Rabu, 23 Maret 2011

Terima Kasih Bapak (Ustadz) Syarqowi Dhafir

Salam…
Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Novie Chamelia, alumni TMaI 2003 dan saat ini tercatat sebagai mahasiswi pascasarjana Sosiologi di UI Jakarta. Mungkin Antum tidak pernah ingat pada saya, karena memang kita tidak pernah bertemu dan bertatap muka secara langsung akan tetapi, dengan bangga, saya ingin menyampaikan bahwa Antum adalah orang yang mempiliki pengaruh besar terhadap pola pikir atau paradigma saya hingga saat ini.
Dulu, ketika saya masih kelas 3 TMaI, sekitar tahun 2000, antum pernah menjadi pembicara di kuliah kemasyarakatan sebelum liburan panjang di musollah TMaI. Ada 3 hal yang selalu saya ingat hingga hari ini, yang Antum sampaikan pada santriwati ketika itu, yaitu
1. “Perintah nikah secara detail itu hanya ada di hadis Nabi, sedangkan perintah menuntut ilmu atau belajar seumur hidup itu ada dalam Alquran. Jadi level perintahnya jauh lebih tinggi menuntut ilmu daripada menikah, karena itu Alquran adalah firman Tuhan, sedangkan Nabi hanyalah utusan Tuhan”
2. “Jangan pernah perhitungan atau banyak pertimbangan ketika membeli buku!. Mau harganya berapa, temanya apa, penulisnya siapa, pokoknya tidak akan pernah rugi, karena buku adalah wajah dunia”
3. “Saya ingin ada alumni perempuan yang bisa sekolah hingga sampai pada gelar doctor”
Mungkin antum juga sudah lupa dengan ucapan ini, namun setelah itu hidup saya menjadi berubah. Saya menjadi rajin membeli buku dan autis ketika membaca, hingga Ust. Sobri sebagai kepala sekolah ketika itu, melaporkan pada ayah saya, bahwa saya tidak pernah membeli buku pelajaran wajib lagi. Dan sejak saat itu pula, uang kiriman saya pun jadi berkurang. Namun tetap saja, hingga lulus pesantren, tak ada buku wajib yang saya miliki. Semuanya adalah buku-buku di luar pelajaran.
Saya mengenal al-Ghazali, Rumi, Sayyed Hosein Nasr, Socrates, Imanuel Kant, ibn Rusyd, Nurcholis Madjid, Dale Carnegie, dll sejak awal ‘Aliyah. Dan itulah mengapa kadang saya merasa kebingungan karena tak menemukan teman untuk diajak berdiskusi mengenal hal-hal yang membuat saya gelisah. Namun saat ini, saya kadang tertawa sendiri, karena secara otomatis file-file yang lama terkubur dalam otak saya mulai melonjat berebutan untuk keluar.
Tiba akhirnya saya kuliah ke Jakarta. jika saya harus menceritakan bagaimana mulanya saya ke Jakarta mungkin anggap saja ini bagian dari rencana Tuhan. Karena di Jakarta saya seperti berjalan di Mall Blok M yang banyak orang berebutan menawarkan bermacam-macam dagangannya pada saya. Seketika itu saya shock culture, dan rasanya semua yang ada di sekitar saya, ingin saya cicipi.
Di awal kuliah, saya menjadi aktifis diskusi, dari formaci, Jaringan Islam Liberal, Paramadina Muda, Wahid Institute bahkan di kelompok-kelompok kecil diskusi pun pernah saya cicipi. Itulah mengapa saya tidak memilih untuk aktif di organisasi mahasiswa manapun. Hingga akhirnya saya mendapatkan beasiswa S1 di ICAS (Islamic College for Advanved Studies) kerjasama London University-Qum Iran dan Paramadina jurusan Islamic studies. 5 hari dalam seminggu, dari jam 7 pagi sampe jam 9 malam, saya terpaksa menjadi aktifis kelas, yang loncat kelas satu ke kelas yang lain antara ICAS dan UIN. Hingga akhirnya saya lulus di UIN dan memilih untuk tidak meluluskan diri di ICAS dengan alasan agar tidak sombong dengan gelar yang terlalu banyak di belakang nama saya. Hem
Satu hal yang ingin saya share adalah, bahwa saya tidak pernah menyesal menjadi alumni Al-Amien. Ketika tiba di Jakarta saya banyak bertemu dengan alumni yang berwarna-warni. Dari kelas elit akademisi, bisnisman, wartawan, birokrasi, aktifis pergerakan, intelektual, pengasuh pesantren, wiraswasta, preman, pengangguran, bahkan penikmat dunia malam pun saya bisa berkenalan dengan mereka semua, apalagi saat itu saya menjadi ketua Ikbal Jakarta. awalnya saya kaget alias shock dengan kewarna-warnian alumni, terutama pada karakter dan perbedaaan cara berfikir mereka semua, namun salah satu alumni, mengatakan pada saya,
“Nov, dari pesantren ada 2 ilmu yang kami dapatkan, yaitu ilmu tekstual dan ilmu kontekstual. Yang mendapatkan ilmu tekstual, mungkin mereka yang menjadi ustadz, pengasuh pesantren, penerjemah dll. Sedangkan mereka yang mendapatkan ilmu kontekstual, adalah mereka yang bisa survive, mandiri, kreatif dan bertanggung jawab. Jadi jangan pernah menghakimi mereka apalagi menolak mereka”
Dari situlah, saya (yang ketika itu menjadi ketua Ikbal) hanya bisa menampung semua perbedaan karakter dan profesi alumni yang begitu berwarna. Maka tak salah jika saya harus menjadi bunglon. Jika ke rumah si A, saya harus bersikap dan berpenampilan seperti A. begitu juga jika saya ke rumah si B, maka saya pun harus bersikap dan berpenampilan seperti B. dan inilah saya hingga saat ini, yang merupakan representasi dari alumni yang berwarna-warni itu. memahami itu adalah memaafkan…
Rasa ingin tahu yang besar pada saya, yang tanpa sengaja antum viruskan, membuat saya tidak pernah berhenti belajar dan mencoba hal-hal baru. Saya pernah bekerja di salah satu majalah lelaki dewasa, bergelut di dunia teater, menjadi pramusaji, bahkan pernah meng-gembel di luar kota. Hingga saya lupa, bahwa saya juga harus bercinta….hee
Namun semua ambisi dan obsesi untuk tahu semua hal itu, membuat saya menjadi bingung karena tidak bisa fokus pada apa yang menjadi pilihan bagi saya. tapi beberapa orang yang saya temui, semua serempak mengatakan, “saya juga pernah berada pada masa itu, dimana saya serakah ingin tahu semua hal, namun pada akhirnya, saya akan berada pada masa yang memang harus memilih mana yang harus saya fokuskan”. Dan itulah mengapa saya memilih sosiologi.
Terlepas dari itu semua, ini juga karena dukungan dari keluarga, terutama ayah saya. Beliau mendukung saya, baik berupa materi maupun kepercayaan. Pernah suatu ketika ada seseorang yang menemui ayah saya dengan membawa beberapa foto yang tergambar wajah saya yang tidak memakai jilbab dengan beberapa orang jalanan, orang-orang elite dan orang-orang dengan bermacam bentuk dan profesi. Namun dengan tenangnya, ayah saya berkata, “Saya ini ayahnya, Novie. Saya tahu betul, saat pertama ia lahir ke dunia, saat ia menangis, saat ia tertawa, saat ia nakal, saat dia ngompol, saat dia tidur, bahkan saat dia berak. Kalau memang Novie begitu, ya memang itulah Novie, jangankan di Jakarta, di sini saja, temannya orang gila….”
Terakhir, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih pada antum. Meski antum tidak pernah mengajari saya secara formal di kelas, namun antumlah yang sudah menvirusi saya untuk selalu belajar dan terbuka pada semua hal. Terima kasih, insya allah, jika tidak ada halangan, saya akan memenuhi harapan antum menjadi doktor…. Amien…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar