi ini hanya persoalan kepuasan batin atau kebahagiaan. Lagipula pada era saat ini, uanglah yang berkuasa. Minimal saya bisa membantu orang dengan uang……”.
Sama halnya dengan Dida, temanku yang saat ini menjadi mahasiswa pascasarja Psikologi Industri di UGM Jogja. Ia juga memiliki ambisi untuk kaya dan sukses dalam bidang bisnis. Namun ketika kutanya alasannya, ia berkata, “Saya hanya jengah dan greget ketika melihat orang-orang yang hidupnya hanya mengikuti takdir dan tidak mau berusaha untuk mengubahnya lebih baik. Mereka yang miskin hanya bisa meng-amini kemiskinannya tanpa usaha atau reaksi untuk membunuh kemiskinannya itu. itulah mengapa aku harus kaya, agar bisa menjadi contoh bagi mereka”.
Begitu juga dengan Susan, kawan seperjuanganku di Jakarta yang saat ini sedang berbisnis dengan membuka toko sembako, dengan modal sendiri. Ia yang memang kuakui sangat cerdas membaca peluang , terutama peluang bisnis, begitu berambisi untuk bisa kaya dan sukses, dengan alasan yang sangat sederhana, “Tar kalo aku kaya, teman-teman kan bisa minjem duitnya ke saya”. Heee …. dan saat ini pun, jika aku ingin pinjam mobil, pasti akan menghubungi Susan.
Lalu bagaimana dengan saya ?, mengapa masih diam terpaku dan hanya menghabiskan uang untuk bersenang-senang atas kepentingan pribadi ?. Ku akui memang tak punya bakat bisnis, tapi sejujurnya saya pengen kaya juga. Jadi bagaimana saya harus kaya ?
Bagiku, kaya bukanlah tujuan hidup juga bukan tolak ukur kesuksesan seseorang. Juga bukan bonus dari usaha seseorang dalam survive. Tapi kaya itu adalah pilihan. Dan untuk itu, saya memilih untuk tidak kaya. Cukup bisa bekerja untuk menghidupi keluarga kecilku kelak, punya waktu dan kesempatan untuk berkarya, dan bisa lebih banyak menikmati waktu dengan keluarga. Dan jika pun saya harus bekerja untuk mendapatkan uang yang buanyak, maka setelah uang terkumpul, akan saya gunakan untuk mewujudkan mimpiku melakukan backpacker keliling dunia, dan tentu saja, saya harus berhenti bekerja.
Sekali lagi, karena kesuksesan itu adalah kewajiban dan kaya adalah pilihan, maka mari kita mengejar kesuksesan kita dengan cara masing-masing…….
Semoga bermanfaat………..

Gunuk, 14 Maret 2011. 20.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar