Rabu, 23 Maret 2011

Filterisasi Pemberian Tuhan

Tanpa disengaja, obrolanku bersama bang Eka, salah satu kandidat doctor sosiologi ini mengkrucut menjadi diskusi yang begitu renyah mengenai filterisasi yang di reperesentasikan dengan sikap penolakan dan penerimaan apa yang Tuhan berikan pada manusia.
Kami yang ketika itu sedang “kabur” dari kelas, gara-gara tidak bisa menyerahkan tugas kelompok. Memulai perbincangan dari kegelisahan dan pertanyaan justifikasi orang terhadap makna kebahagian dan juga kesedihan. Ketika kita memilih untuk hidup sederhana atau katakanlah hidup dengan kecukupan tanpa kemapanan, banyak orang yang menganggap kita tidak sukses, hanya karena belum punya mobil atau rumah sendiri. Itulah yang menjadi modal awal kami untuk mencari formula dari asumsi orang-orang yang berfikir demikian, karena apa yang mereka asumsikan tidak selamanya salah. mereka pasti punya alasan, mengapa harus mengatakan demikian.
Sebenarnya bentuk Tuhan itu sesuai dengan apa yang dipersepsikan manusia. Dan setiap manusia punya persepsi masing-masing sesuai dengan kapasitas pengatahuan dan pengalamannya. Jika persepsi tentang Tuhan adalah, bahwa Tuhan Maha penyayang dan selalu mengabulkan apa yang kita inginkan, maka tidak akan ada istilah bencana, kesedihan, amarah atau murka Tuhan. Justru yang ada hanya rasa syukur dan rasa terima kasih pada Tuhan meski itu pada konteks musibah atau sedang sakit.
Kadangkala doa atau keinginan manusia yang ditujukan pada Tuhan bersifat abstrak dan umum. Misalnya saja ingin meminta rizki yang banyak, tanpa detail dan konkrit, apakah rizki itu halal, berapa banyak rizkinya atau bagaimana bentuk rizki yang diinginkan. Atau bisa juga dengan berdoa, ingin mendapatkan jodoh, tanpa harus menyebutkan kriteria jodoh seperti apa dan kapan harus bertemu. Sehingga, Tuhan yang diasumsikan sebagai Maha Penyayang itu, pasti akan mengabulkan keinginan atau doa tersebut.
Ketika Tuhan mengabulkan doa atau keinginan manusia yang sifatnya masih abstrak itu, manusia dengan tingkat pengalaman dan kapasitas pengetahuannya pasti akan menyambutnya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada yang menerima secara utuh atau sebagian saja. Dan ada yang juga menolaknya. Inilah yang disebut dengan filterisasi.
Misalnya saja, ketika ada seorang teman menawarkan suatu proyek besar atau pekerjaan dengan penghasilan yang fantastis hingga ratusan juta dengan bermacam syarat pada kita. Maka banyak sikap yang akan kita temui. Ada yang langsung menerimanya, tapi ada juga yang menolaknya, dengan berbagai macam alasan. Menerima belum tentu bagian dari rasa syukur, namun menolak juga belum tentu bagian dari sikap kufur terhadap pemberian Tuhan.
Atau contoh lain misalnya, tiba-tiba datanglah jodoh yang sudah lama kita tunggu-tunggu. Seseorang yang kita anggap itu adalah pasangan yang tepat dan baik untuk kita. Namun lagi-lagi pasti akan kita temui berbagai macam sikap terhadap pengabulan doa tersebut mengenai jodoh. Ada yang langsung menerimanya, tapi ada juga yang menolaknya.
Tanpa sadar kita sering melakaukan filterisasi terhadap apa yang Tuhan berikan pada kita. Dengan istilah, mempertimbangkan, mendiskusikan, memikir- ulang-kan, dan lain-lain. Dari sikap filterisasi tersebut lah kemudian muncul sikap memutuskan, apakah kita menerima atau menolaknya. Lalu dari keputusan untuk menerima atau menolak itulah kemudian muncul konsekwensi-konsekwensi yang sifatnya untung rugi. Atau bahasa halusnya adalah bahagia atau sedih.
Jadi, semakin banyak atau kuatnya pengalaman dan pengetahuan yang mempengaruhi proses filterisasi atau pertimbangan terhadap konsekwensi-konsekwensi yang bakal terjadi, maka keputusan yang akan diambil akan meminimalisir terjadinya kesedihan, bencana atau musibah dalam hidup seseorang.
Itulah mengapa orang bijak tercipta dari orang-orang yang memiliki ilmu yang luas dan pengalaman yang banyak. Dan tak pernah merasakan atau mengalami apa yang disebut dengan kesedihan atau musibah, bahkan ke-stres-an dalam menghadapi hidup.
Akhirnya obrolan kami memberi suatu kesimpulan, bahwa kebahagian atau kesedihan bukan diciptakan, tapi tercipta oleh diri kita masing-masing bukan lagi karena Tuhan. Namun tak perlu kita mengeksistensikan diri kita, bahwa kita saat ini sedang berbahagia atau sedang bersedih, karena ukuran bahagia atau sedih tidak bisa diukur dengan ukuran orang lain.
Maka, jika ada orang lain mengatakan bahwa kita tidak sukses atau tidak bahagia, hanya gara-gara belum punya mobil dan masih tinggal di rumah mertua, atau hingga saat ini masih hidup sendiri, tidak lantas menyalahkan mereka. Karena merekapun yang (misalnya saja) punya mobil, punya kekasih, punya pekerjaan dll, belum tentu juga bahagia dan sukses…..

Gunuk, 6 Desember 2010. 18.20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar